Chapter 10

0 0 0
                                    

Puteri Shinta merasa nafasnya terhenti sejenak ketika duduk di hadapan meja riasnya. Matanya menatap hampa ke ruang kosong di sekitarnya, seolah mencari sesuatu yang hilang. Dia merasa tidak berdaya untuk menyapa siapapun dan terombang-ambing dalam gelombang perasaan yang melanda hatinya. Namun, dalam kedalaman hatinya ia menyadari akan kenyataan yang pahit. Bahkan tanpa kehadiran bangsawan-bangsawan Kerajaan Ayodya, kekosongan kehadirannya di sana akan menarik perhatian Pangeran Wikanta. Dia tak ingin memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk mengetahui apa yang terjadi di kerajaannya, sebab dia sendiri tidak memiliki jawaban atas pertanyaan yang mungkin diajukan.

Puteri Shinta menatap bayangan dirinya di cermin, wajahnya yang dahulu bersinar dengan cinta dan kebahagiaan kini terlihat bagai matahari yang terbakar oleh bara kemarahan. Namun, dia menyadari bahwa amarahnya tidak akan membawa luka pada siapa pun, melainkan hanya pada dirinya sendiri.

Suara ketukan pintu menarik perhatiannya dan Ekalaya masuk ke dalam ruangan. Sorot matanya lembut saat dia menatap Puteri Shinta dan memberikan senyuman yang menghangatkan hati Puteri Shinta. Dengan gerakan anggun, Puteri Shinta berdiri dan menyambut kedatangan Ekalaya.

“Kau tetap cantik sebagaimana dahulu, putri,” puji Ekalaya dengan suara yang penuh dengan kasih sayang. Puteri Shinta tersenyum manis dan Ekalaya menepuk lembut pundaknya sambil berkata, “Mari kita berangkat.”

Puteri Shinta mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Ekalaya di sisinya. Mereka berdua keluar bersama-sama, menghadapi dunia di luar dengan semangat yang berkobar dalam hati.

Di luar istana, Ekalaya memberikan arahan hati-hati kepada para penjaga tentang tugas mereka di kerajaan. Mereka bersiap-siap untuk memulai perjalanan mereka, menuju tempat tujuan yang akan mereka capai saat senja mulai turun, membawa harapan dan impian yang terpatri dalam hati mereka.

——————

Pangeran Wikanta mengamati persiapan dengan teliti setiap detail diurusnya dengan cermat. Tanggung jawab selalu mengikatnya erat bukan hanya karena kedudukannya sebagai putera mahkota melainkan juga karena pengabdian yang telah terpatri dalam dirinya oleh orang tua dan saudaranya yang bijaksana. Kehadirannya selalu membawa kedamaian keceriaan dan ketenangan bagi seluruh kerajaan.

“Pangeran di mana vas ini akan diletakkan?” Tanya seorang pelayan memecah keheningan dengan suara lembutnya. Pangeran Wikanta mengangguk menunjukkan arah yang diinginkan dengan tenang. Di kejauhan ia melihat kedatangan mertuanya dan senyum merekah di wajahnya. Dengan langkah yang mantap ia melangkah ke arah mereka.

Dengan sikap yang hormat, Pangeran Wikanta membungkuk rendah saat menyapa ayah dan ibu mertuanya. Tatapannya penuh dengan rasa hormat dan kesetiaan yang dalam, merefleksikan ikatan batin yang terjalin di antara mereka. Kemudian, ia beralih ke bagian keuangan, memastikan segala sesuatu berjalan sesuai rencana dan keinginan.

Pangeran Wikanta membungkuk dengan anggun, dan Puteri Sundari merespon dengan kesopanan yang sama. Senyum terukir di wajah keduanya, bagai sungai yang mengalir dengan tenang di bawah sinar senja.

“Selamat datang kalian semua,” sapa Pangeran Wikanta dengan hangat, memecah kesunyian yang menggelayuti ruangan. Sorot mata mereka penuh penghargaan, menyambut kesopanannya dengan senyum tulus. Sang ibu dan ayah meninggalkan mereka berdua, memberi kesempatan bagi kedua belah pihak untuk berbicara tanpa gangguan.

“Bagaimana kabarmu, Pangeran?” tanya Puteri Sundari, suaranya lembut merayu, menciptakan harmoni yang manis di udara.

“Lebih baik dari sebelumnya,” jawab Pangeran Wikanta sambil tersenyum, hangatnya senyumnya membalas senyuman sang putri.

Puteri ShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang