14. Pesta pt.3

429 21 1
                                    

"Raib... mabuk?"

"maaf... Raib tidak sengaja meminumnya, sumpah. Efeknya lebih parah dari serbuk-serbuk di klan Matahari Minor" Seli merengek pelan, lalu terlonjak pelan ketika Raib tiba-tiba mengendus-endusnya "hmmm... wanginya seperti rumput dibawah matahari... enak, aku suka aroma Seli"

"Eh? Begitu ya?" Seli sampai mencoba untuk mencium aromanya sendiri.

Mata Raib tertuju pada Ily "Wah! Ada Ily! Ily yang asli!" Raib tertawa. Menurut Seli, Raib malah terlihat sangat lucu sekarang, terlihat seperti bocah "Ily memang tampan ya... tidak heran kenapa Seli bisa naksir" Ily tersedak, Seli memelotot "heh! Ra!" yang kemudian hanya dibalas dengan tawa Raib. 

"Wah! Tante Eli! Tante terlihat cantik dan menawan seperti biasanya tante" Raib tersenyum lebar, masih dalam posisi memeluk Seli. Eli tertawa kecil melihat tingkah laku Raib.

Mata Raib berpindah menatap Ali, terdiam, kemudian berlarian bersembunyi di belakang Seli "... Sel... siapa itu?" Aduh rasanya ada tombak yang menghujam dada Ali, Ily dan Eli menahan tawa.

"Eh, itu Ali, Ra. Tidak Ingat?" Seli mengingatkan

"Ali?

"iya, Ra"

Raib menatap Ali, kemudian melepas pelukannya dengan Seli, menghampiri Ali.

"Raib--heh! Ra!" Ali terkejut wajahnya tiba-tiba dipegang Raib. Raib menariknya, memperhatikannya baik-baik, yang membuat Ali menelan ludah gugup.

Tiba-tiba Raib menoleh ke arah Seli, berseru "jangan bohong Sel! Lelaki setampan ini tidak mungkin Ali" Ali melotot, kini Seli tertawa terbahak-bahak, begitu juga Ily dan Eli Raib mengatakannya dengan wajah serius sekali.

"Ini aku Ra..."

Raib bergumam, sambil terus memegang wajah Ali, menatapnya lekat-lekat. Tiba-tiba tangan Raib beralih menyentuk kepala Ali, mengacak-acak rambutnya, kemudian memasang wajah kaget. Lucu, pikir Ali.

"Wah! Benar-benar Ali! Keren! Bagaimana bisa!?"

"Ini memang aku dari awal, Ra..."

Raib tertawa, kemudiam memeluk Ali, yang membuat wajah pemuda itu memerah. Raib mulai mengendus-endus Ali. Seli cekikikan, Raib seperti kucing yang berkenalan dengan pemiliknya. "Heh, Ra. Apa yang kau lakukan?" Ali menahan napas, Raib bergumam pelan "mmmm... mirip seperti Seli, tapi ada sekilas aroma misterius... hmmm... kenapa ya?"

Ali menggaruk kepalanya, tidak mendengarkan Raib "Heh, ini sudah larut. Saatnya pulang"

"Ehhhhhh! Aku tidak mau pulang!" Pipi Raib menggelembung, yang membuat Ali menutup wajahnya yang memerah.

"Ali benar, Raib. Ayo pulang" Eli menggandeng tangan Raib, ikut membujuknya, karena Seli dan Ily sibuk cengar-cengir melihat reaksi Ali.

"Tidaaakkk! Aku masih... mmm. mau disini..." Raib berseru sambil terhuyung, yang kemudian ditahan oleh Eli agar tidak jatuh "tuh, kan. Raib sudah lelah" Raib menggerutu"... mmm... aku tidak lelah..."

***

Sesampainya di rumah Ilo, Seli dan Ali mengantar Raib untuk tidur, masih mabuk.

"Sel... temani aku..." Raib menarik pelan baju hitam-hitam Seli. Seli rasanya ingin menjerit gemas melihat Raib. Ia duduk di sebelahnya, Ali juga ikut menetap di kamar itu.

Beberapa saat kemudian, Raib mulai diam, tidak cerewet lagi. Seli mengira Raib sudah tidur dan berdiri hendak keluar dari kamar.

"Seli... Ali" mereka berdua terkejut mendengar panggilan Raib tiba-tiba "eh, Ra. Kamu belum tidur?" Tanya Seli. Meski Raib memanggil mereka, tapi Raib tetap tidur membelakangi mereka.

Lengang sejenak, Raib akhirnya membuka mulut "... apa kalian berdua... membenciku?"

Seli dan Ali terdiam. Raib membicarakan apalagi?

"Aku selalu marah-marah pada kalian, aku selalu ragu-ragu dengan kemampuan dan keputusanku sendiri, aku selalu bergantung pada kalian, aku bahkan juga... tidak bisa melindungi kalian... aku takut" Seli ingin membuka mulut, tapi ia bingung ingin mengatakan apa. "Aku tidak seperti Ali yang selalu positif dan santai, berpikir seribu langkah kedepan, genius. Aku juga tidak seperti Seli yang menjadi semakin kuat apapun yang dihadapinya..."

"Aku selalu berpikir jika seandainya aku hidup seperti gadis biasa. Pergi ke sekolah, bercanda tawa bersama teman-teman, berkutat dengan ujian, kemudian pulang disambut hangat... hingga sekilas aku pernah berpikir alangkah baiknya hidup seperti itu dibanding hidup menjadi putri Bulan, putri Aldebaran, pemilik kekuatan yang besar... bagaimana jika aku menyakiti kalian? Pergi bertarung, melawan penjahat, kehilangan banyak orang..."

"... Aku... takut sendirian... sendirian itu sangan menyakitkan, menyesakkan, rasanya seperti tenggelam di laut dalam antah berantah tanpa siapapun... aku... tidak ingin sendirian lagi..." Raib terdiam sebentar "betapa senangnya ketika aku bertemu dengan kalian... 'aku tidak perlu sendiri lagi' pikirku begitu. Aku.. sangat bersyukur miss Selena mengumpulkan kita bertiga. Melihat kalian aku juga mulai berusaha menerima apa yang kualami sekarang, aku mencoba melihat hal baik dari hal apapun, kalian yang mengajarkan aku itu"

Seli dan Ali masih diam, mendengarkan Raib, sejak awal dia berbicara nadanya tidak berubah, selalu datar. 

"Seiring kita selalu pergi bertualang, semakin jauh kita bertualangan, semakin aku sadar banyak bahaya yang terus berdatangan. Bayangan itu semakin jelas... bayangan ketika aku kehilangan kalian..." 

"aku takut kehilangan kalian, kalian sudah seperti saudaraku sendiri, entah bagaimana caranya agar bisa membalas budi pada kalian..." Seli dan Ali menunduk. Tidak... harusnya mereka yang...

"Seli, Ali..." keduanya mengangkat wajah "... maaf... lalu... terimakasih, untuk selama ini..."

Beberapa saat lengang, Seli berjalan pelan, kemudian mengintip Raib yang berbaring membelakangi mereka, mendapatinya sudah tertidur pulas dengan mata sembap, bahkan masih mengeluarkan beberapa bulir air mata. Seli perlahan duduk di ranjang, mengelus surai hitam Raib, mengusap pipinya "padahal seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Ra..." Seli tersenyum getir "aku yang seharusnya berterimakasih, Ra..."

Ali tetap diam menatap kedua sahabtnya, tenggelam dengan pikirannya sendiri.

***

Pagi hari di klan Bulan. Raib terbangun dengan nyeri kepala yang luar biasa. "Eh... bagaimana aku bisa ke rumah Ilo ya?" kemudian Raib mendesis pelan, kepalanya nyeri, ia mengangkat tangannya menggunakan teknik penyembuhan sambil bergumam pelan "aku tidak ingat apapun... bagaimana bisa ya? Kalau tidak salah terakhir..." Raib tiba-tiba terdiam, bahkan tangannya berhenti bersinar, ia mencengram selimutnya erat-erat mencoba mengorek ingatannya, dan memverivikasinya beribu-ribu kali "... astaga..."

Dengan cepat Raib turun dari kasurnya, berlarian menuju ruang tamu Ilo, yang disana sudah ada Seli, Ali, Ily dan yang lainnya yang sedang sarapan "SELI ALI!"

Seli terkejut mendengar seruan Raib "Wah! Raib! Selamat pa--"

"Aku! Kemarin..." Raib menunjuk dirinya sendiri, menatap mereka semua ragu "apakah aku benar-benar..." semuanya saling tatap, kemudian menyeringai, Ilo dan Vey cekikikan, Eli menahan tawa. Aduh, dugaan Raib benar "aku... tidak melakukan hal yang aneh-aneh... kan?" Raib menyesal bertanya seperti ini. Seli terdiam, kemudian memasang wajah sedih "aaahhh, sayang sekali aku tidak merekam kejadian semalam. Padahal tingkah Raib imut sekali... benarkan Ali?" mengingat itu Ali hanya berdeham dengan telinga memerah, Ily terkekeh pelan "tenang, Sel. Kita bisa menonton rekaman kamera terbang pesta kemarin, kebetulan aku punya aksesnya" wajah Seli sumringah "Wah! Benarkah! Asyik! Aku ingin menontonnya!"

Sedangkan wajah Raib sempurna merah "SEBENARNYA APA YANG AKU LAKUKAN SEMALAM?!?!"

Sejak saat itu, Raib bersumpah pada dirinya sendiri untuk menjauhi se-jauh jauhnya dirinya dari minuman.



Bumi Series OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang