14. Berita Mengejutkan

92 5 1
                                    

Suara pukulan keras terdengar. Agas terhuyung mundur ke belakang sambil memegangi kepalanya.

Tak pernah dia duga, Nurul yang sedang dibekam mulutnya mampu menghantam kepalanya dengan kepalan tangan sekuat tenaga. Perempuan ini kuat juga!

Setelah bisa sedikit menguasai diri, Agas baru menyadari ada suara isakan lirih.

"Sekarang saya sadar kenapa kiai Hasan sampai membatalkan perjodohan kita." Suara Nurul terdengar bergetar. "Gus benar-benar sudah hilang akal! Gus sampai berani menyentuh saya yang bukan mahram seperti tadi. Tidak punya harga diri!"

Dalam lorong sepi itu, hening seketika terpecah oleh suara tangis Nurul yang terbungkus dalam kekecewaan dan kemarahan. Tangisnya, meski lembut, menikam hati Agas dengan kebenaran yang tak terbantahkan. Pukulan yang diterimanya bukan hanya menyakitkan secara fisik, tapi juga menjadi simbol penolakan terhadap segala kesalahan yang telah ia perbuat.

Agas salah. Bahkan gerakan sederhana seperti tadi sudah melukai harga diri Nurul. Pria itu belum pernah menghadapi wanita sepolos ini yang begitu marah hanya karena pergelangan tangannya ditarik dan wajahnya ditutup telapak tangan, padahal masih berbatas kain pakaian dan cadar. Dia mencoba meraih kata-kata yang bisa memperbaiki situasi, tapi Nurut tak tergoyahkan.

"Saya tidak akan melaporkan kejadian ini demi menjaga nama baik Gus. Namun, jangan berani temui saya lagi! Sampai masa tunggu satu bulan kita berakhir. Gus harus benar-benar sembuh dan ingat tentang semuanya sebelum berani mendekati saya lagi. Atau saya akan benar-benar melaporkan pelecehan ini!" kata Nurul cukup tegas, tapi juga masih di antara isak tangis lirih.

Nurul berlari pergi, meninggalkan Agas yang terpaku, dilanda oleh keputusasaan dan kebingungan. Tangisannya yang perlahan menghilang di koridor panjang pesantren meninggalkan gema kemarahan yang mendalam dalam hati Agas.

Dalam keheningan yang menyiksa itu, Agas berteriak, bukan hanya karena frustrasi terhadap kekacauan yang terjadi, tapi juga karena kesadaran pahit tentang realita yang harus dihadapinya. Dia marah pada dirinya sendiri. Harga dirinya sebagai penakluk wanita sudah dipatahkan begitu saja oleh seorang Ustadzah.

Dia harus mencari cara lain agar Nurul mau menerima dan memaafkannya. Karena Agas tidak akan mau mengembalikan tubuh ini pada Faiz!

TIDAK AKAN PERNAH!

----

Sementara di lain tempat, Melani duduk termenung di tepi jendela kamarnya. Tatapannya kosong menembus langit senja yang perlahan berganti warna. Pikirannya melayang, terjebak dalam pusaran kegalauan yang tak kunjung menemukan titik terang.

Dia kemarin pingsan di kantor. Saat dibawa ke IGD, baru ketahuan kalau dirinya hamil.

Empat bulan telah berlalu, dan kenyataan pahit yang baru saja ia sadari membuat hatinya terasa seperti dihempas gelombang tsunami yang tak terduga. Melani hamil, dan bayi yang tumbuh dalam rahimnya adalah buah dari hubungan tanpa ikatan yang ia jalani bersama Agas.

Hubungan mereka, yang dimulai sebagai FWB, kini memunculkan dilema yang kompleks dan menyakitkan. Melani yakin dia rutin meminum pil kontrasepsi. Siklus haid Melani memang tidak pernah teratur, dan kebiasaannya mengonsumsi kontrasepsi darurat seusai bercinta membuatnya lengah, tidak menyadari tanda-tanda awal kehamilan hingga terlambat. Empat bulan bukanlah waktu yang singkat, dan dengan setiap detik yang berlalu, keputusan yang harus ia buat semakin mendesak. KB bukan 100% pencegah kehamilan. Risiko itu tetap ada meski kecil sekali. Dan risiko itu kini harus dia hadapi.

Kegalauan hati Melani bukanlah tanpa alasan. Di satu sisi, ada bayi yang tidak bersalah, tumbuh dalam dirinya tanpa diminta, tanpa direncanakan. Di sisi lain, ada masa depannya sendiri, penuh dengan ketidakpastian. Apalagi Agas yang peran serta tanggung jawabnya dalam situasi ini masih menjadi tanda tanya besar. Apakah dia harus menggugurkan bayi itu, atau tidak? Pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, seolah-olah setiap pilihan membawa konsekuensi yang sama beratnya.

Dengan hati yang berat, Melani mengambil ponselnya dan menekan nomor Agas. Detik-detik menunggu jawaban terasa seperti abadi, hingga suara Agas akhirnya terdengar di ujung sana.

"Agas, lo di mana?" tanyanya, suaranya bergetar menahan emosi.

"A-aku sedang di luar kota."

Melani merasa heran dengan cara bicara Agas yang masih belum kembali dan seolah memberi jarak.

"Kapan pulang?"

"Entahlah...."

"Gue hamil. Empat bulan," terang Melani tanpa tandeng aling-aling. "Gue harus gimana? Mau gue gugurin atau gimana?"

Sejenak Melani tak mendapat jawaban apa pun dari Agas.

"Jangan gegabah! Ki-ta ketemu dulu. A-aku tidak bisa pergi ke tempatmu sekarang. Aku terkurung di sini. Akan kukirimkan alamat pesantren tempatku tinggal. Ka-kamu bisa datang. Kita bicarakan ini bertiga."

"Bertiga?"

Suara dehaman Agas terdengar. "Po-pokoknya, kamu datang dulu. Kita bicarakan semua baik-baik. Kamu tidak mual atau muntah? Kuat perjalanan jauh?"

Tawa Melani menjawab. "Kita masih bercinta dengan sangat panas minggu lalu, bukan? Gue nggak selemah yang lo pikir!"

"Oke, aku tunggu. Dan...." Suara Agas menggantung. "Maaf sudah membuatmu dalam kondisi seperti itu."

"Lo bener-bener udah kesambet malaikat apa gimana?" Melani tak mengindahkan kalimat terakhir Agas dan memutus sambungan telepon.

Alamat yang diberikan Agas sudah masuk ke ponselnya. Melani segera beranjak, mengambil tas dan kunci mobilnya sebelum berangkat menuju pesantren tempat Agas kini menetap.

 Melani segera beranjak, mengambil tas dan kunci mobilnya sebelum berangkat menuju pesantren tempat Agas kini menetap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Naskah gue diterima penerbit. Sekarang, gimana gue bagi waktu nulisnya ini?

Gus Playboy TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang