- 15 -

252 38 20
                                    

Gibran menghela napas lelahnya. Di depannya kini seorang gadis yang dulu selalu membuatnya terpikat dengan mata indahnya berdiri. Gibran hendak berkumpul dengan para penghuni kost-an setelah pelajaran sekolah usai. Dia baru saja akan menyusul sepeda yang dikendarai para sahabatnya sebelum gadis ini menghadang jalannya.

"Sayang," panggilnya dengan nada ceria.

"Ra, stop. Kita sudah nggak dalam hubungan yang pantas kamu panggil aku begitu."

Maura melunturkan senyumannya. "Gibran, aku minta maaf kemarin. Aku nggak sengaja pukul kamu, aku sadar kalau sikap ku kemarin salah. Maaf ya, kita balikan ya? Aku janji akan berusaha biar nggak emosian."

Gibran tersenyum miris. Ah dia tak lagi bisa menghitung berapa kali janji yang diucapkan gadis itu terucap.

"Jangan janji lagi, aku sudah nggak percaya. Kita sudah selesai. Udah ya? Emang kamu nggak capek?"

"Nggak! Ayo balikan!"

"Tidak bisa. Aku nggak ada perasaan seperti dulu lagi. Aku pergi, jangan kayak gini lagi."

Gibran mengayuh sepedanya tanpa melihat ke belakang di mana Maura berteriak memanggilnya. Ada rasa sakit yang menjalar di dadanya mendengar tangisan Maura, seseorang yang menemaninya dan pernah membuatnya bahagia.

Gibran menggelengkan kepalanya ketika pikiran untuk kembali pada Maura terlintas. Selain rasa lelah dengan hubungan yang menyakitkan, dia juga ingat kalau di masa depan bukan Maura lah yang menjadi istrinya. Gibran tak ingin mengubah masa depan dan memungkinkan Gian tak pernah terlahir di dunia.

"Kenapa lama?" Ren yang sengaja menunggu Gibran di pinggir jalan bertanya. Keduanya kini mengayuh sepeda bersisian.

"Tadi ada Maura, Ren."

"Minta balikan lagi? Ngucapin janji nggak emosian lagi?" tanya Ren yang seperti hafal di luar kepala tentang hal tersebut. Gibran mengangguk lesu. "Lo terima lagi?"

"Ya nggak lah! Gue kan sudah bertekad untuk deketin Naura, lagipula hubungan Gue sama Maura cuma bikin Gue makin sakit. Yah walaupun Gue pernah bahagia sama dia dulu. Tapi nggak mau Gue paksain lagi."

Ren mengulas senyum merasa bangga. "Bagus, Gib. Gue sama yang lain kan dari dulu nggak setuju Lo sama dia. Selain memang punya karakter yang emosian, dia juga sering tidak menghargai status Lo."

Gibran membenarkan dalam hati. Cintanya untuk Maura dulu lebih besar hingga mengabaikan sikap semena-mena dari gadis itu.

Awalnya Gibran terkejut dengan Maura yang melayangkan pukulan ke pipinya di tahun pertama mereka bersama. Gibran memaklumi perilaku tersebut dengan dalih Maura memang sedang benar-benar emosi. Tapi beberapa bulan kemudian dia kembali mendapatkan pukulan dan makian dari Maura hanya karena hal-hal yang seharusnya tak dibesar-besarkan.

Gibran merasa lelah dan sakit ketika Maura melakukan hal itu padanya, dia marah tapi setiap kali ingin berhenti gadis itu meminta maaf serta berjanji. Keesokannya semuanya kembali normal dengan Maura yang manis dan lembut. Namun begitu ada yang membuatnya tak senang dia akan kembali emosi, marah-marah dengan nada tinggi hingga ke tahap memukul.

Dulu Gibran merasa dirinya sangat sakit tapi ketika tak bersama dengan Maura terasa lebih menyakitkan. Gibran menulikan semua nasihat dan amarah para sahabatnya tentang hubungannya dengan Maura. Gibran terlalu mencintai gadis itu. Hingga beberapa bulan belakangan ini dia bertemu dengan adik tingkat yang begitu menggemaskan, membuat ribuan kupu-kupu berterbangan setiap kali mereka berinteraksi.

Hal tersebut membuatnya berniat untuk mengukuhkan keinginan untuk memutuskan Maura. Kemudian ditambah dengan kedatangan Gian dari masa depan. Gibran ingin terlepas dari tali yang mengekangnya.

ComebackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang