Chapter 11

0 0 0
                                    

Puteri Shinta berjalan laksana kura-kura di jalan raya Kerajaan Ayodya yang sepi sunyi. Hati bagaikan terombang-ambing di lautan gelap gulita. Langit yang terbuka lebar di atas kepala bagaikan cermin yang memperlihatkan kesedihan yang menggantung di wajahnya yang muram. Angin yang bertiup halus mengusap kulitnya, namun dinginnya menusuk tulang, seolah-olah menirukan getaran hati yang resah.

Dahulu kala, Kerajaan Ayodya adalah tempat yang ramai dan hidup, penuh dengan tawa dan bahagia yang tiada tara. Tetapi, kini, segala-galanya telah berubah menjadi gentar dalam sekejap mata, tanpa sebab yang nyata. Kerajaan yang sepatutnya menjadi saksi hidup, kini menjadi hening dan bisu, tanpa nafas hidup yang berhembus. Pikiran Puteri Shinta dipenuhi dengan bingung dan duka yang amat dalam.

Puteri Shinta bersungut-sungut di hati, mata memandang ke segala penjuru, mencari jawaban yang lenyap di tengah-tengah puing-puing kenyataan ngeri yang menimpa kerajaannya. Hati bagaikan tercabik-cabik, hanya dengan mengingatnya sekalipun.

Tidak tahu apa yang terjadi, Puteri Shinta bingung mencari kata-kata yang sesuai untuk menggambarkan perubahan yang amat mendadak ini. Yang diketahuinya hanyalah bahwa rindu yang amat dalam untuk masa silam yang elok terus merayap ke dalam hatinya, menambah nestapa di tengah-tengah kekosongan yang meliputi kerajaannya.

Namun, dalam lapisan-lapisan kegelapan hatinya, ada perasaan yang membelah. Semua ini pasti memiliki alasannya, begitu ia berpikir, mengapa segala jawaban terasa tersembunyi di suatu tempat yang menunggu untuk dieksplorasi, yang ingin diketahui. Puteri Shinta tidaklah berdiam diri. Ia mencoba, sungguh mencoba untuk mencari tahu peluang, alasan, dan jawaban atas keadaannya.

Namun, saat sendirian, saat hatinya merajai kekosongan, kehilangan motivasi menghantuinya. Sedih dan kesal dengan kehidupannya sendiri, ia terombang-ambing dalam gelombang rasa bersalah atas masa lalu yang telah terjadi, tak ada lagi kesempatan untuk memutar waktu. Dan dalam keadaan seperti ini, saat-saat kesedihan, kegelapan, dan rasa bersalah, hal-hal positif cenderung menguap dari pikiran. Motivasi memudar, semangat yang biasanya membakar untuk terus maju, meredup tanpa jejak.

Puteri Shinta merasakan beban yang sama. Perasaan terbenam dalam kehampaan, tak berdaya di antara alur waktu yang mengalir tanpa ampun. Meskipun dalam terangnya matahari, ia masih meraba-raba dalam kegelapan batinnya sendiri.

Rasa sakit menusuk ketika kakinya terinjak duri, membuat Puteri Shinta menjerit kesakitan. Dalam kebingungannya, tangannya segera meraih kakinya yang terluka, tapi rasa sakit itu tak terelakkan. Air mata mulai membanjiri matanya, mencerminkan betapa kuatnya rasa sakit yang dirasakannya.

Namun, bukan hanya rasa sakit fisik yang membuatnya terguncang. Dalam detik-detik tersebut, kesadarannya terbuka, mengungkapkan sebuah kenyataan yang selama ini dia hindari dengan keras. Ia menyadari bahwa selama ini, ia telah mengabaikan kelemahan-kelemahan yang ada dalam dirinya: kelemahan sebagai seorang perempuan, kelemahan yang membuatnya rapuh dan tidak stabil.

Dalam kesedihannya, Puteri Shinta tersenyum getir pada dirinya sendiri. Apakah ia memiliki kekuatan yang cukup untuk mengungkap kebenaran di balik segala ini? Apakah ia mampu menghadapi pelakunya dengan sendirian? Apakah ia memiliki keberanian untuk mengalahkan orang yang telah membunuh kebahagiaannya? Pertanyaan-pertanyaan itu bergelayut di benaknya, menggetarkan hatinya.

“Apakah aku cukup kuat?” gumamnya pada dirinya sendiri, suara halusnya terbawa angin. Tetapi dalam pandangannya, dia tidak melihat kelemahannya sebagai kekalahan. Sebaliknya, kelemahan itu menjadi sebuah panggilan untuk tumbuh, untuk belajar, dan untuk menemukan kekuatan yang terpendam di dalam dirinya. Dan meskipun ia tidak memiliki jawaban yang pasti pada saat ini, Puteri Shinta bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia akan mencari jawabannya.

Dia tak pernah diajari untuk menghadapi duri kehidupan tanpa meneteskan air mata seperti seorang yang tak tahu malu. Tidak ada yang membesarkannya dengan kekuatan yang cukup untuk menaklukkan bahkan hal-hal kecil yang menghampirinya. Dalam pandangan banyak orang, ia hanya seorang putri yang rapuh, seringkali dipandang rendah. Namun, apakah kesalahan itu benar-benar miliknya?

Puteri ShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang