[ tría ] - jo͞oˈdiSHēˌerē

494 71 9
                                    

•••

Keempat pendukung Haikal kini memutuskan untuk menunggu di kantin fakultas saat sang pemeran utama tengah menunggu pengumuman kelulusannya. Keberadaan mereka menjadikan kantin terasa lebih sesak dari sebelumnya. Itu semua tentu saja terjadi akibat seseorang memberikan laporan pada media sosial kampus yang menjadikan orang-orang datang secara berbondong-bondong. Selain ingin melihat mantan wakil ketua BEM ACME juga mantan ketua himpunan AEF (Faculty of Automotive Engineering), para mahasiswa juga mahasiswi sangat ingin melihat wajah tampan Jonathan yang sebenarnya sudah tak asing lagi di fakultas Commdi. "Rame banget? Ini pada mau dateng ke sidang kali ya?" tanya Danu sembari duduk di bangku samping Jonathan. Dia baru saja selesai memesan makanan ringan untuk dia santap. Di antara tiga orang yang Danu ajak bicara, sepertinya yang memungkinkan untuk menjawab hanyalah Marahendra. Jevansatya kini tengah melakukan panggilan telefon dengan salah satu pelatihnya. Sedangkan Jonathan tengah duduk gelisah menunggu Haikal. Padahal sudah berkali-kali pula dijelaskan bahwa dia tidak perlu khawatir, tapi Jonathan tetap tak bisa merasa tenang.

Sebenarnya dia percaya jika putranya pasti akan lulus. Jika tidak pun Jonathan tetap merasa bangga karena dia tau betul bagaimana perjuangan Haikal sampai ke titik ini. Malam itu kala dia sedang tenggelam dalam padatnya pekerjaan, Jonathan menerima pesan dari sang putra jika putranya meminta izin untuk menginap di kediaman Jeffrey karena hendak mengerjakan skripsi dibantu Marahendra. Bagai tersambar petir meski tak ada hujan turun, Jonathan menghubungi Jeffrey untuk bertanya perihal Jevansatya. Apakah putra bungsu Jeffrey tersebut sudah melakukan sidang akhir atau belum. Baru saja hendak bernafas lega, penuturan selanjutnya dari Jeffrey menjadikan Jonathan semakin sadar atas kesalahannya.

"Jevan emang telat gegara harus ada penelitian tambahan makanya dia join komunitas lagi di semester 7. Jangan bilang lo lupa kalo Haikal udah semester akhir?"

Detik itu juga Jonathan tinggalkan semua pekerjaannya dan beranjak menuju rumah. Tak henti Jonathan ucapkan maaf sejak di perjalanan sampai dia berhadapan dengan Haikal. Respon yang muda tentu saja terlihat tenang bagai tak terjadi apa-apa, tapi Jonathan tau jika putranya sedang merasa kebingungan.

Jevansatya yang masih berdebat dengan seseorang di penghujung panggilan seketika terhenti melihat sosok yang muncul seperti sedang mencari sesuatu, "Haikal!" Panggilan yang sontak menarik semua atensi orang-orang di sana termasuk juga dia yang namanya disebut. Senyuman di wajah Haikal merekah, disambut pula oleh mereka yang sedaritadi duduk kini serentak berdiri. Dalam hitungan detik langkah yang tadi meragu kini mulai berlari ke arah dia yang juga melangkah sembari melebarkan kedua tangannya.

"Adek sarjana!"

Tak hanya orang terdekat saja yang bersorak bahagia. Spontan mereka yang berada di gedung tersebut ikut memeriahkan kebahagiaan Haikal. Pelukan hangat Jonathan saat ini menjadi tempat Haikal berpulang membawa bahagianya. "Patha bangga sama Adek" kalimat sederhana namun memiliki makna dalam bagi Haikal di setiap waktunya. Hari ini putra sematawayang Jonathan tersebut telah menaruh janjinya pada bintang di langit. Jika dia akan selalu berusaha membuat Jonathan merasa bangga padanya sebagai bentuk syukur dan rasa terimakasihnya pada sang Ayahanda.

Sesaat setelah pelukan Jonathan terlepas dari tubuh Haikal, hanya dalam hitungan detik saja yang muda sudah kehilangan keseimbangannya karena Jevansatya menarik lengan kanan Haikal dengan kuat. Seketika pula kedua Agung bersaudara telah memeluknya erat dengan raut suka cita, "lo keren Kal!" Pujian dari Marahendra terdengar hangat dan tulus. Tak dapat dipungkiri bahwa jasa Marahendra pun memiliki peran cukup besar dalam proses Haikal menggapai gelar sarjana. Di tengah kesibukan juga jadwal yang padat, Marahendra selalu menyempatkan diri untuk melakukan sesi wawancara dengan Haikal terlebih urusan teknis penulisan skripsi. Mungkin karena itu pula muncul rasa haru di relung dada Marahendra kala melihat wajah Haikal yang tersenyum puas selepas yudisium. "Malem ini party makan enak kan Kal?" gelak tawa pun mengimbangi pertanyaan Jevansatya. Belum sempat Haikal balas, tubuh Jonathan sudah berada tepat di balik punggung sang putra dan menaruh tangannya di atas bahu Haikal, "semua orang Om undang ke rumah Om untuk makan malam ya. Kita makan enak yang banyak sampai puas! Hahahahaha". Haikal menoleh dengan raut sedikit merengut, "ko di rumah? Adek harus masak dong kalo gitu? Gak mau ah capek!"

Setiap kali keluarga Prambudi mengadakan acara makan malam dan mengundang keluarga Agung, sudah dapat dipastikan Haikal-lah yang mempersiapkan santapan mereka. Kenapa demikian? Karena Jevansatya sangat menyukai masakan sahabatnya tersebut. Bukan berarti buatan Jonathan tidak enak, namun lidah Jevansatya sudah sangat terbiasa oleh makanan yang dibuat dengan tangan Haikal. Jadi saat Jonathan berkata jika dia hendak mengadakan acara makan malam di rumah juga mengundang duo Agung, Haikal merasa keputusan tersebut tidaklah adil baginya. Mendapati protes sang putra justru Jonatha kini membalas dengan senyuman, "I will not ruin your amazing day, Buddy." Tapi bukannya menaruh rasa percaya, Haikal justru mendengus dan menjadikan pipi berisinya semakin terlihat menggemaskan.

Perjalanan menuju Louludi Residence dari Universitas ACME terbilang cukup padat. Yudisium Haikal yang ternyata selesai di sore hari menjadikan mereka terjebak di tengah kemacetan ibukota. Jonathan dan Haikal pulang menggunakan Range Rover hitam milik kepala keluarga Prambudi tersebut, sedangkan Danu bertanggungjawab membawa mobil Tesla putih milik Haikal. "Tadi penguji Adek aneh tau Yah" sua Haikal mulai bercerita karena merasa jenuh akan padatnya jalanan, "masa Adek ditanyain gimana caranya bikin website? Ya iya sih website juga bisa jadi salah satu media komunikasi, tapi kan bukan Adek yang bikin! Iya kan?" Tak bisa menahan senyum, Jonathan memutar kemudinya untuk membawa mobil masuk ke jalur kiri yang dia lihat seperti lebih lengang, "lalu Adek bisa jawab atau tidak?" Pertanyaan Jonathan seperti memabangkitkan kembali memori yang membuat Haikal kesal hingga tubuhnya sedikit turun disertai bibir yang semakin maju, "mana bisa Adek jawab? Jadi Adek cuman bilang Adek gak bisa karena itu bukan job desc Adek—eh!" seperti teringat sesuatu, tubuh Haikal kembali tegap dan menoleh ke eraha Jonathan, "tapi Adek inget waktu liat Ayah bikin website! Jadi Adek jawab seadanya aja kaya bikin konsepnya dulu, terus domain-nya apa, nah udah gitu Adek bilang selebihnya akan dilanjutkan oleh tim Information Technology hohohoho Adek gak salah kan Yah?"

Gelak tawa dia yang bersuara berat menggema di dalam mobil. Dia pun tak lupa mengusak puncak kepala putranya itu, "tidak, Adek tidak salah. Itu adalah tahapan awal saat kita membuat website. Tapi memangnya kapan Adek lihat Patha membuat website?" Jika diingat kembali, Jonathan sudah cukup lama tidak membuat laman online tersebut karena sekarang dia sudah memiliki karyawan yang jauh lebih ahli darinya. Dalam diam sang kepala keluarga pun tertegun, menghalau suatu kisah lampau yang pernah terjadi dulu. "Waktu itu kan Patha ajarin Adek, masa lupa?" Jonathan hanya memgerutkan dahi sebagai tanda dia perlu menerima penjelasan lebih dalam. Satu dengusan kembali terdengar yang bukan lain adalah Haikal sebagai sang pelaku. Raut sebal tak segan pemuda itu tampakkan sembari dia menghadap Ayahnya di kursi kemudi, "waktu Adek kecil loh Yah! Di kosan Bibi dulu Patha lagi bikin website sambil pangku Adek! Patha udah gak sayang Adek ya?! Ko lupa?!"

Berhentinya mobil milik Jonathan karena lampu lalu lintas yang sudah berwarna merah itu kini bersamaan dengan matanya yang juga terbelalak menatap Haikal, "itu kan saat Adek masih sekolah dasar?" Jika boleh jujur Jonathan mengingat kejadian tersebut namun tadi sempat dia halau karena dia sendiri pun tak yakin bahwa Haikal akan mengingatnya. Dengan acuh Haikal kembali bersandar namun kini dia lipat kedua tangannya di depan dada, "ingetlah! Emangnya Patha?" Bukannya merasa bersalah, gelak tawa Jonathan justru pecah memenuhi seisi mobil. Tentu saja membuat Haikal semakin merasa jengkel. Tangan besar sosok Ayah tersebut pun kini mendarat di puncak kepala Haikal dengan sangat lembut, "Patha ingat ko Dek, tapi Patha tidak yakin karena kan kamu masih kecil. Penjelasan Patha juga banyak yang menggunakan kata-kata sulit terlebih untuk anak seusia kamu pada saat itu hahaha". Fokus Jonathan teralih sejenak saat rambu hijau menyorot sudut pandangnya sebagai tanda jika dia harus kembali memperhatikan jalan. "Jagoan Patha memang luar biasa," lanjutnya seraya mencubit pipi kanan Haikal yang tentu saja membuat sang putra memberontak.

"Adek udah gede ah jangan cubit-cubit!"

Apakah Jonathan akan mengindahkan protes putranya itu? Tentu saja tidak. Dia justru menyerang Haikal dengan hujaman gelitik di setiap sudut tubuh yang muda hingga Haikal tertawa juga meminta ampun berkali-kali. Suasana senja Ibu Kota yang menjadi saksi bisu kebahagiaan kecil antara sosok Ayah dan putranya. Kebahagiaan yang terkadang dikesampingkan namun bermakna dalam.

•••

That Sun, is My Son 2 [johnny & haechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang