Ekalaya dan Puteri Shinta berjalan menuju istana dengan ringan hati hingga sampai pada suatu ketika yang amat mengagumkan. Tiba-tiba Puteri Shinta terhenti lalu matanya terbelalak dan Ekalaya yang mengiringinya pun terhenti ingin tahu akan apa yang membuat sang putri terkagum-kagum. Puteri Shinta menghela nafas dan dengan anggun melompat menuju taman yang penuh dengan bunga mawar yang beraneka ragam warnanya.
Ia terhenti, merunduk, dan membiarkan pandangannya terpesona. Mukanya bersinar-sinar dan mata berkilau melihat bunga-bunga itu. Sementara Ekalaya dan pengiring-pengiringnya melihat dengan penuh sayang pada sang putri.
"Ekalaya, Bunga-bunga ini betapa eloknya mereka," puji Puteri Shinta dan Ekalaya hanya tersungging sementara dua pengiring lainnya hanya mengiyakan penuh hormat.
"Ekalaya, Menurutku Bunga-bunga ini sungguh menawan setiap satu memiliki eloknya sendiri. Mereka membuat kita yakin bahwa ada indahnya dalam beda dan setiap hal memiliki indahnya sendiri. Itulah yang membuat hidup begitu berarti," sahut Puteri Shinta, sambil dengan pandangan penuh hormat.
"Dari mana kau peroleh semua kata arif ini, Tuan Puteri?" tanya Ekalaya, memutus sunyi. Puteri Shinta tersenyum, lalu menuding ke dadanya.
"Dari dalam hati ini," katanya dengan bangga. Senyum di wajah Ekalaya menyiratkan bahwa dia akan berusaha melindungi hati berharga sang putri dengan segenap kemampuannya.
"Berjanjilah padaku, Tuan Puteri, bahwa kau takkan pernah kehilangan harapan, bahkan jika hidupmu terasa pahit," ucap Ekalaya. Puteri Shinta tersenyum dan mengangguk.
"Aku berjanji, tidak akan pernah," jawab Puteri Shinta, tak menyadari seberapa besar arti dari janji yang mereka buat.
Dengan mata terakhir yang tertuju pada keindahan bunga-bunga Puteri Shinta kembali melangkah menuju kerajaan. Mereka tiba di wilayah tersebut dan suasana yang tegang mulai menyelimuti kerajaan yang dulu damai. Dengan tangan gemetar, Puteri Shinta membuka pintu dan terkesiap melihat pemandangan tanah yang dulu penuh kebahagiaan kini terguncang oleh keheningan dan kekacauan.
(Batas)
Pangeran Wikanta menatap Pangeran Arjuna dengan mata yang terbuka lebar, kebingungan mencuat di wajahnya. Suara desiran angin mengiringi ketegangan di udara, menyusun nada kegusaran yang terdengar samar-samar. Tanah kerajaan Ayodya menjadi saksi bisu pertemuan dua pangeran ini.
"Ya Arjuna, bicaralah," pinta Pangeran Wikanta, suaranya merangkak perlahan. Dia mencoba memahami maksud di balik panggilan anak muda di hadapannya.
Namun, senyum yang mengiringi permintaan itu tak terjawab. Pangeran Wikanta melihat wajah Pangeran Arjuna mengerut, kesalahan dan pertanyaan mencorat-coret di sana.
"Apa yang harus dibicarakan?" suara Pangeran Arjuna membawa rasa kegeraman yang tersembunyi. Pandangannya menatap tajam, tidak kehilangan satupun rona ekspresi yang memenuhi ruang di antara mereka. Sejenak, Ayodya merasa membeku dalam ketegangan yang tak tertandingi.
Pangeran Wikanta menahan napas, mendengar ketidaksetujuan yang begitu jelas dalam nada bicara Pangeran Arjuna. Muka Pangeran Arjuna berubah menjadi serius, dan dengan gerakan yang kurang anggun, Pangeran Wikanta melihat ekspresi ketidaksetujuan terpancar dari matanya.
"Kau sedang berkhayal," ujar Pangeran Wikanta, mencoba menyingkir dari kebuntuan pembicaraan. Namun, Pangeran Arjuna menggelengkan kepala, mempertahankan pandangannya yang tajam.
"Oh benarkah? Aku sedang berkhayal, lalu untuk apa tatapan yang kau berikan padanya, untuk apa alasan yang kau berikan pada kami untuk hanya mengingatnya dari upacara pertunangan, untuk apa senyuman mesra itu dan yang paling penting untuk apa kau membiarkannya bergabung dengan kami ketika kau secara khusus tidak suka waktu kami diganggu," desing Pangeran Arjuna, menerabas hening yang mengitari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puteri Shinta
FantasiaDi Kerajaan Ayodya hiduplah Puteri Shinta, putri bungsu nan jelita Prabu Basudewa. Sejak kecil Puteri dibesarkan bak bunga mungil yang rapuh, tak pernah disentuh senjata atau belajar bela diri. Suatu hari kerajaan diserang musuh jahat. Tanpa daya me...