Setelah diskusi panjang dan melelahkan akhirnya empat anak dari masa depan itu tinggal sementara di rumah sewa yang orang tuanya serta para sahabatnya yang lain tinggal. Keempatnya tidur di ruang tengah di depan televisi tabung 14 inci menggunakan kasur kapuk berwarna merah muda. Ini ide Kenneth yang menyarankan keempatnya tidur di luar sebab kasur mereka di kamar pun hanya bisa ditempati satu orang.
Hari ini sudah pukul dua dini hari, suasana rumah hening karena para penghuninya sudah tidur lelap. Sementara itu Gian masih belum bisa menyebrangi alam mimpi walaupun sudah masuk ke pergantian hari. Dia tak mengantuk sama sekali. Ingin menonton pun televisi sudah tak ada siaran lagi, kalau pun ada gambarnya sering kabur karena antena yang terpasang di luar miring.
Gian memutuskan untuk mengambil minum ke dapur. Tak ada kulkas di rumah yang para orang tua sewa, jadi Gian mengambil air putih yang ada di teko berukuran sedang.
"Gian?"
Gian tersentak begitu namanya dipanggil. Gelas yang ia pegang hampir saja jatuh apabila refleksnya tak bagus. Gian bisa bernapas lega lantaran gelas yang ia pegang tak pecah, bisa-bisa dia diusir oleh Ravindra atau Kenneth karena hari pertama menginap sudah membuat kesalahan.
"Ayah? Kok belum tidur?"
Gibran berdehem canggung. Rasanya masih canggung ada seseorang yang memanggilnya ayah di usia yang masih muda apalagi yang memanggilnya adalah anak yang seumuran dengannya saat ini. Meskipun Gian dari masa depan tapi tetap saja rasanya aneh dipanggil ayah padahal dia belum menikah dan menghamili gadis orang.
"Baru selesai nugas. Lo kenapa belum tidur?" tanya Gibran setelah meneguk segelas air.
Gian menggeleng, ia mencuci gelasnya dan gelas bekas Gibran minum. "Belum ngantuk, Yah. Ayah besok sekolah?"
"Sekolah. Kayaknya Lo jangan panggil Gue Ayah deh."
Gian menoleh cepat. "Kok? Kan emang Ayahnya Gian."
Gibran menghela napas beratnya. Sungguh hal yang baru terjadi kurang dari satu hari ini membuatnya pusing sebab tak masuk akal tapi buktinya kuat, bahkan sudah dikonfirmasi oleh Kenzo.
"Di masa depan mungkin memang gitu, tapi kan di masa sekarang Gue belum nikah. Rasanya agak canggung kalau ada orang yang seumuran Gue manggil Ayah, kalau di luar juga bisa buat kesalahpahaman. Lo ngerti kan?" ucap Gibran berhati-hati.
Gian mengangguk pelan. Mau bagaimanapun hal ini tidaklah mudah untuk ayahnya yang tidak tau apa-apa tapi langsung berhadapan dengan hal yang tak masuk akal.
"Kalau manggil Ayahnya di dalam rumah aja gimana? Maksudnya kan kalau di rumah yang lain juga sudah tau. Di luar aku nggak manggil Ayah dengan sebutan Ayah. Gimana?"
Gibran tampak berpikir sejenak. "Ya sudah. Di luar panggil nama aja, Gue-Lo jangan aku kamu an lah. Besok akan ada teman Gue yang baru pulang dari rumah orang tuanya, memang tinggal di sini. Jadi jangan kaget."
"Siapa Yah?"
"Kanemoto Ryoma, adiknya Ren."
Mata Gian membulat. "Om Ryoma? Wah sudah lama banget aku nggak ketemu dia loh."
Gibran mengerutkan keningnya bingung. "Di masa depan memang nggak sering ketemu?"
Gian menggeleng. Bibirnya menerbitkan senyuman, dia senang bisa berbicara banyak dengan sang ayah. "Om Ryoma tinggal di Jepang setelah menikah, Yah. Wah nggak sabar banget mau ketemu."
"Tidur sekarang, sudah mau pagi."
Gian mengangguk patuh. "Iya, selamat tidur, Ayah."
Gibran merasakan tubuhnya berdesir. Ada rasa aneh yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Gibran hanya mengangguk sekilas sebelum pergi ke lantai dua di mana kamarnya berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Comeback
Teen FictionDalam keputusasaannya Giandra berdoa agar bisa memiliki lebih banyak waktu dengan sang Ayah. Giandra hanya ingin memeluk Ayahnya lebih lama lagi. Dia juga ingin bersama sang ayah lebih lama lagi. Rupanya semesta mengabulkan keinginannya. Bersama den...