- 20 -

157 27 2
                                    

"Besok berangkat sekolah mau bareng gue Nau?"

"Besok bareng Ayah berangkatnya, Gib." Tolak Naura.

"Kalau pulangnya boleh nggak Gue anterin? Sekalian jajan dulu," tawar Gibran lagi.

"Tidak ada yang larang, jadi ya boleh kalau Lo mau."

Gian terkekeh pelan menyaksikan interaksi dua remaja yang sedang berjalan beberapa langkah di depannya. Gibran dan Naura melangkah pelan-pelan seakan menikmati waktu bersama, obrolan ringan dengan nada halus juga tak henti Gian dengar sejak tadi. Gian memasukkan tangannya ke kantong jaket yang dipinjamkan oleh Kenzo padanya. Sejak dulu Gian penasaran bagaimana masa pendekatan sang ayah kepada ibu sebab Gibran jarang menceritakan kisah asmaranya. Berbeda dengan Kenneth yang sangat sering menceritakan kisah manisnya dengan Audrey di masa depan. Asik menikmati momen kebersamaan tersebut, Gian tak sadar kalau saat ini ia sudah berdiri di depan Rumah Naura.

"Masuk gih sudah malam! Besok pulang sekolah tunggu di gerbang ya." Kata Gibran seraya menepuk puncak kepala Naura pelan.

Naura mengangguk pelan, rona merah tak bisa ia sembunyikan dari pipi putihnya. "I-iya. Lo hati-hati pulangnya," Naura menengok ke Gian yang masih memandangi keduanya. "Gian, Gue duluan ya!"

Tanpa menunggu jawaban Gian, Naura buru-buru masuk ke dalam rumah. Hal itu mengundang tawa dari Gian dan Gibran.

"Ibu lucu ya Yah? Pipinya merah karena nahan salting."

Gibran menaikkan satu alisnya, ia tidak tahu kosa kata itu sebelumnya. "Salting?"

"Salah tingkah, salting. Ibu tadi pasti seneng bisa Ayah puk puk gitu kepalanya. Lucu banget kalian berdua." Goda Gian.

Gibran melangkah menyamai langkah Gian yang berada beberapa langkah di depannya. Kemudian tangannya terulur menepuk puncak kepala Gian sama seperti yang ia lakukan pada Naura.

"Nih Gue tepuk juga kepalanya."

Gian tertawa. Ia langsung melingkarkan tangannya pada lengan Gibran yang tersentak kaget. Gibran hendak melepaskan lilitan tangan Gian di lengannya karena risih, tapi Gian malah semakin mengeratkan lilitannya. Gibran pasrah saja akhirnya membiarkan lengannya seperti digandeng. Terlebih keadaan sepi dan sunyi karena sudah malam jadi aman tak ada yang melihat dan menerka yang aneh-aneh.

"Ayah tadi bohong ya?" tanya Gian memecah keheningan. Jalanan panjang yang temaram dan sepi membuat suara pelannya terdengar jelas.

"Hmm?"

Gian menghela napasnya, "bohong kan mau nemuin Naura tadi? Padahal mau ketemu Maura karena Ayah khawatir. Ayah ngikut apa kataku padahal aslinya mau ketemu Maura."

Gibran tersenyum tipis. Ikatan batin pikirnya hingga Gian tak tertipu dengan perkataannya tadi. "Iya. Gue khawatir sama Maura, biar gimanapun hubungan kami kan tidak sebentar. Gue sudah tau banget kalau sifat bapaknya jelek dan Maura pasti lari ke arah Gue terus kalau disiksa atau dipaksa sesuatu yang dia nggak suka."

"Tapi kan sudah putus." Protes Gian.

"Iya tau tapi kan semuanya butuh proses. Lo nggak bisa kan ninggalin suatu kebiasaan dengan sekali coba? Pasti ada prosesnya sampai Lo bisa ninggalin kebiasaan itu." Jelas Gibran pelan mencoba memberi alasan.

"Iya, harus dibiasain mulai sekarang. Kasian Ibu kalau Ayah lama lupain Mauranya."

"Iya bawel!" Gibran mengacak rambut Gian hingga membuat anaknya tertawa kecil. "Harus dibiasain, Gue ngerti. Gue bakal berusaha untuk masa depan kita yang bahagia di masa depan. Gue bahagia kan Gi di masa depan sama Naura?"

Gian mengangguk mantap, ia menatap mata teduh milik sang ayah. "Bahagia, Yah. Ayah pernah bilang kalau kebahagiaan paling besar yang semesta kasih itu ya aku. Kita bahagia di masa depan, semuanya baik-baik aja Ayah."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ComebackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang