17. Hati yang Patah

32 4 0
                                    

Melani menyeret koper merahnya dengan kasar. Matanya sembab dan pandangannya kosong. Sementara jiwanya berkecamuk, tubuhnya terus bergerak otomatis menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan besar. Namun, ketika hendak mengangkat koper ke bagasi, pegangannya terlepas, menyebabkan koper itu jatuh tepat mengenai kakinya. Rasa sakit yang mendadak menghantam kakinya membuat Melani tak lagi mampu menahan perasaan yang membuncah. Dia mengumpat kasar, tapi kedua matanya mengucurkan air mata.

“Hormon hamil sialan!” umpatnya lagi.

Di tengah rasa sakit fisik dan jiwa, tangisnya pecah. Suaranya tersendat, mengungkapkan rasa sakit yang telah dipendamnya sejak ia tahu bahwa dirinya tengah mengandung anak dari Agas—sosok pria yang jauh dari definisi bertanggung jawab. Melani berjongkok dan menelungkupkan kepala di lutut sambil terisak.

Di tengah isakannya yang semakin keras, sebuah suara lembut menyapanya. “Mbak? Mbak nggak apa-apa? Ada yang bisa Nurul bantu?”

Melani mendongak, melihat seorang perempuan anggun berjilbab lebar tengah memandangnya dengan tatapan prihatin. “G-gue….”Suaranya tercekat ketika lagi-lagi air mata mengalir menyusuri pipi.

“Mbak mau nyetir dengan kondisi gini?” Nurul ikut berjongkok di depan Melani. Perempuan itu selalu mengganti cara menyebut dirinya dengan nama jika bertemu perempuan.

“Gu-guee nggak mau di sini. Gue mau balik Jakarta!” Melani masih terisak.

Nurul memandang langit yang sudah mulai menggelap. Dirinya baru hendak balik ke kos khusus guru karena sudah hampir magrib. Memikirkan wanita yang sedang terguncang ini menyetir sendirian, dia tidak bisa membiarkannya.

“Terlalu bahaya, Mbak.” Nurul membantu Melani berdiri. “Masyaallah, Mbak hamil, ya?” Nurul melihat perut Melani yang agak membuncit. “Kalau begini, besok pagi saja, ya, pulangnya? Bahaya nyetir sambil banyak pikiran.”

Sejenak Melani ragu. Namun, Nurul benar. Percuma dia menyetir dengan pikiran kacau balau begini. Melani mengangguk pelan, membiarkan Nurul menuntunnya. Dalam diam, mereka berjalan menuju kamar kos Nurul. 

Asrama Nurul memiliki satpam yang menjaga. Halamannya luas. Kiri dan kanannya dikelilingi gedung pesantren. Di kanan kos laki-laki, di kiri gedung pesantren. 

Nurul membuka kunci untuk masuk ke rumah asrama, lalu bergerak ke kamar yang paling dekat pintu masuk asrama.

Baru mereka masuk ke kamar yang berada paling depan. Ada jendela, tapi Nurul lebih suka menutupnya. Di sana, mereka duduk di pinggir tempat tidur. Melani merasa sedikit lebih tenang setelah meminum air hangat yang diambil dari dispenser dan disegarkan udara AC yang berembus.

Setelah beberapa saat, dengan suara bergetar, Melani akhirnya membuka suara. “Gue jauh-jauh ke sini untuk menanyakan nasib bayi ini. Katanya dia mau ngomong dulu. Gue pikir dia bakal mau bertanggung jawab. Gue udah seneng banget. Ternyata dia malah nggak peduli.”

Nurul menatap Melani dengan wajah terkejut, matanya membulat seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dia tak langsung bicara, menunggu hingga Melani melanjutkan penjelasannya. 

“Agas malah pura-pura dan malah nyalahin gue. Seolah semua salah gue yang nggak mau pakai KB. Padahal dia sendiri nggak mau pake kondom!”

“ASTAGFIRULLAH!” seru Nurul tanpa sengaja mendengar curhatan vulgar tiba-tiba dari perempuan yang baru dikenalnya itu. Namun, dirinya pun sadar kalau di dunia luar, banyak hal yang memang tak sesuai perintah Allah. Selama mereka mau bertobat, tidak ada kata terlambat. Perlahan, ia menggenggam tangan Melani, berusaha menunjukkan bahwa ia ada di sana untuk mendukungnya.

“Gue bingung. Agas… dia… berubah.” Melani berbisik, suaranya terdengar semakin lirih. Kata-katanya terputus-putus. Ia tidak menceritakan soal pertukaran jiwa antara Agas dan Faiz, meskipun sebagian dirinya ingin berteriak dan meminta Nurul untuk percaya. Namun, ia tahu itu akan terdengar seperti cerita khayalan. Akhirnya dia cuma diam.

Gus Playboy TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang