Chapter 3

26 14 58
                                    

Suasana Kerajaan Astina begitu meriah, dipenuhi tawa dan kebahagiaan menyambut peristiwa agung. Arena megah itu dipadati prajurit dan rakyat, seolah seluruh kerajaan turut ambil bagian dalam perayaan.

Puteri Shinta berlari lincah, matanya berbinar penuh semangat. Hal ini momen paling membahagiakan dalam hidupnya, terpancar jelas dari senyum lebarnya. Meski pernah menghadiri pernikahan Pangeran Darmaraksa, kini usianya terlalu muda untuk mengingatnya. Ia menjelajahi arena dengan langkah ringan, mengagumi setiap detail bak menemukan mainan baru.

Dalam balutan gaun bermotif bunga coklat dipadu tiara bunga yang menghiasi rambutnya, Puteri Shinta begitu memesona. Pesonanya yang polos menarik perhatian orang-orang, tak ada yang sanggup mengalihkan pandangan. Bak bidadari kecil nan jelita, Puteri berkeliaran riang di keramaian.

“Selamat datang di Astina!” sambut pembawa acara riuh. “Kita berkumpul atas nama Raja dan Ratu untuk menghadiri dua acara agung!” Gemuruh sorak sorai menggema, Puteri Shinta bersorak gembira di sisi orang tuanya.

“Semoga kegembiraan Anda sepadan dengan kami!” lanjut pembawa acara. Sorakan makin riuh, menggambarkan dukungan seluruh kerajaan. Senyum pembawa acara menyatukan hati dalam perayaan megah ini.

Setelah sorak sorai meriah, kini giliran pembawa acara mengambil alih panggung. “Mari kita sambut dengan hangat, Paduka Raja dan Permaisuri!” serunya memanggil kedatangan kedua pemimpin kerajaan.

Prabu dan Permaisuri melangkah mantap menghampiri panggung, dalam balutan pakaian kebesaran nan megah. Namun di balik kewibawaannya, Prabu memendam perasaan berat. Beliau menarik napas dalam, menatap wajah-wajah penuh kasih di hadapannya.

Mata Prabu menjelajahi setiap sudut, mengenali para prajurit dan rakyat yang telah memberi begitu banyak untuknya. Mereka yang setia melayani tanpa mengharap imbalan, selain penghargaan tulus dari sang Raja. Pemandangan ini menggetarkan hati Prabu.

Baginya, meninggalkan rakyat yang dicintainya demi kepentingan pribadi adalah pilihan tersulit. Langkah Prabu sedikit berat ketika naik ke panggung. Matanya berkaca-kaca menatap kerumunan yang begitu menyayanginya.

Prabu menyadari, setiap langkahnya tak pernah sendiri. Rakyat selalu mendampingi. Kata-kata tak terucap mengalir lembut, menciptakan suasana haru di antara raja dan rakyatnya.

Sang Permaisuri menggenggam erat tangan Prabu, memberi kekuatan lewat sentuhan penuh makna. Senyuman dan tatapannya menyiratkan lebih dari sekedar kata. Cinta dan kebersamaan terpancar di antara mereka.

Prabu Astina berdiri tegak di atas mimbar, diterpa cahaya senja yang hangat. Dengan tulus beliau berkata, “Selamat datang warga Astina. Saat takhta jatuh ke pangkuan saya, ketakutan menyelimuti. Apakah saya sanggup memimpin dengan baik?”

“Namun kalian menjadi guru terbaik dalam hidup saya. Kalian adalah keindahan yang menghiasi hari saya.” Prabu melanjutkan, menatap wajah-wajah dicintainya.

“Saya memuja kalian melebihi apapun. Terima kasih telah membimbing saya menjadi diri saya sekarang. Hari ini kita berkumpul untuk meneruskan warisan Astina.”

“Mahkota akan saya serahkan pada Pangeran Darmaraksa dan Puteri Gayatri, penerus perjuangan kita.”

Sorak sorai membahana saat Darmaraksa dan Gayatri tegak berdiri di sisi orang tua mereka. Pasangan penerus takhta itu penuh tanggung jawab dan harapan. Dalam upacara sakral ini, terjalin ikatan batin antara raja dan rakyatnya sebagai satu entitas dalam sejarah Kerajaan Astina.

Raja menyelesaikan pidato harunya. Air mata mengalir di pipinya saat Ratu meletakkan tangan di pundaknya. Kehangatan itu mengalirkan harapan dan doa untuk kebahagiaan kedua putra-putri mereka.

Puteri ShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang