30. Bayi Besar

14.1K 1.2K 43
                                    

Makin hari kok makin jomplang viewers sama votenya. Ayo dong gaes. Satu2nya yang buat penulis seneng tuh vote dan komen kalian. Yuk bisa yuk semangatin. Mungkin aja mood ku bakal baik terus lebih sering up. Hehe

Happy reading!

Hari melelahkan selalu menjadi pemilik sang korporat. Tak banyak bergerak. Tak banyak mengeluarkan tenaga. Namun anehnya energi bisa habis begitu saja. Bisa jadi pikiran menyumbang penuh atas terbuangnya energi raga.

Otak adalah inti yang mengatur rasionalitas dan logika. Ketka bekerja, mau tidak mau, suka tidak suka, otak dipaksa fokus oleh tuntutan. Dan yah, begitulah siklus yang harus dilalui para pencari rezeki berdasi. Berangkat penuh energi. Pulang meninggalkan pikiran.

Agak kejam jika diutarakan. Mereka yang berdasi menyimpan bebannya sendiri. Definisi di atas langit masih ada langit. Seberapa tinggi jabatan mu, selalu ada yang bisa menekan mu. Tak terkecuali Adeen. Ia berdiri di puncak. Tak ada yang menekannya di perusahaan. Tapi dia punya tanggung jawab besar memajukan perusahaan. Nasib karyawan ada di tangannya. Salah langkah, mereka yang terkena imbasnya.

Yah, itu tidak akan pernah terjadi. Selama Adeen masih hidup. Tak akan ia biarkan karyawannya dipulangkan. Hanya saja… Adeen punya masalahnya sendiri.

“Bagaimana aku bilang ke Ayu ya? Apa dia mau datang ke acara amal? Terakhir kali ada kejadian itu. Aku takut dia….” Adeen menyadarkan diri ke sofa. “Apa aku ajak Sakila saja? Hah, Mama pasti mengoceh panjang lebar. Kalau aku ajak Ayu, kasihan dia. Pasti tidak nyaman untuknya.”

“Apa aku tidak usah datang saja? Lagi pula banyak pebisnis yang tidak datang tahun lalu.”

“Dari tadi Mas ngomong opo to?” Ayu tiba-tiba menimpali. Adeen reflek menoleh ke sumber suara. Mendapati Ayu masih sibuk mengeringkan rambut. Dia baru selesai mandi. Memakai celana pendek. Kaos oblong putih dan… shit! Kaosnya menerawang.

Adeen melengos. Menghindar agar nafsunya bisa ditahan. Eh, si sumber nafsu justru mendekat. Duduk di samping Adeen.

“Mas lagi banyak pikiran ya?”

Adeen mengangguk cepat tanpa menoleh ke Ayu. Sumpah demi apapun dia harus tetap menunduk. Melihat bayangannya yang tercetak di lantai marmer. Sekali dia menatap mata bening itu. Entah akan melebur kemana sisa kewarasan Adeen.

“Mas doyan wedang jahe ndak? Kalau doyan tak buatin.”

“….”

Anggaplah Adeen tak mendengar. Dan memang kenyataannya dia sedang sibuk mengontrol otak ngeresnya. Karenanya Ayu turun dari sofa. Berjongkok. Dan tatapan mereka bertemu.

“Kok Mas pucet sih? Amet yo Mas.” Ayu mendaratkan tangannya di kening Adeen.

Mau tahu bagaiamana respon Adeen?

Yups! Dia membeku. Tali kewarasannya telah putus. Persetan! Adeen ingin lebih banyak sentuhan. Di genggamnya tangan Ayu. Dengan mata yang sepenuhnya tenggelam oleh hasrat dia berkata, “Sepertinya aku demam.”

“Tapi ndak panas tuh.” Ayu mengungkapkan fakta.

“Kepala ku pusing sekali.” Adeen semakin menggenggam erat tangan Ayu. “Tolong rawat aku, Ayu,” pintanya. Hilang akal.

Dengan polosnya Ayu menyetujui. Tak sadar dirinya telah dikelabuhi. Oleh lelaki yang kini tengah dilanda hasrat bertubi-tubi.

“Mas biasanya minum obat apa kalau pusing?” Ayu bertanya. Mereka kini berada di kamar Adeen. Ruang dengan furniture lengkap dan interior moderat. Adeen berbaring, sedang Ayu berdiri. Menunggu jawaban. Yah, walau laki-laki ini kerap menjengkelkan. Ayu tak sampai hati meninggalkan orang sakit.

Menolak Jadi JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang