- 10 -

248 43 7
                                    

Di sini lah Gian dan para sahabatnya, mengumpat di balik pohon besar tak jauh dari gerbang sekolah. Sesuai kesepakatan yang mereka bicarakan semalam secara rahasia, keempatnya akan membuntuti para bapak kencan.

Gian masih harus dipapah untuk berjalan, meskipun sudah tak begitu sakit tapi tetap saja dia tak boleh berjalan sendiri dulu. Lio yang memaksanya untuk terus dibantu. Padahal Gian sudah menolaknya dengan alasan kakinya sudah jauh lebih baik, tapi Lio seolah tak mau dibantah oleh abangnya.

"Nah itu mereka!" bisik Ryo sambil menunjuk para bapak dan dua om mereka yang kompak selalu bersama.

"Eh mau ke mana tuh. Yuk ikutin pelan-pelan." Lio dengan sigap merangkul Gian untuk memudahkannya berjalan.

Mereka mengendap-endap mengikuti para bapak dan duo om yang berjalan entah menuju kemana. Keempatnya berhenti begitu melihat orang-orang yang diikuti berada di sebuah warung kopi. Mengunyah gorengan, secangkir kopi hitam dan menyumpal bibir mereka dengan sebatang rokok.

"Dih. Bilang sama Gue aja nggak boleh ngerokok kalau masih sekolah. Bohong banget jadi Bebeh." Kaivan mengintip lewat semak-semak bersama yang lainnya. Ia menatap tajam pada sang babeh yang sedang mengisap rokok.

"Katanya Papi mah anak baik, sopan, rajin menabung dan teladan. Pret. Masih sekolah sudah ngerokok, seragamnya aja nggak dikancingin satupun. Cih!" Lio menatap tajam pada Ravindra. Ingatannya kembali kepada saat Ravindra yang dengan bangga mengatakan kalau ia adalah siswa teladan.

"Gue kira Papa nggak mungkin ngerokok soalnya di masa depan nggak pernah kelihatan nyebat. Lah ini malah yang bawa rokoknya, mana tengil banget lagi mukanya." Kata Ryo pelan. Ia lalu menoleh pada Gian yang diam saja. "Lo nggak kaget Gi?"

Gian menggeleng. "Ayah pernah cerita kalau beliau suka ngerokok pas masih sekolah, siswa nakal tapi berprestasi."

Ketiganya mengangguk saja. Setidaknya Gibran jujur, tidak seperti bapak mereka yang menutupi dengan citra anak baik-baik. Padahal Ryo sudah percaya pada Ren yang bercerita dengan serius dulu.

"Jadi lapar deh melihat Papi makan gorengan. Bakwan lagi, pasti enak banget." Lio spontan mengelus perut ratanya.

Kaivan mendengus mendengar keluhan Lio. "Nih bocah paling nggak bisa deh lihat orang makan. Tadi pagi kan makan nasi uduk sampai dua bungkus terus tadi siang makan juga. Sekarang sudah lapar lagi?"

"Iya, Bang Kai." Jawab Lio enteng. Perutnya memang keturunan Ravindra. Lihat saja saat ini Ravindra sudah memakan gorengan total tujuh buah padahal yang lain belum sampai tiga.

"Jangan berisik. Mending kita fokus ikutin mereka lagi." Ucap Gian berusaha melerai percakapan yang menurutnya tak penting itu.

"Lah kok pada masuk ke warungnya ya?" tanya Kaivan bingung pasalnya tempat makan berada di luar terpisah dengan warung tempat memasak dan menyajikan makanan.

Tak lama para bapak keluar dengan baju yang berbeda. Jika sebelumnya memakai seragam sekolah maka kali ini mereka mengenakan pakaian kasual. Sepertinya hal tersebut memang sudah direncanakan dengan matang.

"Kita ikutin lagi pelan-pelan." Kata Ryo setelah memastikan jarak antara mereka aman.

"Gue penasaran Babeh sama Umi gimana pas masih pacaran." Celetuk Kaivan pelan. Kali ini ia yang merangkul Gian berjalan.

"Gue juga, penasaran sih soalnya kan Mama sama Papa orang Jepang tapi kok bisa ya nikahnya di Indonesia."

"Gue juga penasaran kok bisa ya Mami nerima Papi yang aneh begitu." Ucap Lio disambut kekehan ringan abang-abangnya.

"Lo gimana, Gi?" tanya Ryo setelah mereka lama diam sambil sesekali mengumpat di balik pohon.

"Nggak tau," jawab Gian datar. Ia mengkode para sahabatnya untuk mengumpat di balik tembok saat para bapak berhenti.

ComebackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang