WARNING! Spoiler ILY!
Soalnya aku ga puas ama screen time Tazk di novelnya.
Enjoy!
"Tazk?"
Aku menoleh, mendapati Mata yang muncul dari bingkai pintu kamar "Mata! Sudah kubilang jangan keluar kamar! Kau harus tetap di kasur!" aku berlari menghampiri Mata, menuntunnya ke sofa terdekat.
"Tidak Selena, tidak kau, kalian berdua terlalu berlebihan" Mata mendengus "mau berangkat kerja?"
Aku mengangguk "aku sudah mengabari Selena untuk menemanimu"
Mata tiba-tiba menarik ujung kemejaku "aku barusan bilang pada Selena tidak usah kemari..."
"Heh?" Aku ikut duduk di sampingnya "memangnya siapa yang nanti akan menemanimu, heh?"
"Kamu"
"Mata, aku harus bekerja"
Mata tiba-tiba menyeringai "ah aku juga bilang pada bos mu kalau kamu mengambil cuti sehari"
"Hei!" Aku melotot, bisa-bisanya istri meminta langsung pada bos suaminya agar suaminya bisa cuti.
"Hari ini... aku anu... eh... itu..." Mata menggaruk lehernya yang tidak gatal, memalingkan wajahnya. Aku mengangkat alis menunggunya.
Aku terlonjak ketika Mata tiba-tiba berbalik, menatapku dalam, menggenggam lenganku, menelan ludah gugup "Hari ini... aku ingin kita menghabiskan waktu hari ini bersama... bertiga"
Aku tertawa geli "kau tidak harus sebegitunya sampai meminta cuti langsung pada bosku, kita bisa lakukan pada hari libur--tunggu..." Aku terdiam, menatap Mata yang menunduk gugup "Tadi kau bilang... bertiga?" Mata mengangguk, aku masih tertegun "itu... maksudnya..." Mata tersenyum tipis, tertawa geli "100 poin untuk Ayah" aku diam termangu, Mata menghela nafas lega "aku bingung sekali tadi bagaimana bilangnya" Mata mengelus perutnya tersenyum "tapi baguslah ayahmu orang yang pintar, ya?"
Mata kembali menoleh kearahku dan tersentak pelan "Tazk?" aku sejak tadi tidak menyadari air mata yang terus mengucur, rasanya hangat di wajah.
"Kenapa? Kau sedang sedih atau senang?" Mata memegang wajahku, mengusap air mata yang terus mengucur.
Aku menggenggam tangannya yang memegang wajahku, menunduk dalam-dalam, terisak pelan. Mata terdiam melihatku, jarang sekali dia melihat aku yang seperti ini.
"Tazk..."
"Aku takut..." kataku dengan suara tercekat "dengan kondisimu yang seperti ini, bagaimana kedepannya? Bagaimana kondisi bayinya? Bagaimana jika dia tidak bisa bertahan? Bagaimana jika kamu yang tidak bisa? Bagaimana nasib bayi ini jika kau pergi, Mata? Bagaimana jika... aku kehilangan kalian berdua..." genggaman tanganku bergetar, begitu juga dengan suaraku.
"... Tazk... tatap mataku" Mata menarik wajahku, kini mata kami bertemu
"Jangan buat aku marah, Tazk" Aku terdiam "waktuku tidak banyak, aku tahu itu, aku yang paling tahu soal itu lebih dari siapapun" Mata menggigit bibir "aku tahu betul soal itu, maka dari itu aku ingin menghabiskan sisa waktuku seperti orang normal. Menikah dengan orang yang kucintai, membuat keluarga kecil, layaknya orang-orang sepantaranku diluar sana" matanya mulai berkaca-kaca "aku juga takut, dihantui kematian, aku sangat takut. Tapi mengetahui bayi ini bersedia bertumbuh di rahimku yang berumur pendek ini..." Mata mulai terisak "aku... ingin bertahan lebih lama lagi..." dia mengusap pipinya yang basah, menelan ludah "aku tahu, saat anak ini lahir aku mungkin sudah tiada. Tapi aku tahu dia kan baik-baik saja..." Mata menatapku dalam-dalam "karena ada ayahnya disini..."
Grep! Aku mendekap tubuh itu dengan erat "maafkan aku, Mata... maaf" aku mengeratkan dekapan itu. Aku bisa merasakan Mata menggeleng "jika saat itu terjadi, tolong ya? Ayah" Mata membalas pelukanku, aku mengusap kepalanya "... bagaimana jika dia membenciku?" Tangan kanan Mata beralih pada perutnya, berkata pelan "Raib, apapun yang terjadi jangan benci pada ayahmu, ya? Karena kami berdua sama-sama sangat menyayangi Raib"
Aku terkekeh pelan "Raib, ya?"
"Bagaimana? Bagus kan?"
Aku tertawa, mengangguk.
***
Itu semua berada di masa lalu. Sekarang, aku bisa merasakan tubuhku perlahan menjadi abu. Apa bunga matahari itu sudah tidak merasuki tubuhku lagi?
Aku melihat Raib yang tak jauh disana, terduduk, terisak, menangis kencang. Apa Raib membenciku? Apa Raib mendengar nasihat ibunya untuk tidak membenciku? Mungkin ini sudah keputusan yang paling benar, ada baiknya aku mati. Jika tidak, mungkin aku akan membunuh lebih banyak orang dan membuatnya kecewa.
Seiring tubuhku terus menerus terbakar menjadi abu, mataku terus tertuju pada Raib. Apa aku menepati janjiku dengan baik? Aku selalu ingin mengelus kepala itu dan memujinya, memberikan barang yang dia inginkan sampai merengek, seperti ayah pada umumnya. Banyak yang ingin aku katakan langsung padanya. Mungkin kita bisa berbincang soal Mata sambil tertawa bersama.
"Raib"
Menyadari panggilanku, gadis itu mengangkat wajahnya yang sembab, menatapku.
Aku tersenyum hangat, memberikan salam terakhir.
***
Aku terbangun, menatap sekitar. Padang rumput sejauh mata memandang, cahaya hangat menerpa wajahku.
"Tazk"
Aku terlonjak, berbalik menatap sosok yang memanggilku "Mata..."
Mata tersenyum "terima kasih telah menepati janjimu, Tazk"
Aku berlari menghampirinya, menariknya kedalam pelukanku, memeluknya erat setelah sekian lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi Series Oneshots
FanfictionOneshots Bumi Series dari novel bang Tere Liye. Penumpang kapal Rali dan Sely berbahagialah! Disini kapal mereka lancar jaya tanpa halangan! (Semoga) Bagi yang belom baca sampe Matahari minor hati-hati pada spoiler! Karakter milik bang Tere! E...