Chapter 9

3 0 0
                                    

Angin sepoi-sepoi dari hutan membelai dedaunan di Kerajaan Ayodya yang membawa kehangatan dan kesegaran yang bersamaan dengan wangi lembut mawar dari taman berdekatan. Di sebuah tempat yang sunyi, di tanah terbuka di dekat tiga batu nisan duduklah Puteri Shinta. Di hadapannya, kenangan hidup dan mati terhampar. Suara lembut angin menyusup ke telinganya, merangkulnya dalam keheningan yang terdalam.

Tanpa sepatah kata pun, Puteri Shinta terdiam, matanya memandang kosong ke tanah berlumpur di sekitar taman kecil bunga yang pernah dia tanam. Tidak ada kata yang mampu merangkai perasaannya, namun, bayang-bayang kehilangan tergambar di wajahnya yang teramat pilu.

Dengan hati yang remuk, Puteri Shinta menanam bunga-bunga itu di sekitar makam orang-orang tercinta. Ini adalah cara baginya untuk meredakan kesedihan, membuat tempat yang penuh kenangan menjadi lebih ramah baginya. Bukan kuburan yang menakutkan, melainkan perasaan kegagalan yang menghantuinya. Sebagai anak, adik, dan pangeran, ia merasa beban kesalahan atas setiap langkah yang telah diambilnya.

Sebuah panggilan memecah khayalan pahitnya. “Putri—,” suara itu membawanya kembali ke realitas yang membuatnya dengan tergesa menghapus air mata yang jatuh tanpa dia sadari.

“Puteri Shinta,” suara lainnya berganti dengan penuh kekhawatiran, ketika seorang pria duduk di sampingnya, memalingkan wajahnya dengan penuh perhatian.

“Yaampun, jangan menangis, tuan putri,” kata Ekalaya dengan lembut, mencoba memberikan hiburan kepada si kecil yang menundukkan kepalanya. Puteri Shinta mengangkat wajahnya, mata yang berkabut oleh air mata bertemu dengan tatapan lembut Ekalaya.

Seiring sorot mata mereka, terjadi pertukaran makna yang tak terungkap. Ekalaya memahami beban berat di balik setiap tetes air mata Puteri Shinta. Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya kehadiran yang memberikan dukungan dalam kesunyian yang penuh makna.

“Aku gagal, Ekalaya. Aku gagal melindungi mereka, melindungi kerajaanku. Aku gagal sebagai manusia Ekalya,” kata-kata itu menusuk jiwa Ekalaya, menggetarkan setiap serat perasaannya. Dia sudah mendengar kata-kata kekalahan ini dari Puteri Shinta sejak hari itu. Dia memberi waktu untuk meresap, berpikir bahwa Puterinya yang memiliki hati yang rapuh dan polos akan membutuhkan waktu untuk menyelesaikannya. Namun, tampaknya putrinya terluka lebih dalam daripada yang dia perkirakan.

“Puteri Shinta, tidak apa-apa. Ayo kita kembali ke kamarmu,” ucapnya sambil menggandeng putrinya. Langkah mereka melintasi jalan bercat batu, menuju kerajaan yang masih berdiri megah. Meskipun keheningan menyelimuti, langkah mereka seperti irama yang mengikuti ketukan hati yang berduka.

“Tidak,” tegas Puteri Shinta, menolak untuk pergi ke tempat lain selain kerajaannya yang kini tak lagi cocok untuk dihuni. Mungkin itu kesedihan, rasa bersalah, atau dorongan untuk tidak meninggalkan tempat yang telah merenggut segalanya darinya yang membuatnya tetap tinggal di sini. Atau mungkin juga dahaga akan balas dendam yang semakin menguasainya.

“Kepala pengawal Ekalaya, ini undangan yang kita terima pagi ini,” ujar pengawal itu, menciptakan getaran ketidakpastian di udara.

Ekalaya menatap kartu itu dengan serius, mencoba membaca petunjuk tak terucap yang terkandung di dalamnya. “Ada yang tahu apa yang terjadi di sini?” tanyanya, tatapan tajamnya memeriksa ekspresi setiap wajah di sekelilingnya. Penjaga itu hanya menggeleng, memberi sinyal bahwa misteri ini tidak terbongkar oleh pengawal gerbang. “Baiklah, terima di gerbang utama saja,” ucapnya, dan dengan isyarat singkat, mereka membiarkannya pergi.

Ekalaya terdiam sejenak, meresapi makna di balik undangan tersebut. Namun, tanggung jawabnya sebagai kepala pengawal memaksa langkahnya berlanjut. Sambil mengangguk, ia memberi isyarat pada pengawal untuk menjaga posisi.

Puteri ShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang