Chapter 6

2 1 0
                                    

Satu bulan telah berganti.

Puteri Shinta merasakan kebahagiaan yang tak terhingga. Waktu yang selama ini ia nanti-nantikan telah tiba, saat ia dapat melangkahkan kaki keluar dari kerajaan untuk menjelajahi dunia. Ritual bulanan yang selalu ia lakukan dengan penuh semangat dan gairah. Izin pun telah ia peroleh, dan bersama kuda kesayangannya, ia memulai petualangannya melewati lorong-lorong kerajaan.

Sambil melambaikan tangan dengan anggun, senyuman manis Puteri Shinta disambut oleh senyuman hangat orang-orang di sekitarnya. Dua pengawal setia dan Tumenggung Ekalaya Wijaya Kertawangsa, yang akrab disapa Ekalaya, mengiringi langkahnya. Ketika mereka berjalan melewati pasar, Puteri Shinta tiba-tiba menghentikan langkahnya.

Ekalaya memandangnya dengan heran, lalu matanya tertuju pada sebuah kedai di sebelah kanan mereka, yang menjual Mie celor terlezat di kerajaan. Sebuah desahan pelan keluar dari Ekalaya. Raja telah berpesan kepadanya untuk tidak membiarkan Puteri Shinta menikmati makanan di luar, mengingat sang Raja tidak ingin Puteri Shinta terserang penyakit.

“Ayo kita lanjutkan, Tuan Putri,” ucap Ekalaya, sebelum Puteri Shinta sempat bicara. Namun, matanya memandang lembut saat sang Putri berbalik, mata penuh harap. Ekalaya menutup matanya sejenak, tahu bahwa ia tak bisa mengabaikan permintaan lembut dan penuh rayuan matanya. Sambil menepuk lembut kepala Puteri Shinta, ia berkata, “Aku tahu apa yang kau inginkan, Putri. Tapi maaf, aku tidak bisa membiarkanmu.”

Puteri Shinta merasa kesal, menjejakkan kakinya dan berbalik badan. Dengan nada cemberut, ia berucap, “Celaka.” Ekalaya mengangkat kelopak matanya dan tersenyum simpul, menatap punggung Puteri Shinta yang menjauh.

“Mari,” ajak Puteri Shinta, sambil masih mengomel, menggenggam kuat tali kendali kudanya. Mereka meneruskan perjalanan, dan semua mata di sekitar mereka menyiratkan kagum, melihat kecantikan putri kerajaan yang tetap mempesona meskipun sedang dalam pertentangan.

*****

Dari balik rimbunnya hutan, suara bergema, “Wikanta, kau sadar kau takkan mampu menang,” disertai oleh tawa dan gumam yang menyusul dengan kekecewaan.

“Terimalah kekalahan, Wikanta,” suara lain menyusul dengan amarah yang terasa.

Di tengah hutan itu, tiga sahabat tengah berbahagia dengan pacuan kuda. Pangeran Wikanta, Pangeran Satriya, dan Pangeran Arjuna. Perlombaan ini mempertandingkan Pangeran Wikanta dan Pangeran Satriya, sementara Pangeran Arjuna berperan sebagai komentator yang gesit, berpindah-pindah sisi, kadang ke satu sahabat, kemudian ke sahabat lainnya, menunjukkan kecerdasannya yang luar biasa.

“Aku tidak akan pernah kalah,” pekik Pangeran Wikanta sambil memacu kudanya yang akrab disapa Jaran. “Ayo, Jaran, kita tunjukkan pada mereka,” bisiknya, siap untuk memenangkan perlombaan. Namun, tanpa disangka, garis akhir yang hanya beberapa detik lagi akan dilewati oleh Pangeran Satriya sudah di depan pandangannya.

Sebelum Pangeran Wikanta bisa menambah keyakinan dirinya, Pangeran Satriya sudah berada di sana, menikmati kemenangannya. Pangeran Wikanta turun dari Jaran, kesal, dan melangkah menuju kedua sahabatnya.

“Wahh, Wikanta, tidak usah bersedih. Ada waktunya kalah, dan kau harus merasakannya sesekali,” gurau Pangeran Arjuna dengan nada mengusik, membuatnya mendapat tatapan galak dari Pangeran Wikanta. Keduanya saling bertatapan sejenak sebelum tertawa bersama, dan Pangeran Satriya ikut menyatu dalam kegembiraan mereka.

“Tapi Satriya, kamu memang hebat,” sanjung Pangeran Wikanta, membuat Pangeran Satriya tersenyum puas, dan ia mengangguk.

“Memang benar,” timpal Pangeran Arjuna, dan mereka kembali larut dalam tawa yang penuh persahabatan.

Puteri ShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang