14. Serpihan Masa Lalu

11.3K 824 10
                                    

Kadang Ayu berpikir. Bagaimana cara membangun gedung bertingkat yang tingginya naudzubilah? Tukang kuli Indonesia memang top. Bisalah diadu sama tukanng kuli di zaman firaun.

Oke, abaikan pikiran ngawur Ayu. Sekarang kembali ke latar tempat.

Gedung menjulang empat lantai tepat berdiri gagah di depan Ayu. Pepohonan rindang yang ranting-rantingnya bersinggungan dengan badan gedung membuat asri kampus ini.

Bukan kampus viral. Bukan juga kampus hits. Universitas swasta yang para peminatnya rata-rata orang yang gagal masuk ke universitas terkenal atau orang-orang yang membutuhkan ijazah saja.

Karena itulah. Di sini banyak ditemui pekerja yang melanjutkan study untuk syarat naik jabatan. Rata-rata mahasiswanya pun lebih mementingkan penampilan dari pada kualitas. Di sini pahamkan apa yang dimaksud?

Seliweran orang-orang melewati Ayu. Ada beberapa pasang mata menatapnya lama.

Ayu segera memeriksa ke bawah. Mengambil kaca bekas bedak padat yang sengaja dilepas. Merapihkan rambut. Memeriksa belek di mata.

"Aku udah oke kan yo?"

"Ndak deso banget."

Gumaman itu tenggelam di antara ramainya orang. Dada Ayu nampak mengembang. Ia bulatkan tekad memasuki gedung bertingkat itu.

"Ruang J5 nang endi yo?"

Ternyata tak semudah yang diarahkan Adeen semalam. Dengan entengnya Adeen bilang tinggal masuk gedung maka ruang kelas akan mudah ditemukan.

Nyatanya?

Walah jan! Ayu sampai nyasar entah di mana ini. Tidak banyak orang lewat. Koridor sepi. Ada tulisan Pasca Sarjana mencolok di dinding.

"Kayaknya aku nyasar deh."

"Mbalik aja lah."

berbalik. Yang Ayu temui bukannya jalan lapang justru tertutup badan seseorang. Pakai acara Jidatnya terpantuk dada laki-laki ini segala! Inikan bukan cerita klasik yang diawali dengan tabrakan tokoh pria dan wanita. Untung Ayu tidak membawa apa-apa. Jadi tidak ada barang yang terjatuh dan secara tidak sengaja tangan mereka bertemu. Lalu saling pandang dan cinta pun mulai tumbuh.

"Ma-maaf. Aku kesasar," ungkap Ayu sopan. Tanpa melihat. Ayu melewati laki-laki itu.

"Ayu?"

Tersentak. Reflek Ayu menghentikan langkah. Dia tidak salah dengar kan?

"Kamu Ayu kan?"

Lho? Ndak salah dengar tuh.

Ayu pun berbalik. Wajah bingung itu perlahan menemukan gurat ceria. Lengkungan apik bibirnya terbentuk sempurna.

"Mas Rangga?"

"Ayu?"

"Mas Rangga?!"

"Ayuuu."

"Mas-- ehem!" Ayu menetralkan keterkejutan. Ayu yakin akan menyebutkan nama sampai jam pulang tiba. Karena begitulah Mas Rangga. Dia suka menggoda Ayu dengan kelakarnya.

"Mas Rangga kuliah di sini to?"

"Iya. Lha kamu ngapain nyasar ke sini? Nggak, nggak. Kamu kuliah di sini?" selidiknya.

"Ceritanya panjang Mas. Kapan-kapan tak ceritain. Oh ya! Mas gimana kabarnya? Sekarang keliatan kayak orang bener ya Mas. Ndak kayak dulu. Haha."

"Heh! Ngawur! Aku lho udah bener dari dulu."

"Radak sengklek aja otaknya. Hahaha."

Namanya Rangga Gunawan. Anaknya Pak Gunawan yang punya kebun cabai berhektar-hektar di kampung rambutan. Lebih tua dua tahun. Setelah lulus SMA dia lanjut kuliah. Dan dengar-dengar lanjut S2.

Menolak Jadi JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang