Prolog

48 16 25
                                    

Harumnya bunga mawar dan wangi melati saling berirama, terusik oleh hembusan angin yang lembut dari arah tenggara. Cahaya matahari menyoroti tanah, menciptakan warna jingga yang memukau di langit yang cerah. Rakyat berkumpul di alun-alun istana, mengobrol dan tertawa menanti momen bersejarah yang akan diumumkan.

Prabu Basudewa seorang raja yang gagah bersiap-siap mengenakan mahkotanya, sementara matanya memandang penuh kebahagiaan ke arah tempat tidur. Di sampingnya, Permaisuri Diah duduk dengan anggun, merangkul seorang bayi kecil di pelukannya. Wajahnya berseri-seri ketika sang Raja dengan lembut mencium kening permaisuri dan putri bungsunya.

“Saatnya telah tiba, marilah kita berangkat!,” titah Prabu Basudewa dengan nada penuh kelembutan. Permaisuri mengangguk, berdiri dengan gemulai dari singgasananya. Mereka berdua melangkah dengan penuh keagungan menuju balkon istana diikuti oleh pengawal-pengawal setia yang membungkuk hormat.

Pengumuman kedatangan Paduka Prabu dan Permaisuri merambat lewat udara, meluluhkan hening yang terbangun di tengah rakyat Ayodya. Mata yang semula sibuk dengan urusan sehari-hari, kini terpaku pada balkon istana yang megah. Di sana, Prabu Basudewa dan Permaisuri Diah berdiri, wajah mereka memancarkan keanggunan, diterangi oleh sinar senja yang memperkaya kesakralan momen.

Sorak sorai riang pecah, tak tertahankan oleh dada-dada yang berdebar. Rakyat Ayodya menyambut kedatangan sang Pemimpin dengan penuh antusias, memuja mereka yang berada di puncak keagungan. Sang Prabu, dengan sikap tegasnya, memberikan isyarat agar rakyat mengheningkan diri.

“Selamat datang prajurit-prajuritku dan rakyatku. Hari yang membahagiakan telah tiba, takkan Baginda sembunyikan kabar gembira ini lebih lama. Perkenalkan, Putri bungsu kita, Puteri Shinta,” ucap Sang Prabu dengan suaranya melangit, menciptakan dentuman kata-kata yang merayap ke seluruh penjuru.

Sorak-sorai rakyat ––sebagai tanggapan— menjadi nyanyian kegembiraan yang menggema di antara tembok-tembok istana. Puteri Shinta, seolah menjawab riuh rendah itu, tertawa lembut dalam gendongan Permaisuri, menyapa dengan pandangan lembut yang tidak biasa pada seorang bayi.

“Semoga rakyatku memperlakukan Puteri semata wayang ini bak permata berharga, sama seperti kalian memperlakukan pangeran kami,” Prabu Basudewa melanjutkan, dia berbicara dengan kebijaksanaan yang melibatkan hati setiap pendengar.

Tepuk tangan riuh rendah bergemuruh yang menyiratkan persetujuan dan kesetiaan rakyat pada kerajaan yang dipimpin dengan bijak. Inilah Ayodya kerajaan yang meski mungil namun kaya akan kehangatan. Kerajaan yang tak hanya mengandalkan kemegahan istana, tetapi lebih pada kekuatan cinta dan kekeluargaan yang melekat di antara prajurit dan rakyatnya. Kesederhanaan yang melahirkan keistimewaan. Inilah rasa hormat yang bersahabat, seakan semua adalah satu keluarga besar yang tumbuh bersama dalam cahaya kebaikan.

Hari ini, satu tahun usia Puteri Shinta, sang bunga kecil Kerajaan Ayodya. Keramaian dan kegembiraan menyelubungi seluruh negeri, sebagai bentuk penghormatan pada Sang Buah Hati. Rakyat menyambutnya dengan penuh sukacita, menganggapnya sebagai kebanggaan mereka. Namun, setelah perayaan yang meriah tak seorang pun tahu apa yang menanti Puteri Shinta di masa depan.

Setiap hari menjadi lapisan kasih yang melingkupi pertumbuhan Puteri Shinta. Diapit oleh mainan lembut dan sebuah kamar pribadi yang hangat, tak ada yang kurang dalam hidupnya. Prabu Basudewa dan Permaisuri Diah bersama Pangeran menjadikan adik bungsunya sebagai fokus kasih sayang mereka.

Tak pernah air mata Puteri Shinta mengalir atau keluhan terucap dari bibirnya. Hanya dengan satu pandangan polos, keinginannya menjadi perintah yang harus diikuti. Namun, dimanja sekaligus dilindungi membuatnya tidak pernah merasa perlu untuk melatih diri dalam seni pertahanan diri. Raja dan Permaisuri yang begitu mencintainya tak pernah membayangkan anak bungsunya akan menghadapi bahaya. Puteri Shinta dibesarkan di dalam keteduhan kerajaan yang berjanji melindunginya.

Namun, kenyataannya adalah bahwa Puteri Shinta tumbuh tanpa mengenal bahaya. Jika suatu saat ancaman muncul, dirinya pasti takkan bisa berdaya tanpa pelindungan. Kelembutan dan kepala yang polos membuatnya dilekatkan oleh rakyat dengan panggilan “Puteri Cantik”, sebuah sebutan yang menjadi bukti sayang dan hormat mereka. Puteri Shinta dengan senang hati merespon panggilan itu, tak tahu bahwa suatu hari, nasibnya akan mempertaruhkan bahkan keberadaannya di dalam istana yang pernah mengayomi.

*****

Hey, guys! Makasih ya udah baca cerita ini.

Oh ya, semua cerita ini cuma karangan fiktif doang. Kalo ada kesamaan nama tokoh, tempat, atau cerita, itu cuman kebetulan aja, nggak ada niatan jahat dari penulisnya. Jadi cerita ini murni dari pikiran penulis yang ngayal-ngayal hehe. Semoga kamu semua suka dengan ceritanya! Sampai jumpa di cerita berikutnya ya!

19 Januari 2024

Puteri ShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang