- 1 -

1K 70 13
                                    

Giandra Ivander, seorang siswa kelas akhir sekolah menengah atas yang tengah duduk sambil menikmati telur gulung di tribun lapangan tampak sedikit kacau. Helaan napas berkali-kali ia embuskan guna mengurangi kegusaran yang tak kunjung berkurang.

"Orang lain ada yang bayar cuma buat napas, jangan dibuang-buang napasnya."

Giandra atau yang kerap dipanggil Gian menoleh kala seseorang duduk di sebelahnya sambil mengulurkan sekaleng soda. Gian menerimanya. Ia tersenyum senang menerima minuman itu. Sudah lama Gian tak meminum soda.

"Kenapa sih?"

"Gue dipilih jadi perwakilan sekolah untuk lomba di luar kota, Ryo."

Ryota, salah satu sahabat baiknya sejak kecil ber'oh' ria kala mendengarnya. Sahabat yang lebih tua darinya satu tahun itu memang terkenal pintar dan sering mengikuti perlombaan baik di dalam kota ataupun ke luar kota. Gian itu otaknya encer banget, beda sama Ryo yang bisa dapat nilai 80 saja sudah bersyukur bukan main.

"Masalahnya di mana? Bukannya ini biasa buat Lo ya?" tanya Ryo heran. Biasanya Gian akan semangat mengikuti lomba. Lumayan katanya piagam dan uang sakunya.

Gian membuang napasnya sekali lagi padahal tadi sudah ditegur sama Ryo. "Perasaan Gue kayak nggak enak gitu. Padahal ini perlombaan bergengsi tapi Gue berat banget untuk ikut."

"Cuma perasaan Lo doang kali, Gi. Ikut sana, biar prestasi Lo nambah. Lo khawatir karena sudah berbulan-bulan lalu kan terakhir lomba." ungkap Ryo bermaksud menenangkan.

Gian menghela napas sekali lagi. Kalau sekali lagi buang-buang napas sepertinya akan dikirimkan piring oleh Ryo yang sudah gemas ingin menjitak. Gian menganggukkan kepalanya walaupun dalam hati masih risau. Jika dipikirkan lagi mungkin perkataan Ryo benar, jika ia hanya terlalu lama tak terlibat dalam lomba.

Gian berharap kecemasan tak berdasarnya ini segera sirna dan hanya kegugupan semata.

Pulang sekolah seperti biasa, Gian akan langsung ke restoran ramen Jepang milik sang ayah, Gibran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pulang sekolah seperti biasa, Gian akan langsung ke restoran ramen Jepang milik sang ayah, Gibran. Di sore hari restoran tidak begitu penuh sebab jam makan siang sudah berlalu dan jam makan malam masih terlalu awal. Gian melambaikan tangan pada Gibran yang sedang membuat ramen. Dapur restoran memang bisa dilihat oleh pengunjung. Gibran ingin membuat restoran ramen semirip dengan yang ada di Jepang.

Gian ke ruang khusus milik Gibran untuk mengganti pakaiannya. Dia memang sering membantu sang ayah meskipun untuk menyajikan makanan ke meja pengunjung yang jauh dari dapur.

"Kak, makan dulu. Resto lagi lengang."

Gian mengangguk. Ia segera duduk di meja bar area dapur yang kosong. Duduk di dekat area memasak memang menyenangkan sebab bisa melihat lebih dekat proses pembuatan ramennya.

"Ayah sampai malam di sini?"

Gibran mengangguk tapi matanya masih fokus kepada mie. "Iya. Salah satu chef lagi cuti karena istrinya melahirkan jadi Ayah di sini dari awal sampai tutup. Kamu pulang duluan nanti ya, Kak."

ComebackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang