Chapter 4

21 7 33
                                    

Usai pengumuman pertunangan Pangeran Wikanta Prabu Darmaraksa dan Permaisuri Gayatri berdiri anggun di balkon. Pancaran kebanggaan dan kebahagiaan terpancar di wajah mereka.

Dalam balutan pakaian kebesaran mereka memandang ke bawah ke tanah dan rakyat tercinta. Suara riuh rendah dan getar sukacita memenuhi udara. Prabu menghirup dalam-dalam aroma bunga yang terbawa angin seolah ingin mengabadikan momen berharga ini.

Tak lama kemudian mereka berdua berbicara bukan hanya kepada rakyatnya tapi juga para tamu. Suara Prabu mengalun bak melodi merdu di udara cerah.

“Seperti yang kita ketahui, pertunangan Pangeran bukanlah kejutan. Namun kami merahasiakannya agar momen ini lebih istimewa,” ucap Prabu dengan suara dalam yang memenuhi arena. Matanya yang bijak dan hangat terarah pada kerumunan.

Permaisuri menambahkan, “Mari kita sambut calon Puteri Kerajaan, Puteri Sundari dari Mandura dan Pangeran Wikanta.”

Sorak sorai dan tepuk tangan riuh rendah menyambut ucapan mereka. Rakyat dan tamu bersatu dalam sukacita turut bahagia atas ikatan dua hati yang akan terjalin.

Kisah para bangsawan Mandura sudah menjadi legenda di negeri ini. Kata-kata tentang kesetiaan, kerendahan hati dan keberanian mereka menggores sejarah yang menjulang tinggi. Terutama sang Puteri yang gemilang dalam setiap kisah. Sebagai prajurit muda nan pemberani, ia selalu berada di garda terdepan pertahanan, keberaniannya sejajar dengan harapan para pangeran.

Pangeran Wikanta yang mewakili keturunan mulia itu kini bahagia membayangkan di balkon sana tunangannya yang terhormat segera menyusul. Sang Puteri dengan segala pesonanya memancarkan kecantikan tiada tanding. Rambut panjangnya bagai pedang namun selembut kapas, berkibar anggun mengiringi langkah.

Kulitnya yang cerah menangkap cahaya dengan elok. Tubuh tegapnya terbalut gaun merah muda yang memperkuat daya tariknya. Pangeran yakin, kehadiran sang Puteri akan semakin melengkapi momen sakral ini dengan kesempurnaan.

Pangeran Wikanta melangkah anggun, senyum lembut menghiasi wajah tampannya. Beliau menapaki dua anak tangga menuju balkon. Sejurus kemudian, pandangan mereka bertemu, menciptakan dunia tersendiri di tengah keramaian.

Di antara para undangan, mata Puteri Shinta berbinar menyaksikan momen bahagia itu. Kegembiraan dan kehangatan memenuhi hatinya. Namun ada getar keraguan, seolah ini terlalu indah untuk nyata.

“Mereka terlihat sangat serasi,” gumam Puteri lirih, suaranya bergetar antara kagum dan tidak percaya.

Pangeran Widura yang setia di sisinya menepuk kepala sang adik, lalu berkata, “Benar, Adikku. Mereka akan menjadi duo terhebat nantinya.”

Meski ringan, suara Pangeran Widura penuh keyakinan. Dia tahu adiknya tengah berjuang melawan keraguan.

Sang Pendeta datang, membawa aura khidmat penuh makna. Ia memulai doa suci, menghubungkan dunia fana dan dunia roh. Pangeran Wikanta diliputi perasaan gugup bercampur haru. Begitu pula sang Puteri, wajahnya berseri bahagia namun waspada.

Pendeta membimbing Prabu dan Permaisuri Mandura mendekat, menyerahkan cincin suci. Prabu melangkah gagah yang diikuti Permaisuri penuh keanggunan. Mereka memberikan cincin dengan ikhlas, memayungi pernikahan ini dengan restu dan doa tulus.

“Sekarang, silakan tukar cincin,” ucap Pendeta tenang namun penuh makna. Pangeran menarik napas dalam, tak sanggup menyembunyikan debaran di dadanya.

“Inilah saatnya,” katanya lembut sambil menangkup tangan sang Puteri. Tatapannya mengungkapkan perasaan tak terucap. Ia menyerahkan cincin berlian zamrud dengan penuh harap. Sang Puteri menerimanya dengan mata berbinar, memasang cincin itu di jari manisnya.

Puteri ShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang