Apa yang enak dari hidup seorang Diandra Pramustika? Menjadi istri seorang dosen? Bisa tinggal bersama sosok yang dicintai? Atau karena jadi mantu presiden?
Oh, bukan-bukan. Nyatanya Tika tidak suka dengan semua itu, sial! Untuk apa dirinya harus b...
"Saya tidak akan pernah melepaskan dirimu, sampai maut memisahkan. Apapun yang terjadi, kamu tetap milik saya."
•®•
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sekitar 34 jam dari kejadian itu, Tika langsung dijemput oleh Javas di flat sahabatnya, Rere. Perempuan berambut blonde itu membukakan pintu saat mengetahui suami dari sahabatnya yang masih tertidur di sofa, mempersilahkan masuk.
“Sorry, Tika-nya masih tidur. Belum lama sih,” ucap Rere pada Javas.
Pria dengan V-neck sweater yang dipadukan chinos pants itu mengangguk. “Iya, nggak apa-apa, makasih sebelumnya sudah menampung Tika di sini. Maaf Tika-nya merepotkan.”
“My pleasure. Dia nggak ngerepotin, udah biasa dari dulu kalo ada apa-apa suka ke sini.” Rere mempersilahkan suami sahabatnya itu untuk duduk, sedangkan dirinya melipir ke area dapur sekadar membuatkannya minum sebagai sopan-santun.
Javas segera mengambil area kosong di sebelah Tika yang tengah tertidur dengan posisi ke samping berbantalkan tangan. Pria itu melihat wajah natural istrinya yang tidak tertutup riasan. Mata almond dan bibir yang selalu mencetuskan kata-kata judes itu tertutup sekarang. Membuatnya bisa lebih leluasa memandangi Tika yang sudah ia khitbah.
“Ayem banget, kan, liat dia udah tidur begitu?” Rere datang sembari menyuguhkan teh lemon di cangkir putih bersama sekaleng kukis coklat.
Pria itu menoleh dan mengangguk. “Rasanya lebih plong,” ujar Javas disertai senyuman tipis.
Rere terkekeh membenarkan. Memang, sahabatnya itu kadang kala menyebalkan dan enggak bisa dimengerti. Hobi misuh-misuh tidak jelas padahal sedang tidak datang bulan. Suasana hati Tika sering naik turun seperti roller coaster dalam waktu yang tidak lama. Pagi ceria, siang misuh-misuh, malam nangis, atau pagi misuh-misuh, siangnya ceria dan malamnya kembali seperti mode di pagi hari. Begitu terus siklusnya, Rere sudah hafal di luar kepala.
“Tapi yang begitu-begitu kadang ngangenin kalo nggak keliatan. Apalagi hampir tiga bulan sejak Lo pada nikah, njir kesatuan sepi kagak ada dia,” terang Rere terduduk di atas sofa kecil sambil menekuk kakinya bersila.
“Berarti Tika termasuk dikenali, ya, sama teman-teman kalian di kesatuan?”
Rere mengangguk menatap Javas yang menyeruput teh lemon buatannya. “Tentu aja, siapa juga yang nggak kenal dia. Orang kesatuan sebelah aja sampe paham siapa sosok ‘pematah hati bujangan’ pas diajak pengajuan. Dia nih, sejak di lembah tidar sampe pangkatnya naik dua balok, sukanya nolak cowok-cowok yang ngajakin nikah. Alasannya klise banget, asli.” Perempuan itu bergelora menceritakan bagaimana sosok Tika saat menjadi prajurit dulu.