07. Nomor Tidak Dikenal

26 20 0
                                    

Pukul empat sore, jam pulang sekolah. Gerbang depan  SMA Ghuna Bangsa terlihat ramai, bagai ratusan burung dalam sangkar yang dilepas, murid-murid berseragam putih abu dengan menggendong tas berhamburan keluar ke segala arah. Dengan wajah-wajah semangat pulang yang bercampur lelah, mereka segera membaur dengan kehidupan di luar gerbang, kehidupan jalanan yang sibuk.

Tara melambaikan tangan pada seorang teman yang baru saja pamit sudah dijemput. Gadis yang rambutnya dikuncir setengah itu kemudian menyebrang jalan bersama beberapa murid lain, berjalan menuju halte seberang. Ada dua halte di dekat Ghuna Bangsa, satu di sebelah kiri, hanya perlu berjalan ke kiri setelah keluar dari gerbang. Satu lagi, ada di seberang, di sebelah kanan, tempat sekarang Tara duduk.

Tara bukan ingin menunggu bus untuk menumpang pulang seperti yang lain, tapi dia menunggu adiknya menjemput. Dia berpikir menunggu dengan berdiri di sekitar gerbang menurutnya terlalu terlihat mencolok dan lagian dengan menunggu di halte dia bisa duduk santai.

Langit perlahan mulai redup, tapi berkas sinarnya yang jingga kekuningan masih tampak sejenak. Dari duduknya Tara di halte seberang dia bisa melihat semburat sinar itu di langit sore yang cerah, dengan sudut-sudut gedung Ghuna Bangsa yang terlihat bagai siluet di kejauhan. Dari sana dia juga bisa melihat gerbang samping Ghuna Bangsa dengan beberapa murid yang melintas keluar. Jalan gang di samping Ghuna Bangsa terlihat lebih lenggang dibanding jalan utama.

Puas memperhatikan suasana sekitar yang selalu terasa menyenangkan, Tara merogoh saku tas, mengambil ponselnya. Sebuah bus merapat ke halte, beberapa murid terlihat mulai naik. Bus kembali melaju saat tak terlihat penumpang lain yang mendekat. Tara menghela napas lirih saat melihat jam di ponselnya, sudah sepuluh menit dia menunggu. Tapi motor adiknya belum juga tampak dari ujung jalan, tidak seperti biasanya yang hanya butuh waktu lima menit menunggu. Sedikit rasa khawatir, tapi Tara memutuskan untuk bersabar sebentar.

Saat ingin sekedar membuka aplikasi media sosialnya, mengusir rasa jenuh menunggu, ibu jari tangan Tara tak sengaja menekan ikon aplikasi kamera. Belum Tara menekan tombol home pada layar, keluar dari aplikasi kamera,
mata Tara seketika menyipit  saat seorang pria paru baya yang berdiri tak jauh dari tempat Tara duduk sedikit menggeser posisi berdirinya, membuat sinar matahari sore yang lembut menyapa wajah. Tangan Tara yang menggenggam ponsel menghalau sinar itu yang tiba-tiba menyorot wajahnya. Saat itulah senyum Tara sedikit merekah. Sebuah ide muncul tiba-tiba.

Lalu dengan tanpa peduli sekitar, Tara mengarahkan kamera ponselnya lurus ke depan. Langit jingga dengan semburat cahaya keemasan, sudut-sudut gedung Ghuna bangsa yang terlihat bagai siluet, beberapa pengendara motor, pejalan kaki, jalan gang dan gerbang samping di kejauhan masuk pada frame kamera ponsel Tara. Gadis itu memotretnya beberapa kali dengan memperhatikan momen. Tara memeriksa hasil jepretan kamerannya dengan sudut-sudut bibirnya yang perlahan naik. Sejenak lupa jika dia sedang menunggu adiknya menjemput, mengurai perasaan cemas.

Sebuah bus kembali merapat ke halte, beberapa penumpang beranjak naik. Dan itu membuat Tara tersadar jika dia sudah menghabiskan dua puluh menit untuk menunggu jemputan adiknya, yang masih belum juga terlihat tanda-tanda sepeda motornya di ujung jalan.

Sekarang di halte hanya menyisakan beberapa orang. Tara segera membuka aplikasi pesan chat, menghubungi nomor adiknya, berulang kali dia mencoba menelepon tapi yang dia dapat nomor adiknya tidak aktif. Mencoba cara lain, Tara mengetikkan pesan chat, dia berharap akan segera mendapat balasan dari adiknya. Tapi lima menit berlalu begitu saja, yang Tara dapat justru kenyataan bahwa sekarang halte sudah kosong, hanya menyisakan dia yang duduk sendirian.

Langit semakin muram, semuram perasaan cemas Tara yang kembali muncul. Halte di sisi seberang kiri juga terlihat sepi. Tara tidak bisa menunggu lebih lama lagi, dia memperhatikan sekitar sembari kepalanya berpikir. Dia meyakinkan diri, lalu memutuskan untuk pulang. Tara khawatir jika sesuatu yang buruk telah terjadi pada adiknya. Tapi sebisa mungkin dia menepis pikiran buruk itu jauh-jauh.

Nusa ( N ) TaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang