Bab 9

69 9 0
                                    

✾ Gardenia  ✾

“Mau pulang sekarang?”

Nadira menoleh dengan gerakan kaku dan kemudian memasang senyum yang terkesan dipaksakan. Kiara, di ujung panggilan juga mendengar suara Arjuna. Maka dengan segera saja Kiara memutuskan panggilan mereka dan membiarkan Nadira menghadapi Arjuna sendirian. Nadira dalam hati mengumpati sahabatnya itu yang bisa-bisanya membiarkan dirinya malah terjebak dengan Arjuna di sini.

Arjuna, pemuda itu malah memasang wajah lembut dan kemudian mengulurkan tangannya seolah meminta agar gadis di depannya itu menerima uluran tangannya. Nadira dalam hati menjerit-jerit histeris. Rasanya seperti ia sedang dimintai oleh seorang pangeran untuk berdansa dan bayangan sekolah di belakang mereka seperti memudar berganti menjadi ballroom dansa. Memang aneh.

“Ra? Nadira?” panggil Arjuna mencoba menyadarkan Nadira yang melamun memandangi wajahnya.

Nadira tersentak kecil dan kemudian menatap Arjuna dengan tatapan merona malu. “Maaf, gue melamun.” Arjuna tersenyum geli dan menggeleng pelan. “Gapapa. Jadi, mau balik sekarang?” tanya Arjuna lagi.

Nadira mengangguk ragu. Ia menatap tangan Arjuna yang masih setia menunggu untuk disambut oleh Nadira. Gadis itu menerimanya dengan gerakan kaku dan Arjuna mengajaknya pergi ke parkiran dimana ia memarkirkan motornya di sana. Setibanya di parkiran, Arjuna menyerahkan satu helm yang memang ia pinjam dari teman OSIS-nya setelah Kiara memintanya untuk mengantarkan Nadira pulang. Arjuna tak mau kalau teman yang ia bonceng ini kenapa-napa.

Nadira menerima helm itu dengan malu-malu. Ia mencoba memasangnya hanya untuk membuat rambutnya berantakan dan menutupi matanya. Ia melepaskan helm itu lagi, merapikan rambutnya dan mencoba memasangnya kembali hanya untuk mendapati hal yang sama. Arjuna melihat itu malah mendapatinya lucu dan menggemaskan.

“Sini gue bantuin,” ucap Arjuna. Nadira menggeleng panik. “E–enggak usah!” ucapnya.

Arjuna menggeleng geli dan kemudian meraih helm di tangan Nadira dan kemudian meletakkannya di atas jok motor. Ia berjalan ke belakang Nadira dan kemudian menggulung kecil rambut tergerai Nadira dengan gelang karet yang tadi kebetulan ada di saku celananya. Gelang karetnya masih baru kok, juga Arjuna tak mengikatnya dengan begitu kencang. Hanya sebatas agar rambut Nadira tak mengganggu mata gadis itu. Nadira terdiam kaku begitu tangan Arjuna mengikat rambutnya.

“Gue pasangin helmnya, ya?” tawar Arjuna. Nadira mengangguk pelan. Arjuna pun meraih helm tersebut dan memasangkannya dengan penuh kehati-hatian kepada Nadira.

KLIK.

Suara pengaman helm terdengar dan membuat Nadira tanpa sadar malah menatap wajah Arjuna yang berada cukup dekat dengan wajahnya. Tuhan, rasanya Nadira ingin pingsan sekarang karena betapa indahnya rupa ciptaan-Mu ini. Batin Nadira menjerit.

Arjuna tersenyum puas saat mendapati helm tersebut telah terpasang dengan apik di kepala Nadira. “Udah selesai. Yuk, naik.” Arjuna kembali menyadarkan lamunan Nadira.

Nadira mengangguk kecil dan naik ke boncengan Arjuna. Gadis itu memegangi bagian belakang motor Arjuna karena ia tak berani untuk berpegangan dengan Arjuna. Pemuda itu melirik melalui kaca spion dan meraih tangan Nadira dengan lembut hanya untuk mengarahkannya ke pinggangnya.

“Pegangan di sini. Kalo di belakang nanti jatuh,” ucap Arjuna. Nadira mengangguk kaku dan meremat erat jaket Arjuna. Duh, rasanya Nadira ingin sekali memeluk punggung lebar itu dan merasakan hangatnya suhu tubuh Arjuna.

✾ Gardenia  ✾

Arjuna dan Nadira berhenti sejenak di sebuah Alfamart karena tiba-tiba saja hujan gerimis melanda. Arjuna sebenarnya bisa saja menerobos hujannya toh juga tak deras, hanya saja ia tak ingin temannya ini sakit. Bagaimana kalau ternyata Nadira adalah orang yang kalau terkena hujan sedikit saja langsung demam? Arjuna tak mau mengambil resiko walau Nadira sudah mengatakan tak masalah jika menerobos hujan.

Hening, keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Arjuna menoleh ketika mendapati Nadira menggosok pelan kedua lengannya. Arjuna melepaskan jaketnya dan kemudian menyampirkannya di puncak Nadira. Gadis itu tercekat kecil. Ia menoleh dan mendapati Arjuna yang tersenyum dengan penuh kelembutan.

“Lo kedinginan. Gapapa, pake aja.” Suara lembut Arjuna hampir membuat Nadira tersenyum lebar. Gadis itu menggeleng kecil dan kemudian mengangguk. Arjuna yang melihat itu malah terkekeh gemas.

Keheningan kembali melanda. Arjuna berdehem kecil untuk menarik perhatian Nadira. “Gue denger katanya kelas lo mau ngadain pertunjukan teater di festival nanti. Bener?” tanya Arjuna.

Nadira menggenggam erat jaket Arjuna. Ia menjawab, “belum pasti. Kayaknya enggak jadi deh.”

Arjuna menautkan alisnya heran. “Begitu? Soalnya Ki—maksud gue nampilin Senin teater tuh keren lho. Belum ada kelas yang ngasih konfirmasi mau nampilin itu. Pasti keren kalo kalian pake ide itu,” ucapnya.

“Gue enggak tau,“ balas Nadira dengan ragu. Arjuna kembali bersuara, “gue denger-denger lo anak teater juga. Kalo sama lo harusnya sih pasti gampang bikin pertunjukan teater buat festival nanti.”

Nadira menggigit bibirnya. Ia menahan senyuman di bibirnya. Ia senang ketika dipuji begitu oleh sang pujaan hati. Hanya saja ia tak ingin bertingkah aneh. Nanti Arjuna malah tak menyukainya.

“Oh, iya. Teater tuh ngapain aja sih sebenarnya?” tanya Arjuna lagi. Nadira menatapnya bingung, tapi tetap merespon.  “Banyak kok. Dari aktor dan aktrisnya, sutradara, penulis naskah, designer sampe teknisi semuanya ada tugasnya masing-masing,” jawab Nadira.

Arjuna tertarik. “Oh, ya? Kalo gitu lo biasanya ngapain di klub teater?” tanyanya lagi. Nadira menjawab, “gue biasanya nulis naskah sama kadang juga bantu-bantu jadi sutradara gitu. Cuma jarang aja soalnya anak-anak teater jarang bikin kegiatan, jadinya keseharian kita cuma latihan pake naskah yang ada aja. Buat ngembangin karakter sama penjiwaan karakter.”

Arjuna mengangguk paham. “Lo pasti keren banget deh,” pujinya. Nadira memerah malu dibuatnya. “K–kok gitu?” tanya Nadira.

Arjuna mengangguk. “Iya. Soalnya pasti buat bikin naskah tuh butuh konsentrasi penuh dan ide yang banyak. Belum lagi kata lo suka kadang-kadang bantu jadi sutradara. Pasti tugasnya sutradara tuh lebih susah lagi. Gue yakin deh kalo anak-anak teater rajin bikin pertunjukan pasti bakal keren banget. Oh, ya. Taun lalu kalian ’kan ada bikin pertunjukan gitu. Gue ada nonton lho. Kalo enggak salah ceritanya tentang cowok yang berjuang buat ceweknya yang disabilitas, ’kan? Gue nangis lho pas nonton. Itu ide naskahnya dari siapa?” tanya Arjuna.

“G–gue,” cicit Nadira. Arjuna tersenyum. Ia tahu.

Sebelumnya Kiara sudah menjelaskan kepadanya kalau kelas mereka ingin menampilkan pertunjukan seni teater, hanya saja Nadira merasa tak percaya diri untuk turut andil. Bahkan Kiara juga menjelaskan kepada Arjuna kalau Nadira sebenarnya sangat piawai dalam menulis naskah apalagi kisah-kisah inspiratif dan juga penuh perasaan dan emosi. Hanya saja Nadira selalu merasa tidak percaya diri. Kiara juga yang mengatakan kepada Arjuna kalau pertunjukan teater tahun lalu itu naskahnya adalah karya Nadira yang dibuatnya dalam kurun waktu tiga bulan.

Arjuna menepuk pelan pundak Nadira dan membuat gadis itu menoleh. “Gue menantikan karya-karya lo yang lain, Ra. Mungkin kalo lo jadi penulis novel atau penulis naskah buat film, gue bakal jadi penggemar nomor satu lo.”

Nadira memerah merona. Ia malu karena dipuji seperti itu oleh seorang Arjuna yang ia kenal sangat luar biasa dan juga sempurna. Dalam hati Nadira bertanya-tanya, apakah dia mampu memantaskan diri untuk bisa bersanding dengan sosok Arjuna? Ah, rasanya tak mungkin. Benar, ’kan?

Arjuna menggenggam tangan Nadira dan berkata, “hujannya udah reda. Balik sekarang?” Nadira menatap Arjuna yang tersenyum ke arahnya. Gadis itu mengangguk kecil dan membuat Arjuna melebarkan senyumnya.

Ah, indahnya kehidupan masa muda.

✾ Gardenia  ✾

✾ Bab 9
✾ ditulis oleh girlRin

[02] Gardenia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang