17. Pak Dosen

13.4K 845 12
                                    

Tunas muda pepohonan mulai bermunculan. Tumbuh seperti bayi kecil yang tak tahu kotornya debu dan asap ibu kota. Masih hijau, masih segar. Muda dan penuh semangat. Mereka melambai-lambai mengikuti tarian angin. Beberapa menjulang ke langit seolah merindu pada penciptanya.

Ah, urusan itu, manusia pun hakikatnya sangat merindukan asal muasal mereka. Percaya akan surga dan neraka tapi masih enggan menjalankan perintah agama.

Ayo bermain logika. Iblis enggan bersujud pada Adam. Sedangkan manusia enggan bersujud pada Tuhan.

See? Siapa yang sebenarnya pendosa paling laknat?

Ah sudahlah. Bicara tentang dosa, manusia memang wadahnya salah. Seharusnya Ayu tak bermain sandiwara di hadapan Tuhan. Seharusnya Ayu tak mempermainkan janji ijab qobul. Inilah yang terjadi. Karmantmya datang perlahan.

Ayu memegangi dada. Ia tatap pantulan dirinya di kaca.

"Aku suami mu. Tetaplah bersama ku saat acara nanti. Tidak akan kubiarkan seseorang menjatuhkan mu."

Menggeleng. Kepala itu bergerak cepat menolak kilas balik tadi malam. Ayu menarik nafas dalam-dalam. "Fokus Ayu! Ada presentasi. Jangan plin-plan!"

Ayu menarik nafas dalam-dalam. Ruang kelas ada di depan. Ruang di mana setiap mata memandang. Ia kembali membenarkan rambut. Merapihkan baju. Padahal sudah ia lakukan itu ketika di kamar mandi tadi.

Seacuil memori semalam kembali mencuat. Mengganggu fokus Ayu sampai kaki itu melambat.

"Apa sih Ayu! Dia itu cuma asal ngomong biar ditemenin. Baik kalo ada maunya. Dasar sontoloyo!"

Ruang kelas dimasuki. Kosong. Seperti dugaan. Ayu memang datang lebih awal untuk menyiapkan presentasi pertamanya.

"Ndak rugi dateng pagi. Kayak gini kan bisa latihan dul--"

"Gasik banget Yu."

"Astagfirullah!"

Pundak Ayu berjengit kaget mendengar suara bariton itu. Sangat dekat. Reflek dia berbalik. Dada bidang didapatinya. Ia pukul si pelaku.

"Hehe, tumben astagfirullah. Biasanya eh monyet, monyet."

"Iya! Mas monyetnya! Kesel banget. Bukannya dimomong adeknya malah diusilin terus. Ndak di kampung. Ndak di sini sama aja!" cerocos Ayu.

"Lho, emang kamu adek ku? Yeee, wong aku males nganggep kamu adek kok. Hahaha."

"Mboh lah Mas!" Ayu melengos masuk duluan.

"Yaa ngambek deh. Yu... Ayu." Rangga ikut masuk. "Ojo nesu. Weslah, dari pada adek. Tak anggep calon ibu dari anak-anak ku piye?"

Berhenti. Punggung mungil itu berbalik. Menatap singut. "Ndak usah sok romantis. Mending minggat aja sana. Mas ngapain pagi-pagi di sini. Ndak ada kerjaan!"

Senyum ceria itu masih setia eksis. Meskipun dikatai buruk sekali pun. Jika itu artinya bisa melihat Ayu misuh-misuh. Adalah kebahagiaan untuk Rangga. Entah kenapa dia suka mendengar ocehan Ayu. Mengingatkan Rangga tentang hari itu. Hari yang mungkin untuk pertama kali baginya menyadari bahwa hatinya telah jatuh untuk wanita pemilik netra coklat terang ini.

Rangga duduk manis. Bukan di salah satu kursi mahasiswa. Melainkan kursi dosen.

"Heh! Mas! Ndak sopan duduk situ. Itu tempatnya dosen."

Tak berkomentar. Rangga justru cengengesan.

"Udah lho, Mas itu ngapain ke sini. Lagi ndak ada kelas?"

"Ada," jawab Rangga santai.

"Ya ke kelas sana. Entar di DO mampus."

"Kalau di DO ya nggak masalah. Cari kampus lain."

Menolak Jadi JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang