18. Diam-Diam Cinta

12.9K 812 14
                                    

“Ayu… kamu masih bahagia?”

Tak bersuara. Ayu memilih diam. membiarkan kalimat itu melebur bersama ramainya suasana.

Sebenarnya definisi bahagia itu seperti apa? Setelah Ibu meninggal. Ayu tak menemukan tempat bahagia di mana pun ia berada.

Senyum? Tertawa?

Ya, Ayu melakukannya. Tapi… semua tak sama. Separuh dirinya hilang. Tujuannya telah pergi ke sisi Tuhan. Cita-citanya menguap perlahan. Memang untuk apa sifat ambisius Ayu terbentuk jika bukan untuk membahagiakan Ibunya? Membawanya dari tempat buruk itu ke tempat yang lebih layak. Membiarkan Ibunya untuk sekedar bersantai sejenak dari rutinitas yang terasa mencekik setiap hari. Hanya demi sekantong beras. Hanya demi upah yang tak seberapa.

Ah, jika diingat rasanya sesak. Ayu tidak sempat. Ayu terlambat membahagiakan Ibunya.

“Ayu?”

“Hum, aku masih sama kok Mas. Ndak apa-apa.”

Untuk sekarang. Mari sembuh.

Berat. Pasti! Tapi Ayu bukan gadis lemah. Jika dulu Ayu punya Ibu sebagai sumber motivasinya. Maka sekarang, Ayu punya dirinya sendiri. Sebagai orang yang berpikiran maju. Ayu tidak akan membuat keturunannya mengalami nasib serupa. Berhenti di generasi ini saja.

Ayu menyikut dada Rangga. “Kayaknya malah Mas yang punya banyak masalah,” sindir Ayu.

“Haha, Yah, manusia memang sumbernya masalah. Kalau mau nggak punya masalah ya mati aja.”

“Hush! Ngomongnya kok kayak orang putus asa gitu.”

“Emang. Aku lagi putus asa Yu.”

“Tuh, kan. Bener dugaan ku. Putus asa ngopo?”

Tatapan mereka bertemu. Lekat. Rangga menatap netra coklat terang itu lamat-lamat. “Ayu, kenapa kamu nyembunyiin fakta kalau kamu udah menikah.”

DEG!

“Aku nggak sesabar itu nunggu kamu bilang sendiri. Aku sadar posisi ku yang hanya orang biasa buat mu. Tapi orang biasa ini merasa nggak nyaman main rahasia-rahasiaan. Yu… baik buruknya kamu. Aku tahu. Kurang lebihnya kamu. Aku khatam. Selama aku merantau, nggak pernah sedikit pun aku telat nanyain kabar mu ke Bapak.”

“Aku tau Yu. Aku tau kamu dibawa pergi sama keluarga kaya. Aku tau keluarga kaya itu bermaksud nikahin kamu sama anaknya.”

“Yu… kenapa kamu nggak bilang? Malah ngarang cerita kesana kesini. Apa laki-laki itu yang nyuruh kamu? Apa dia buat kamu nggak nyaman? Apa dia buat kamu—“

“Mas!” tegur Ayu. Situasinya sudah tidak kondusif. Ayu tidak mengira Rangga akan bicara sebanyak ini. Dan tidak mengira pula pembicaraannya akan seserius ini. Sampai mereka menjadi pusat perhatian. Banyak pasang mata menatap heran.

“Ayo cari tempat dulu. Aku bakal jelasin.”

Ya, Ayu tidak punya pilihan. Memang dari dulu begitu bukan? Di depan Rangga, Ayu tidak pernah punya kesempatan untuk berbohong. Dia pandai mendeteksinya.

Bukan tempat mewah. Bukan juga tempat yang ramai. Jam makan siang. Biasanya café-café dipenuhi orang. Mereka menghindari yang seperti itu. Kenyamanan adalah nomor satu. Mereka memilih tempat ini.

Masih ada satu jam sampai ruang kelas ini dipenuhi orang. Bertepatan dengan itu, di sini Rangga mengajar. Kursi-kursi kosong menjadi saksi. Sebuah pengakuan. Sebuah rahasia yang hanya dua orang pemerannya. Kini bertambah satu lagi. Berharap bukan masalah yang muncul kedepannya. Tapi pelindung di kala sang nestapa singgah. Karena sekuat apapun wanita. Akan menemui masa kritis juga.

Menolak Jadi JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang