31. Kerandoman Ayu

10.5K 765 23
                                    

“Yu, nunggu siapa?”

Ayu yang duduk di koridor kampus menatap sumber suara. Mengerjap beberapa kali lalu tersenyum. “Ndak nunggu siapa-siapa kok.”

Pikir Ayu, dia tidak pantas punya teman. Mengingat sampai detik ini hanya Rangga saja yang sering melibatkan Ayu menghabiskan waktu di kampus.

“Gimana Mbak?” lanjut Ayu.

“Ke kantin yuk.”

Ayu semakin mengembangkan senyumnya. “Boleh.” Mereka menuju kantin bersama. Ramai orang hilir berganti menjadi umum sebab jam istirahat sedang berlangsung. Mereka memilih bangku yang masih kosong. Selagi menunggu pesanan datang, tak elak mereka mengobrol bersama.

“Yu, yang kemarin ngantar kamu itu siapa?” tanya teman kelas Ayu.

“Yang mana Mbk?” Ayu pura-pura lupa. Sebab ini ranah krusial mengingat perjanjiannya dengan Adeen kala itu. Sebisa mungkin pembahasan tentang Adeen diminimalisir.

“Yang itu lho, yang jemput kamu naik mobil. Sumpah keren banget dia. Vibesnya kayak CEO gitu.”

“Oh yang itu,” sahut lainnya. “Iya Yu, dia siapa mu? Pacar?”

Sekali lagi Ayu beritahu. Hanya segelintir orang yang tahu status Ayu. Termasuk Rangga dan beberapa civitas akademik yang membantu Ayu masuk kemari. Membuatnya harus tetap waspada dan jaga mulut.

“Bukan.” Pada akhirnya Ayu berdusta lagi. Sebenarnya ia lelah. Tapi bagaimana lagi? Dia yang memilih masuk ke lingkar setan ini. Sebab, dulu banyak hal yang Ayu pikirkan. Tentang kelangsungan hidupnya setelah Ibu meninggal. Buntu, dan pada akhirnya Ayu memilih tawaran Arista.

“Terus siapa Yu?”

“Dia… emh, itu… dia tetangga kontrakan ku.”

“Serius?” sahut yang lain. “Kok dia sering banget nganter kamu Yu?”

“Iya soalnya tempat kerja dia ndak jauh dari sini. Terus dia juga baik banget. Sering nganter makan.” Ayu pikir dia tidak salah bicara. Ternyata imbasnya malah begini.

“Kenalin dong Yu. Kali aja jodoh. Hahaha.” Padahal dia hanya bercanda. Tapi Ayu salah paham dan berpikir dia serius. Toh, cuma kenalan dan mungkin saja benar, dia jodoh Mas Adeen.

“Ini aku ada nomornya. Mbak mau?”

“Eh, dia udah nikah belum?”

Menikah ya? Dalam catatan pemerintah memang sudah. Tapi agama tak merestui mereka. Kalau diingat-ingat, waktu itu–dihari pertama setelah ijab kobul diutarakan, laki-laki itu melayangkan talak yang hanya diucapkan secara spontan. Sejak itu pernikahan ini sudah tidak sah.

“Belum Mbak. Ndak pernah bawa cewek ke rumah juga.”

“Oh, oke. Kirim ya nomornya.” Dan Ayu pun mengirimnya.

“By the way, lo sama Kak Rangga apa kabar?” Kini giliran lainnya bertanya. Ada tiga gadis di sini dan sepertinya mereka cukup penasaran dengan kehidupan Ayu.

“Hehe, baik-baik aja kok Mbak. Lha emang kenapa Mbak?”

“Aduh, bukan itu. Maksudnya lo sama Rangga udah sampai mana hubungannya? Kayaknya kalian akrab banget. Banyak dari kita yang mikir kalian pacaran.”

“Ha? Yo ndak to Mbak. Mas Rangga itu udah kayak Kakak sendiri. Kita tuh tetangga di kampung. Dari kecil aku mainnya sama dia.”

“Oh gitu. Boleh ditikung nih berati?”

“Ambil aja Mbak. Aku ada nih nomornya. Nanti tak kirim sekalian. Dia itu kasihan Mbak. Jones. Dari dulu ndak pernah pacaran. Masih perjaka ting-ting. Mbak ndak perlu khawatir. Bibit bebet bobotnya mantep Mbak. Anak juragan cabe. Usahanya makmur. Rumahnya gedong. Pokoknya kalau nikah sama dia ndak akan miskin tujuh turunan. Terus dia baik Mbak. Walau agak sengklek otaknya. Terus ya Mbak dia itu—“

Menolak Jadi JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang