Mata Gian membola melihat adegan apa yang tersaji di depan matanya. Tanpa pikir panjang Gian berlari ke arah Gibran yang saat ini diam saja walaupun Maura memukulinya. Gian mendorong bahu Maura lalu menjauhkan Gibran dari perempuan itu. Gian meringis melihat wajah Gibran yang lebam dan sedikit robek di ujung bibir.
"Ki—kita pulang aja sekarang." Gian menggandeng tangan Gibran hendak menjauh tapi Maura malah menarik tangannya.
"Lo siapa?! Ngapain Lo narik pacar Gue hah?!"
Gibran menarik tubuh Gian ke belakang punggungnya disaat melihat respon anaknya yang terlihat ketakutan. "Ra, aku nggak bisa lagi sama kamu. Aku capek."
Maura terkekeh sinis. "Capek? Jangan bercanda Gibran. Kita sudah sejauh ini, kamu juga janji nggak akan ninggalin aku kan?"
Gibran menggeleng pelan. Ia miris melihat perempuan di depannya ini. "Ra, aku capek kalau kamu selalu seperti ini. Rasa sakit dari kekerasan yang kamu lakuin ke aku nggak sebanding dengan luka yang kamu torehkan ke hati aku, Ra. Aku sudah capek. Kita putus, aku nggak mau dibantah."
"Nggak! Nggak bisa gitu, Gibran. Gibran!"
Gibran menarik tangan Gian tak peduli Maura yang mengejar di belakang seraya berteriak kencang. Gibran juga tak peduli pada reaksi orang sekitarnya, dia lebih khawatir kepada tangan Gian yang bergetar hebat saat ini.
"Gi, Lo kenapa?" Gibran bertanya saat keduanya sudah di depan sepeda.
Gibran menatap mata Gian yang tak mau diam. Bola mata Gian bergerak gelisah ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya juga masih bergetar walaupun tak sehebat awal. Gibran bingung harus seperti apa, yang bisa Gibran lakukan adalah memeluk tubuh Gian berharap sang anak akan lebih tenang.
"Gi, Lo kenapa?"
Sret!!
Tubuh Gibran ditarik oleh seseorang hingga pelukannya dengan Gian terlepas. Gibran menyentak tangan Maura yang berada di pergelangan tangannya. Ternyata Maura berhasil mengejar mereka meskipun langkah kaki keduanya sudah sangat cepat bahkan bisa dibilang sudah setengah berlari.
"Ra, apa-apan sih kamu?"
"Kamu yang apa-apaan! Kenapa mutusin aku tiba-tiba? Dia siapa? Kenapa peluk-peluk orang ini?!" Maura menunjuk Gian tepat di depan hidung.
Gibran menurunkan telunjuk Maura. "Aku nggak secara tiba-tiba mutusin kamu, aku sudah mikirin ini sejak lama. Aku coba untuk terus bertahan tapi rasanya makin sakit, Ra. Hubungan ini nggak sehat." Ucap Gibran frustasi. Ia hampir saja berteriak jika tak bisa menahan diri.
"Kamu sudah janji tidak akan meninggalkan aku, Gib. Kalau capek kita bisa istirahat dulu baru setelah itu lanjut lagi. Ya sayang?"
Gibran menoleh pada Gian yang memberikan gelengan kecil. "Ra, aku nggak bisa. Lagipula perasaan itu sudah nggak ada lagi."
Air mata Maura menetes, ia menatap sendu pada Gibran. Namun tatapan matanya berubah menjadi tajam kembali saat ia melihat Gibran yang melirik Gian. Maura dengan tindakan cepatnya menampar pipi Gian hingga lelaki itu menoleh ke kanan.
"Maura!" Gibran membentak Maura begitu tamparan melayang di pipi Gian.
"Karena dia kan? Apa yang sudah dia lakukan sampai kamu mau mutusin hubungan ini?" Maura menaikkan nada suaranya. Dia tak peduli ketika beberapa pasang mata menatap ngeri ke arahnya. "Ah! Atau jangan-jangan kamu punya orientasi seksual yang menyimpang? Iya? Jawab Gibran!"
"Cukup!" Gibran sudah tak bisa menahan emosinya lagi. Ia menatap nyalang Maura yang juga sedang menatapnya tajam. "Cukup Maura! Kamu ngaco! Aku mutusin kamu karena sikap kamu yang seperti ini buat aku muak. Kamu selalu tidak bisa jaga emosi, tempramental. Kamu selalu ringan tangan untuk mukul seseorang, mukul aku! Aku capek, aku capek kalau terus sama kamu. Kita putus. Silakan cari lelaki yang bisa sanggup ada di hubungan racun seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Comeback
Teen FictionDalam keputusasaannya Giandra berdoa agar bisa memiliki lebih banyak waktu dengan sang Ayah. Giandra hanya ingin memeluk Ayahnya lebih lama lagi. Dia juga ingin bersama sang ayah lebih lama lagi. Rupanya semesta mengabulkan keinginannya. Bersama den...