"Dia cantik, walaupun saat bangun tidur di pagi hari sekalipun."
••®••
Gema iringan gamelan merembet memasuki gendang telinga Tika. Perempuan berkebaya pinang masak lengkap dengan sanggul modern itu berdiri tak jauh dari rombongan pengantin yang mulai memasuki area pura. Banyak pasang mata serta kamera menyorot pada titik yang sama, pada pasangan yang kini menjadi raja dan ratu untuk dua hari ke depan. Presiden beserta ibu negara tak henti-hentinya menyunggingkan senyum suka-cita di hari istimewa ini. Pembawa acara yang memandu dengan bahasa Jawa Krama Inggil terus mengucapkan kalimat-kalimat berisi rentetan acara yang sedang berlangsung.
Kaivan serta Savira, dua pasangan pengantin yang sebentar lagi melangsungkan prosesi resepsi di pura Mangkunegaran. Mereka berjalan dengan langkah pelan, menaiki beberapa anak tangga untuk sampai di kursi altar yang telah ditata cantik bergaya Jawa klasik. Hiasan bunga pada gebyok dan tanaman lain membuat area yang dijadikan sebagai altar kedua pengantin duduk berdampingan itu sangat memikat. Perpaduan kebaya kutubaru dengan ornamen train menjuntai serta beskap payet warna senada itu sangat serasi disandingkan bersama ornamen altar pernikahan mereka.
"Mimi, aku mau foto sama Mimi." Tika mengarahkan pandangannya pada sosok laki-laki usia tujuh tahun yang nampak tampan terbalut beskap lengkap dengan blangkon gaya Surakarta di kepala. Ia memegang sebuah digital pocket camera hitam berharga 3 kali gaji Tika sebulan, sambil menyentuh tangan perempuan itu yang saling tertaut di depan tubuh.
"Perasaan tadi sama papi-mu, Je. Ngapain ke sini?" Tika menundukkan badannya guna berbicara dengan jelas pada bocah laki-laki itu. Riuh suara gamelan serta pembawa acara dan tamu undangan sedikit membuat pendengar terganggu.
Jean―keponakan Javas anak dari Isyana―memanyunkan bibir. "Papi lagi sama adek, ngejar tukang es dung-dung," ungkap anak itu cemberut.
"Oh," perempuan itu merespons. "Kenapa nggak ikut aja sekalian?"
"Males keluar, banyak yang ajakin foto sama ditanya-tanya wartawan."
Tika terkekeh kecil. Memang sih, jadi anak-cucu-mantu orang terpandang di bumi Pertiwi akan diperlakukan semacam itu. Apalagi sekelas keluarga Prawiranegara yang kehidupannya saban hari tersorot kamera 24 jam nonstop. Tika tahu bagaimana risinya kondisi seperti itu. Beruntunglah dirinya, tidak diperlakukan sama selayaknya bahan konsumsi publik. Untungnya suami gue nggak pernah diketahui publik keberadaannya.
"Mimi, ayo kita foto aja."
Tika menerima uluran kamera digital bentuk persegi kecil itu dari keponakannya. Jean sudah merapatkan tubuhnya pada perempuan berkebaya pinang masak itu sambil tersenyum riang. Sekitar lima pose mereka ambil menggunakan benda tersebut, semuanya terlihat kocak-kocak sebab hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan gaya di awal. Lihatlah saja, pada foto ketiga yang mereka ambil. Tika dan Jean kompak memencongkan bibir atas dan bawah sambil saling lirik. Tidak ada unsur cantik atau tampan, hanya ekspresi lucu yang terkesan aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grahita Kama
RomanceApa yang enak dari hidup seorang Diandra Pramustika? Menjadi istri seorang dosen? Bisa tinggal bersama sosok yang dicintai? Atau karena jadi mantu presiden? Oh, bukan-bukan. Nyatanya Tika tidak suka dengan semua itu, sial! Untuk apa dirinya harus b...