Chapter 13

2 0 0
                                    

Pangeran Wikanta melangkah dengan langkah mantap, membawa Puteri Shinta di sampingnya menuju Istana Astina. Udara seolah bergetar dengan antisipasi, seiring dengan detak hati keduanya yang berdebar-debar. Saat mereka tiba di istana, mereka disambut oleh sosok yang berwibawa, Puteri Gayatri, kakak ipar Pangeran Wikanta.

“Wikanta, kemana saja kau sejak pagi? Kau pergi tanpa memberitahu,” celetuk Puteri Gayatri, suaranya penuh kekhawatiran, terputus saat matanya melihat tangan Pangeran Wikanta yang penuh dengan koper, diikuti oleh seseorang yang berdiri di sisinya. Pandangan tajam Puteri Sundari menyusul, matanya mengerut saat melihat sosok perempuan itu, Puteri Shinta, yang berdiri di samping Pangeran Wikanta dengan kepala tertunduk.

“Oh hai, Puteri Shinta,” sapaan halus Puteri Gayatri membuyarkan keheningan. Puteri Shinta mendongak, kemudian dengan sopan membungkuk pada Puteri Gayatri yang berjalan mendekat dan memberikan salam.

“Selamat datang di istana, Puteri,” ucap Puteri Gayatri ramah, senyumnya hangat. Puteri Shinta membalas dengan sebuah senyuman dan kembali membungkuk.

“Terima kasih, Yang Mulia,” ucap Puteri Shinta dengan penuh sopan. Senyum Puteri Gayatri semakin mekar, matanya kemudian beralih ke arah Pangeran Wikanta.

“Aku pergi ke Kerajaan Ayodya untuk menjemputnya. Ayo kita ke ruang tamu, kakak ipar. Aku akan menceritakan semuanya dan memanggil Kakanda Darmaraksa, Ibunda, dan Ayahanda juga,” ucap Pangeran Wikanta dengan penuh semangat. Puteri Gayatri mengangguk, lalu dengan lembut menuntun Puteri Shinta menuju ruang tamu.

Ekalaya, yang tengah mengambil barang-barang dari kuda mereka, kembali dengan cepat. Ia membungkuk pada Puteri Gayatri yang tersenyum ramah. Bersama-sama, mereka melangkah menuju ruang tamu, langkah mereka penuh dengan antusiasme dan harapan untuk masa depan yang cerah.

Tak berapa lama kemudian, seluruh keluarga duduk rapat di ruang tamu, merenungkan kata-kata Puteri Shinta yang mengalir dari bibirnya dengan getaran emosi yang tak tersembunyi. Wajahnya penuh dengan keraguan dan kekhawatiran, namun dia berusaha sekuat tenaga untuk menahan air matanya, tangannya erat memegang tangan Ekalaya, mencari dukungan dalam sentuhan hangat itu.

Dalam keheningan yang sarat dengan tegang, Puteri Shinta mengungkapkan semua yang terjadi di kerajaan Ayodya. Mata-mata yang mendengarkan pun tak mampu menghindari sorot mata penuh perhatian yang ditujukan padanya. Mereka terbawa dalam gelombang narasi perasaan Puteri Shinta, merasakan kebingungan, kepedihan, dan keteguhan hatinya.

Pangeran Wikanta meminta izin kepada Puteri Shinta untuk berbicara kepada orang tua dan sanak saudaranya mengenai keadaan ini. Puteri Shinta merasa dilema, namun pada akhirnya menyetujui permintaan Pangeran Wikanta. Meski dalam hatinya, dia merasa terbebani dengan keputusannya, menganggap bahwa hidup bersama Pangeran Wikanta sendiri telah memberinya beban yang lebih besar daripada kebebasan untuk mengambil keputusan.

Setelah Puteri Shinta menyelesaikan ceritanya, semua mata tertuju padanya dengan penuh perhatian. Kepala-kepala yang tadinya sibuk dengan pikiran masing-masing, kini menyatu dalam kepedulian terhadap putri kerajaan yang penuh kesulitan ini. Mereka merenung, memikirkan segala kompleksitas yang terjadi di dalam kerajaan mereka tanpa mereka ketahui sebelumnya.

Puteri Shinta merasakan pandangan penuh kasih sayang yang menghampirinya, namun tanpa belas kasihan yang seharusnya datang. Dia mengangkat wajahnya, menatap mereka dengan tajam, menolak simpati yang tak diinginkannya. Dia tidak menginginkan tatapan penuh belas kasihan, tapi apresiasi akan kekuatan dan keteguhannya. Dalam hatinya, dia bersyukur kepada mereka atas sikap yang begitu menghormatinya, tanpa menurunkan pandangan pada kelemahannya.

Sang Prabu bangkit dari sofanya dengan gerakan yang gemulai, langkahnya mantap menuju Puteri Shinta yang tegak di hadapannya. Matanya bertemu dengan tatapan penuh makna dari putri itu, sementara dia menyadari kehadiran sosok yang lebih tua yang mendekatinya. Pria itu tersenyum bangga, melambangkan kepuasannya yang mendalam, sebelum akhirnya mulai berbicara.

Puteri ShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang