8. Cinta

267 15 2
                                    

Saat melati melihat seorang perempuan dengan baju coklat khas pegawai negri sedang duduk di bangku panjang depan rumahnya, dia tidak langsung bergegas menuju ke siapa orang yang menunggu kehadirannya.

Tangan kanannya yang membawa payung untuk melindungi tubuh dari rinai hujan gerimis basah terkepal. Bukan karena marah atau kesal tapi perasaan seperti takut dan malu yang dirinya rasakan.

Kaki dengan sepatu lusuh yang sudah basah dan kotor terkena tanah bercampur air itu melangkah mendekati wanita dewasa yang mungkin sepantaran dengan ibunya.

Perempuan berbaju coklat yang menenteng tas kresek hitam berdiri ketika mendapati gadis muda berseragam sma berjalan menujunya atau mungkin memang menuju rumah yang sudah dia duduk i selama 30 menit.

" Tante, ada apa ya dirumah saya?".
Melati memulai saat selama 10 menit saling berhadapan namun tidak ada suara.
Wanita paruh baya itu tidak langsung menyahut melainkan memandang melati lekat dengan senyum kecil.

"Sudah tumbuh remaja kamu semakin cantik melati, rupamu sama seperti bapakmu versi perempuan".

Melati dengan halus mengajak ibu dari sahabat atau bisa di bilang kekasihnya genta itu untuk duduk di kursi sederhana di depan rumahnya.

" Tidak melati, aku sudah duduk lama disitu. Kamu yang baru pulang sekolah duduklah pasti capek berjalan".

Melati dengan menghormati ibu genta ini tetap berdiri dengan tangannya membawa kantong keresek hitam yang diberikan ibu genta kepadanya.

" Entah harus berterimakasih atau tidak kepada ibumu, tapi jika aku masih menuruti nafsu mungkin aku akan semenderita ibumu saat ini mel".

Melati menatap perempuan paruh baya itu lekat.

" Aku tidak akan berbasa basi lagi".

" Kamu tidak akan pantas bersama genta melati, lihat dirimu dan genta. Pikirkan".

Melati seakan tertusuk sebilah pisau dalan jantungnya. Terasa ngilu dan sakit. Dia tahu bahwa dia hanya sekedar seorang yang miskin, tak ada sanak saudara dan hidup sebatangkara. Tapi apa harus selalu diingatkan seperti ini. Sehinakah dirinya dimata orang untuk hanya sekedar merasa di cintai.

" Aku malu mendengar orang bicara bahwa genta anakku dengan denganmu. Entah siapa yang memulai aku tidak peduli, tapi bisakah kamu menghindar jika genta mendekatimu".

" Kenapa aku harus repot repot sampai pindah hanya untuk menghindarimu bersama anakku".

Melati hanya menunduk sabil tangannya meremas kantong kresek.

Wanita paruh baya itu mendekati melati dan mencengkram bahu melati.

" Kamu ini perempuan, apa tidak ada harga dirimu membawa seorang pemuda menginap berduaan di rumahmu melati? Jawab saya melati?".

Air mata melati menetes berlinang. Dengan gemetar dia mencoba meraih tangan wanita patuh baya didepannya namun di hempas kasar saat tangannya hendak menyentuh.

" Ma .. maaf . Tidak seperti itu bu..".

" Tidak seperti itu? Lalu bagaimana melati?
Saya malu mendengar jika anakku menginap di rumahmu. Pakai otakmu melati? Apa yang kamu lakukan kepada anakku sampai dia berani melakukan itu hah? Kamu cuci otak anakku seperti apa hah?!".
Bentak ibu genta di depan wajah melati.

" Ti..tidak bu, kami tidak melakukan apa apa..".

" Halah.., dasar anak pelacur. Darah ibumu yang mengalir sebagai pelacur di tubuhmu pasti sudah mendarah daging di jiwamu. Memang buah tidak jatuh jauh dari pohonnya". Ucap ibu genta lantang di telinga melati.

MelatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang