- 19 -

170 32 8
                                    

Gibran membuka pintu secara kasar. Setelah mendapat sms bertubi-tubi dari Kenneth, Gibran tanpa pikir panjang langsung izin pulang kepada Naura. Gibran berlari di sepanjang jalan setelah turun dari angkutan umum, panik bukan kepalang. Jantungnya berdebar kencang walaupun sudah berusaha mengatur napas berkali-kali.

Gibran mendekati Gian yang sedang duduk sambil diobati lukanya oleh Kenzo. Hal yang membuatnya terkejut adalah saat ini Gian tak memakai atasan apapun, tubuh bagian atasnya memiliki luka-luka memar yang tak kalah parah dengan luka di wajahnya.

"I–ini kenapa? Kok banyak luka gini, Gi? Siapa yang mukul Lo?!" tanya Gibran dengan sedikit gemetar.

"Ayah," Gian berkaca-kaca melihat Gibran, hatinya mendadak melow melihat kedatangan sang ayah padahal saat bersama yang lain dia tak ingin menangis. "Ayah kok nggak bilang?"

"Bilang apa?"

"Maura, bapaknya Maura jahat. Tadi aku berantem sama bapaknya Maura karena dia mau jual anaknya sendiri ke om-om yang kaya raya. Kok bisa ada bapak yang jahat sama anaknya?"

Gibran mematung sedangkan yang lain lantas menatap Gibran kaget. Tak ada yang tahu kalau Maura memiliki bapak yang tempramental, yang mereka tahu Maura itu kasar dan suka memukul Gibran. Hanya Gibran yang tahu itu semua.

"Gib, jangan bilang Lo tau kalau Maura sering dipukulin?" tanya Ravindra yang mendapat anggukan pelan dari Gibran.

"Jangan bilang kalau Lo diam aja dipukulin Maura itu bentuk pelampiasan dia karena punya bapak yang tempramen?" kali ini Kenzo yang bertanya. Dia memberikan baju kepada Gian tanda kalau badannya sudah selesai diobati.

"Gib jawab! Lo jangan tolol diam aja!"

Gibran mengangguk, kepalanya menunduk. "Gue tau Maura sering dipukulin, Maura sering cerita dan Gue sering lihat secara langsung. Gue sudah cari solusi tapi Maura tetap balik ke bapaknya lagi, Maura selalu kasihan sama bapaknya dan percaya janji manisnya yang kosong itu. Gue..." Gibran menarik napas dalam lalu menghembuskan dengan perlahan. "Gue tau dan terima jadi samsak pelampiasannya yang muak punya bapak tempramental yang buat dia hidup kayak di neraka. Gue nggak bisa kasih dia duit, rumah yang nyaman biar jauh dari bapaknya. Gue nggak bisa ngasih apapun selain kata-kata penenang, pelukan dan badan untuk jadi pelampiasan emosi dia."

Air mata Gian menetes tanpa bisa dicegah. Gian menatap sang ayah yang masih menunduk, kemudian ia meraih tangan Gibran untuk digenggam.

"Itu bukan tanggung jawab Ayah. Kenapa Ayah malah ngorbanin diri sendiri?"

"Apa yang Gian bilang benar, Gib. Lo sama Maura cuma pacaran, masih sekolah pula. Maura bukan tanggung jawab Lo. Lo emang pacarnya tapi bukan berarti dia bisa lampiasin amarahnya ke Lo dengan cara mukul." Kenzo berujar pelan. Emosinya berusaha ia tahan agar tak meledak.

"Gue kasihan, Gue takut kalau ninggalin dia nanti nggak ada yang bisa peluk Maura. Gak ada yang bisa buat dia redain emosinya."

Gian menggeleng ribut, "Ayah dengar!"

Gibran mengangkat kepalanya, menatap tepat di mata Gian yang sudah basah. Gibran termenung menatap sepasang mata yang melihatnya dengan penuh luka, ada emosi juga yang terselip di sana.

"Ayah, tolong jangan lagi ngorbanin diri sendiri seperti itu. Aku yakin Maura akan baik-baik aja meskipun nggak ada Ayah di sampingnya, dia harus tau kalau Ayah bukan samsak yang bisa dipukulin terus. Tinggalin Maura, Yah. Kita cukup laporin bapaknya ke polisi, biar diproses sebagaimana mestinya. Ya, Ayah?"

"Sudah pernah lapor polisi tapi bebas, terus sekarang gimana? Atau gue temui—"

"Nggak gimana-gimana. Kita lapor RT RW atau siapapun itu tapi bukan dengan cara lama Lo yang ngorbanin diri jadi samsaknya." Kenneth berbicara menggebu-gebu. Ia yang sejak tadi diam menahan emosi tak bisa untuk tak bersuara mendengar Gibran yang kembali ingin membantu Maura.

ComebackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang