9. Her Dirty Mind

211 7 2
                                    


Faiz menapak masuk ke dalam gerbong kereta ekonomi dengan sebuah ransel besar di punggung. Dia hanya membawa tiga set baju di tasnya. Kepala Faiz pusing karena membongkar isi lemari Agas dan hanya menemukan pakaian trendi kekinian.

Banyak sekali celana jinsnya yang bolong-bohong hingga ke paha. Aurat!

Faiz harus membongkar seisi lemari demi menemukan pakaian yang ... cukup sopan untuk ukuran seorang Gus. Namun, tetap saja, baju yang kali ini dikenakan, sama mencoloknya. Kaus lengan panjang hitam dengan gambar tengkorak. Parahnya baju ini entah kesempitan atau memang sengaja didesain ketat. Faiz tidak paham. Yang jelas bentuk tubuh Agas yang berotot jadi begitu menonjol. Rasanya seperti berpakaian, tapi telanjang.

Maka Faiz harus mencari cara untuk menutupi tubuh kekar Agas yang kini dirasukinya. Jaket!

Akan tetapi, pada akhirnya, jaket kulit hitam yang bisa dia temukan. Faiz beristighfar melihat penampilannya yang benar-benar seperti bad boy apalagi dengan tato di tengkuknya. Astagfirullah!

Gerbong itu sepi, hampir kosong. Lampu neon di atas kepala berkedip-kedip, memancarkan cahaya dingin yang menyinari interior kereta yang sederhana. Kursi-kursi berwarna abu yang sedikit kusam dengan bercak dan robekan di sudutnya, seakan menceritakan kisah penumpang yang telah lewat. Kursi tegak yang saling berhadapan tampak akan membuatnya rikuh untuk waktu yang lama jika ada penumpang yang duduk. Faiz berharap dia akan tetap sendirian hingga tiba di stasiun sana.

Jendela kereta yang berdebu memberikan pandangan kabur ke luar, di mana pemandangan perlahan bergerak seiring kereta yang mulai melaju.

Faiz duduk di salah satu kursi dekat jendela di deretan terujung dekat kamar mandi, pikirannya melayang jauh. Ia memikirkan Agas, yang kini tengah berada di tubuhnya. Beberapa kali ia mencoba menghubungi Agas melalui telepon, namun tak pernah ada jawaban.

Faiz sadar, mungkin itu karena aturan pesantren yang melarang mereka memegang gawai kecuali di akhir pekan. Ini membuatnya semakin resah, bertanya-tanya apakah ia akan bisa bertemu dengan Agas. Dia ingin mencoba menelepon pesantren, tapi diurungkan. Jika dia ingin bicara dengan Faiz, belum tentu diizinkan. Apa Agas membuat kerusuhan di sana? Apa dia berkata jujur tentang tukar jiwa?

Mengerikan!

Faiz berusaha mengenyahkan pikiran buruknya.

Kereta bergerak perlahan, keluar dari stasiun, membelah hening malam. Suara gemeretak roda kereta di atas rel menjadi musik latar yang monoton. Faiz tenggelam dalam lamunannya, hingga suatu suara membangunkannya dari lamunan.

"Agas?"

Suara itu milik seorang wanita. Faiz mengangkat kepala, mencari sumber suara itu. Matanya bertemu dengan sosok wanita yang berdiri beberapa meter darinya. Wanita itu memiliki kecantikan yang memukau, dengan rambut panjang yang tergerai indah, matanya besar dan berbinar, serta senyum yang manis. Tubuhnya yang langsing terbalut pakaian yang elegan namun sederhana, memancarkan aura yang menawan dan seksi.

Sedikit terkejut, Faiz bangkit dari duduknya. "Iya, saya Agas. Maaf, saya kenal dengan Anda? Sa-saya masih agak sakit kepala akhir-akhir ini," ujarnya tanpa berbohong.

Wanita itu tersenyum sinis, "Gue Rina!" Tanpa ragu, wanita itu langsung menghempaskan diri di sisi Faiz. Dada yang banyak bagiannya tidak terlindungi itu berguncang. Faiz membuang muka.

Tiba-tiba lengan Faiz direngkuh lembut.

Refleks membuat Faiz bangkit berdiri. "Nona, tolong jangan pegang sembarangan. Kita bukan mahram!"

Sejenak Rina terdiam memandangi sosok di hadapannya sebelum meledaklah tawa. "Lo bener-bener sakit kepala? Apa jadi nggak waras?"

Pandangan wanita itu berkeliling memastikan kalau tidak ada siapa pun. "Tadinya gue pikir, dipaksa naik kereta ekonomi pulang kampung adalah hal buruk. Ternyata malah ketemu lo di kereta. Bener-bener gue hoki! Gue kangen sama lo tau nggak? Main ngilang aja nggak kasih kabar."

Gus Playboy TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang