19. Kepasrahan

26 6 4
                                    

Suara teriakan Nurul menggelegar, memecah keheningan pagi di kawasan kos putri. Melani pun turut berteriak dan berlari keluar meminta tolong ketika Agas sibuk menindih Nurul.

"NURUL MAU DIPERKOSAAAA!!! TOLOOOOONG!!! TOLOOONG!" jeritnya ke sana-kemari. Suaranya begitu keras di tengah hari libur yang sunyi.

Asrama guru wanita yang berada tepat di sebelah asrama guru pria tentu saja menyampaikan suara Melani ke mana-mana termasuk kamar di mana Faiz berada.

Para penghuni pesantren khususnya para guru yang mendengar langsung berhamburan menuju asrama guru wanita untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Ketika Melani datang kembali ke kamar, gamis Nurul sudah terangkat hingga lutut. Untung saja Nurul selalu mengenakan celana panjang di balik gamisnya, hingga Agas kesulitan membukanya. Belum sempat dia berbuat apa-apa. Tubuhnya ditarik ke atas dan dibanting ke lantai oleh salah satu satpam bertubuh gemuk.

Di lorong kos putri, Agas terlihat pucat, tubuhnya menggigil di bawah tatapan marah para santri yang berkumpul. Agas tahu, dia dalam bahaya. Dia harus secepatnya kabur dari sini. Dia pun berlari keluar sambil dengan membabi-buta mendorong siapa pun yang menghalangi. Dia bergerak menuju gerbang, tapi dia melihat barisan para siswi berjaga. Dia berbelok menuju arah lain, tapi ternyata sebuah pintu terbuka dan muncul banyak sekali guru pria. Pintu yang biasanya selalu tertutup–kuncinya dipegang kiyai Hasan–itu dibuka agar akses menuju asrama guru wanita lebih cepat.

"KAMU KURANG AJAR, FAIZ! BERANINYA KAMU MENCOBA MENODAI USTADZAH! KAMU HARUS DIDERA!!" Tiba-tiba Kiyai Hasan berseru. Namun, bukannya membekuk Faiz, para murid yang keburu terpancing dan tersulut amarah oleh perbuatan asusila Faiz, langsung main hakim sendiri.

Tanpa menunggu jawaban, santri itu melayangkan tinjunya ke wajah Agas. Wajah "Faiz" yang dihuni Agas terpelanting akibat pukulan keras itu. Di sekelilingnya, santri-santri lain mulai ikut bergerak maju, wajah mereka penuh dengan rasa marah dan kecewa.

Agas terbatuk, merasakan darah mulai memenuhi mulutnya. Ia mencoba berbicara, tapi semua yang keluar hanyalah suara serak tak berdaya. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena rasa sakit, tapi karena ketakutan yang semakin membuncah di dadanya. Untuk pertama kalinya, Agas merasakan ketakutan yang sangat nyata—bahwa hidupnya mungkin berakhir di sini.

Santri lain terbawa emosi dan ikut menendang dan memukuli tubuh Faiz sekuatnya.

Di tengah kekacauan, Faiz memandang tubuhnya yang dihuni Agas kini terancam hancur di tangan orang-orang yang seharusnya melindunginya. Melihat tubuhnya dipukuli tanpa ampun, Faiz hanya bisa memejamkan mata, berdoa dalam hati, memohon agar semuanya segera berakhir. Namun, mereka semakin menggila. Teriakan Kiyai Hasan yang minta agar para siswa tidak bertindak anarkis, tidak diindahkan.

Pada akhirnya, Faiz merasa dia tidak bisa tinggal diam. "Berhenti!" teriak Faiz dengan sekuat tenaga. Dia melompat maju, menarik para santri yang terus merangsek. Dia tak ingin membuat mereka terkapar dengan jurus silatnya. Mereka tidak bersalah. Namun, menjauhkan orang-orang yang tersulut emosi bukan perkara mudah. Faiz kini ikut terkena serangan.

Namun, usahanya tak banyak membantu. Pukulan dan tendangan terus menghujani keduanya, membuat mereka berdua tersungkur di lantai. Faiz merasakan seluruh tubuhnya lemas, tapi ia tetap mencoba melindungi tubuhnya dan juga tubuh Agas dari kekejaman yang sedang berlangsung.

Faiz membaca syahadat berulang, karena berpikir dirinya mungkin tidak akan bertahan dalam waktu lama. Suaranya melemah seiring dengan rasa sakit yang semakin menumpuk. Pandangannya mulai kabur, dan ia merasakan ketakutan yang sama seperti Agas—bahwa ini mungkin adalah akhir hidup mereka.

Di tengah rasa sakit yang tak terhingga, Agas terbaring di lantai, tubuhnya tak lagi kuat untuk bangkit. Jantungnya berdetak lemah, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan perasaan yang begitu asing di hatinya: penyesalan. Dia sudah diberi tubuh baru yang luar biasa, tapi bukannya sabar menunggu hari pernikahan, nafsunya malah membuat semua berantakan.

Di sisi lain, Faiz terbaring di sampingnya, merasakan tubuhnya semakin lemah. Tubuh yang tak lagi ia kenali sebagai miliknya sendiri kini dipenuhi luka memar dan darah. Rasa sakit menjalari setiap inci tubuhnya, tapi di tengah semua penderitaan itu, hatinya merasa tenang. Di ambang hidup dan mati, Faiz merasa dekat dengan Allah, berserah diri sepenuhnya. Ia merasa lega, karena di detik-detik terakhir hidupnya, ia telah melakukan yang terbaik. Jika mereka meninggal, masalah ini akan selesai.

"Ya Allah... jika ini adalah akhir hidupku, terimalah aku dalam keadaan seperti ini," doanya lirih dalam hati, menatap langit dengan pasrah.

Perlahan, Faiz merasakan perasaan hangat yang menyelimuti dirinya, seakan Allah mengirimkan ketenangan di tengah kepedihan yang ia rasakan. Ia memejamkan mata, bersiap menerima nasibnya.

 Ia memejamkan mata, bersiap menerima nasibnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

091124

Tewas tidak? Atau tewas satu.... Kalau yang tewas Faiz di tubuh Agas. Gawat......

Gus Playboy TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang