Duduklah Pangeran Wikanta di dalam balai istana dengan hati yang berdebar-debar, sambil memandang dengan tajam kepada Puteri Shinta yang bersemayam di hadapannya. Tiada suara yang terdengar, hingga akhirnya beliau berkata dengan nada yang ingin mengetahui.
“Beritahulah, apa sebabnya semua ini terjadi?” suaranya halus, namun penuh dengan rasa gelisah yang terselip. Ekalaya, Pangeran Satriya, dan Arjuna pun bersemayam di sekelilingnya, sambil menanti penjelasan.
Puteri Shinta menundukkan kepala dengan rasa malu, suaranya serak ketika ia mulai berkata-kata, “Aku... aku tiada mengetahui.” Jawabannya samar, terdengar lirih di antara kesunyian yang menyelimuti balai.
Kerutlah kening Pangeran Wikanta, pandangannya beralih kepada Ekalaya, sambil mengharapkan keterangan yang lebih jelas. Ekalaya menarik nafas panjang, matanya terlihat letih ketika ia memulai kisah.
“Hari itu kami berjumpa denganmu di rimba, kami bersama hampir sehari suntuk. Hal ini terjadi pada hari itu dan saat kami kembali tiada seorang pun di kerajaan, semuanya sudah musnah,” Ekalaya berhenti sejenak, matanya menoleh ke arah Puteri Shinta yang tampak terguncang. Perasaan yang ditahan Puteri Shinta agar tidak menangis terasa menusuk kalbu.
Tangis pilu terdengar dari putri yang bersemayam di situ. Pangeran Arjuna dengan halus bangkit dari tempatnya, mendekati Puteri Shinta, dan bersemayam di sisinya. Dia dengan halus menghibur putri yang terluka, mengelus perlahan punggungnya dengan penuh kasih sayang.
Puteri Shinta memeluk tubuh Pangeran Arjuna dengan kuat, sambil membiarkan air mata yang deras mengalir membasahi pipinya. Suara tangis yang mengganggu kesunyian balai menjadi irama duka yang amat dalam.
“Adakah kalian pernah mencoba mencari tanda-tanda, atau sekurang-kurangnya sesuatu yang dapat memberi petunjuk?” Pangeran Wikanta dan Arjuna bersama-sama mengajukan pertanyaan itu, disertai isyarat setuju dari Ekalaya.
Kami sudah berikhtiar. Namun usaha mencari tanda-tanda atau pertolongan dari orang lain telah kami lakukan, tapi tiada hasil. Sepertinya Kerajaan Ayodya tiada pernah tercatat dalam sejarah yang kami jumpai,” gumam Ekalaya, suaranya dipenuhi oleh rasa ragu yang mengoyak hatinya. Pandangannya terhenti pada Puteri Shinta yang tengah terjerembab dalam duka di dada Pangeran Arjuna. Rasa pedih menusuk hatinya saat melihat wajah yang biasanya riang dan penuh kegembiraan itu kini tertutupi oleh air mata. Ia tiada tahan melihatnya.
“Baiklah, dahulu-dahulukanlah, kemaslah barang-barangmu. Kita akan segera berangkat,” ucap Pangeran Wikanta dengan suara tenteram, namun getarannya terasa dalam kesunyian balai. Matanya menangkap pandangan Puteri Shinta yang mendongak, dan dalam hatinya, ia bersumpah untuk tiada membiarkan air mata lagi mengaburkan keelokan mata Puteri Shinta yang penuh angan-angan itu.
“Aku tiada ingin pergi kemana-mana,” suara halus Puteri Shinta menyela, wajahnya mencoba menunjukkan keputusan yang teguh. Pangeran Wikanta menarik nafas dalam-dalam. Ia melangkah mendekati Puteri Shinta, yang masih memandangnya, dan tanpa ragu bersemayam di hadapannya. Pangeran Arjuna memperhatikan ekspresi Pangeran Wikanta, tersenyum halus melihat sisi halus yang belum pernah ia lihat dahulu. Bersemayam di hadapan Puteri Shinta, Pangeran Wikanta terlihat begitu lembut. Pangeran Arjuna menemukan adegan itu cukup menggelikan.
Pangeran Wikanta mendekati Puteri Shinta dengan langkah berhati-hati, pandangannya penuh kelembutan saat menyapa sang putri. Namun, Puteri Shinta hanya merespons dengan gelengan kepala halus, matanya terpejam erat. Meskipun demikian, Pangeran Wikanta tiada menyerah begitu saja. Dengan penuh kelembutan, ia menangkap kedua tangan Puteri Shinta di tangannya sebelum melanjutkan,
“Dengarlah, Putri. Aku mengerti rasa bersalah yang kau rasakan karena tiada berada di sana untuk mereka. Aku mengerti betapa buruknya hatimu saat ini. Namun, katakanlah padaku, apa bedanya, kau bersemayam di sini, menangisi kehilangan, apa bedanya?” Ucapan itu membuat Puteri Shinta perlahan membuka matanya dan memandang Pangeran Wikanta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puteri Shinta
FantasyDi Kerajaan Ayodya hiduplah Puteri Shinta, putri bungsu nan jelita Prabu Basudewa. Sejak kecil Puteri dibesarkan bak bunga mungil yang rapuh, tak pernah disentuh senjata atau belajar bela diri. Suatu hari kerajaan diserang musuh jahat. Tanpa daya me...