11. Awal Keduanya

133 4 12
                                    

Di tengah kebingungan dan ketegangan yang menggantung di udara akibat Faiz salah bicara, Agas langsung mengambil alih. 

“Oh, tadi saya yang menjelaskan langsung bahwa kita akan bertemu dengan Kiyai Hasan untuk diperkenalkan,” terang Agas sambil sedikit melotot ke arah Faiz dengan kesal.

“Perkenalkan?”

Faiz berdeham, “Saya ingin nyantri di sini.”

Alis Kiyai Hasan berkerut dalam. Pandangannya menusuk kala mengamati pakaian Faiz dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Ah, ini teman lama saya, Kiyai,” potong Agas kemudian. “Saya memang mengajaknya kesini. Belum langsung mendaftar secara administrasi untuk setahun. Mungkin bisa mencoba seminggu di sini? Saya bersedia membayarkan biaya seminggu itu,” lanjut Agas kemudian.

Kiyai Hasan tampak mengangguk pelan sebelum menggelengkan kepala. “Kalau begitu ayo ikut saya ke kantor. Lebih enak kalau kita bicara di sana.”

Ketika Kiyai Hasan berbalik, baik Agas maupun Faiz langsung saling melontarkan protes tanpa suara. Hanya mulut mereka yang bergerak-gerak dengan cepat. Ketika Kiyai Hasan menoleh, keduanya langsung berdiri tegak dan menyengir salah tingkah. 

Kantor Kiyai Hasan terletak di sudut pesantren yang damai, dikelilingi oleh kebun kecil yang rindang. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan rak buku yang berisi kitab-kitab kuno dan literatur Islam. Di sudut ruangan, terdapat sebuah meja kerja kayu tua yang bersih dan tertata rapi, di atasnya terdapat beberapa buku, pena, dan kertas. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela besar, menciptakan suasana yang hangat dan tenang.

Ketiganya sudah duduk di ruang khusus menyambut tamu. Agas dan Faiz bersisian dengan kontras, sementara Kiyai Hasan duduk di depan mereka.

Kiyai Hasan masih mengamat-amati Faiz dari ujung rambut ke ujung kaki. Beliau tidak pernah menyangka akan memiliki calon santri seseorang yang berpenampilan punk di lingkungan pesantren. Rambut Faiz yang dicat pirang dan perak, anting di telinga, dan pakaian yang jauh dari kesan tradisional membuat Kiyai Hasan bingung. Belum lagi tato yang terletak di leher yang entah mungkin menjalar hingga ke dada atau punggungnya.

"Assalamualaikum, Kiyai," sapa Agas dengan hormat, mengganggu lamunan Kiyai Hasan. "Ini teman saya, Faiz, yang ingin belajar di pesantren kita." Dia kembali menjelaskan karena tampaknya Kiyai Hasan masih belum sepenuhnya sadar.

Kiyai Hasan mengumpulkan pikirannya, lalu menjawab, "Wa’alaikumsalam. Kenapa tiba-tiba Nak Agas ingin nyantren di sini?"

Faiz, yang dari awal sudah gugup, menjadi semakin cemas melihat reaksi Kiyai Hasan. Dia mengikuti menoleh sejenak ke arah Agas yang mendelik. Faiz takut salah bicara lagi. Namun, dia harus bicara meski tidak suka berbohong. Alasan apa yang harus dibuatnya? Matanya tak berani menatap langsung ke Kiyai Hasan.

Agas, yang merasakan kegugupan Faiz, mencoba menjelaskan, "Kiyai, Agas mengalami masalah pelik beberapa bulan terakhir." Wajah Agas dibuat tampak penuh keprihatinan. “Sekarang dia sadar kalau satu-satunya tempat untuk meminta tolong adalah pada Tuhan… eh pada Allah maksud saya.”

Kiyai Hasan, masih terkejut, tapi mulai menunjukkan rasa ingin tahu, bertanya, "Agas, kalau boleh tahu apa masalah yang mengganjal di hatimu?"

Faiz mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Saya ... saya ingin mencari ketenangan, Kiyai. Saya sedang dirundung masalah yang mana saya belum bisa memecahkannya. Saya pikir, di pesantren ini, saya bisa menemukan jawabannya." 

Dengan begini, Faiz tidak berbohong. Urusan tukar tubuh memang membuatnya setengah gila. Dan dia berharap dengan bersama Agas, maka semua akan bisa segera dipecahkan.

Gus Playboy TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang