Chapter 2

26 10 39
                                    

Gemuruh langkah Pangeran Widura menggema di sepanjang koridor istana. Di belakangnya Puteri Shinta mengekor dengan langkah-langkah kecilnya yang cepat. Jejak kaki mereka meninggalkan bekas samar di lantai marmer nan megah.

Mengapa sang Kakanda begitu bersikeras menghindari adiknya? Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam benak Puteri. Pangeran terus melangkah tergesa, mencari tempat persembunyian dari kejaran adiknya.

“Kakanda!” seruan Puteri Shinta mengalun, bak desiran angin yang tak kunjung reda. Mengapa adiknya begitu gigih mengejarnya sejak pagi, hanya untuk memintanya memakai sesuatu yang tak ia inginkan? Pikiran Pangeran melayang pada dua buah mahkota bunga hasil kreasi tangan Puteri Shinta.

Dengan berapi-api Puteri memintanya memakai mahkota itu untuk upacara besok. Sebuah permintaan yang mustahil Pangeran penuhi, namun Puteri Shinta bukan anak yang pantang menyerah.

“Kakanda, pakailah sekali saja!” desak Puteri ngotot, berharap Kakanda mengabulkan keinginannya. Sang Pangeran makin mempercepat langkah, frustrasi karena tak kunjung lepas dari kejaran adiknya.

Ketika sudah tak sanggup berlari, Pangeran bersandar lelah di dinding. Berusaha menormalkan deru nafasnya yang memburu. Puteri Shinta memandangnya dengan mata memelas, kecewa karena tak digubris.

“Kakanda jahat!” gerutunya sebal, memandang tiara di tangannya. Tanpa sengaja matanya menangkap sosok bocah kecil yang asyik bermain di taman istana. Senyumnya merekah, dengan langkah ringan Puteri pun menghampiri si bocah, meninggalkan sang Kakanda yang masih terengah di tempatnya.

Puteri Shinta melangkah dengan anggun ke arah gadis cilik yang terdiam. Detik pertama, terpancar ketakutan di mata gadis kecil itu, isak tangis kecilnya pun pecah memecah keheningan. Tapi Puteri, dengan lembut dan sigap, membentuk gerakan gemulai dan menyuarakan suara-suara lucu yang membuat dunia mereka berdua terasa lebih cerah.

Perlahan, isak tangis gadis kecil itu mereda, dan alih-alih air mata, tatapan penasaran pun memenuhi matanya saat Puteri bermain-main. Goyangan lincah dan suara-suara imut yang dilemparkan Puteri membuat bibir kecil si gadis terbuka lebar dalam senyuman kikik. Puteri Shinta berputar mengelilingi gadis itu, lalu memahkotai kepalanya dengan tiara bunga yang dipetiknya. Gadis kecil itu bertepuk riang, seolah mengerti bahasa keceriaan yang disampaikan Puteri.

Wajah Puteri Shinta bersinar lembut saat dia mengecup pipi gembul si gadis. “Tiara ini nampak begitu cantik di kepalamu, Sayang. Jagalah dengan baik, ya,” bisik Puteri seraya mencubit pipi merah muda sang gadis. Gelak tawa kecil kembali riuh, seperti melodi kebahagiaan yang mengiringi momen itu.

Seorang tukang kebun wanita, yang menyaksikan interaksi hangat itu, mendekat dengan langkah-haliknya yang tenang. Gadis kecil itu segera meraih tangan ibunya. Tukang kebun, setelah menatap dengan rasa syukur, melangkah mendekati Puteri Shinta dan merendahkan diri dalam sebuah tarian hormat.

“Terima kasih, Puteri, telah menjaga dan menyenangkan putriku, serta memberinya tiara yang indah,” ucapnya dengan tulus. Puteri Shinta tersenyum dan membalas dengan hormat. Tangannya menyentuh lembut rambut gadis kecil itu, seperti menyiratkan kasih sayang dalam sentuhan halus.

“Anakmu begitu mempesona,” puji Puteri Shinta, sambil melihat si gadis tertawa ceria sambil berlalu bersama ibunya. Puteri menghela napas penuh kebahagiaan, melihat keindahan dalam sederhana, sebelum melangkah pergi, menyongsong upacara di Kerajaan Astina yang menanti. “Hidup ini sungguh indah,” bisik hatinya, merasakan kehangatan momen yang baru saja tercipta.

*****

Puteri Gayatri menghentikan langkahnya di hadapan dua gaun yang dipilihkan oleh Pangeran Wikanta. Matanya melayang di atas kain indah yang melambai, bingung memilih di antara dua pesona yang sama menawan.

Puteri ShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang