[ dódeka ] - rəˈɡret

356 57 12
                                    

•••

Lorong kecil dengan tembok putih bercampur hijau itu tak lagi sunyi seperti sebelumnya. Haikal yang tengah terduduk di lantai segera merasakan pelukan hangat dari sosok Danu. Pemuda tersebut tidak banyak bersua karena dia masih lamban memahami situasi yang baru saja terjadi. Namun kala dia menerima pelukan tersebut dan menaruh dagunya di bahu Danu, tersadar sudah jika Danu tak datang sendirian.

Beberapa laki-laki juga perempuan berpakaian lengkap serba hitam dengan postur sempurna kini sudah berbaris rapi di kedua sisi lorong. Tak lama dokter keluarga Pambudi, Dr. Shon, datang tergopoh dan masuk sembarang ke bilik dimana Jonathan berada. Haikal segera mengerti mengapa Danu tak langsung memeriksa sang ayah dan justru memilih menenangkannya di sini. Tanpa pula dia sadari, air mata pun jatuh tak terbendung, dalam sebuah pelukan yang semakin erat.

Usapan lembut Haikal terima di setiap isakannya, "sudah sudah, Ayah kamu kuat, gak perlu khawatir.." bujuk Danu berharap mampu menenangkan. Namun cengkraman di punggungnya justru semakin menguat, "harusnya aku langsung periksa Patha waktu bangun tidur Om..! Harusnya aku pastiin Patha bangun dulu padahal aku udah curiga! Patha pasti udah pingsan berjam-jam! Aku salah Om.. aku salah.. maafin Adek.." Penyesalan begitu menyesakkan di dada Haikal. Kelalaian akan kesehatan Jonathan membuatnya begitu ketakutan. Raungan tangis yang berusaha dia tahan justru semakin terdengar memilukan. Danu begitu tak tega melihat dia yang selalu ceria kini bersimbuh lemah dalam peluknya. Haikal yang malang.

"Engga.. kamu hebat. Kamu bisa bawa Ayah kamu ke sini sendirian aja udah hebat banget Kal—"

"—Danu"

Panggilan seseorang mengentikan Danu yang sedang menenangkan Haikal, dia menoleh, mendapati Shon meminta dia agar segera ikut masuk ke dalam bilik. "Kamu tunggu di sini sebentar ya?" Haikal tak menjawab. Dia kembali melemahkan diri dan memeluk kepalanya. Apakah seserius itu sampai dia tak diperbolehkan masuk? Apa yang terjadi pada ayahnya? Tapi dia pun belum sekuat itu untuk mengetahui sebuah kebenaran.

Situasi di balik bilik perawatan tak lagi menegangkan. Tubuh Jonathan mulai stabil. Pemeriksaan pun mau tak mau dialih tugaskan pada Shon yang sudah menunjukan identitas dirinya pada tenaga medis di sana. Obat-obatan yang dibawa oleh Shon memberikan dampak signifikan pada kestabilan tubuh Jonathan yang kini mulai mampu menggerakan kedua matanya. "Haikal.." lirih Jonathan begitu lemah tanpa dia sadari. Hanya putranya yang dia cari. Hanya mataharinya yang dia khawatirkan saat kembali membuka mata. "Haikal.." lagi, dia lagi-lagi memanggil sang putra meski tanpa suara.

"Haikal ada Nat. Dia ada di sini. Dia ada sama lo, di samping lo, jadi lo harus sehat" bisik Danu lemah meski dia berusaha terdengar tegar. "Istirahat lagi ya Nat? Kita siap-siap bawa lo ke rumah sakit dan lo harus mulai jalanin pengobatan, gue mohon.." Danu tak tau harus bagaimana lagi membujuk Jonathan agar mau melakukan pemeriksaan lanjutan akan kesehatannya itu. Namun kerasnya kepala Jonathan tak lekang oleh lemahnya tubuh sang pemimpin Tychi tersebut. Dia menggelengkan kepalanya lemah. Mulai membuka mulut begitu rapuh, "ada Haikal.. jangan.."

Tak bisa lagi Danu menahan tangisnya. Dia memutarkan badan, menunduk dalam, dengan bahu yang bergetar. Sungguh Danu begitu frustasi. Situasi yang begitu dia takutkan kini terjadi. Dan hampir saja mimpi terburuknya menjadi kenyataan. Satu tarikan nafas dalam dia ambil setelah Shon berusaha menenangkannya. Mereka berdua kembali menghadap Jonathan yang lemah sebelum Danu menatap Shon dengan serius, "bagaimana menurut anda, Dokter?" Danu perlu mendengarkan penjelasan rasional dari seorang profesional. Namun melihat wajah Shon yang sendu dan menarik nafas dalam, Danu sudah tau kemana arah jawaban Shon berlabuh. "Sejauh ini kondisi tubuh Jonathan gak ada perubahan yang signifikan karena kita semua tau Jonathan cukup menjaga dirinya dengan baik dan menuruti semua perkataan saya. Tapi," Shon diam sejenak tanda ragu, "situasi pagi ini cukup berpengaruh dan sangat fatal. Penurunan fungsi—" Shon terdiam kala merasakan tangannya dicekram kuat. Saat dia menoleh, ternyata Jonathan tengah menahannya agar tidak melanjutkan pembicaraan. Shon mengerti, Danu pun peka akan situasi. Dan tak ada lagi yang berbicara. Semua memilih diam menunggu kondisi Jonathan stabil sebelu memanggil Haikal untuk masuk ke dalam.

Entah sudah berapa lama setelah dokter juga perawat klinik meninggalkan bilik pemeriksaan Jonathan. Tapi tak jua ada yang memanggilnya masuk ke dalam sana. Apa yang ketiga orang itu bicarakan sampai tak terdengar suara apapun? Ditambah Haikal bukanlah anak tanpa sopan santun yang berani menguping percakapan orang dewasa, menjadikan dia sibuk berjalan kesana kemari menunggu dipersilahkan. Hingga tak lama, tirai bilik pun terbuka, Danu keluar dari sana bagai mencari sosok Haikal sebelum sang muda mendatanginya dari arah berlawanan, "Om. Haikal udah boleh liat Patha?" bisiknya sedikit memelas. Dengan satu usapan di kepala Haikal, Danu memberi anggukan tipis dan memberikan jalan pada putra Jonathan tersebut.

"Patha.." tangis kembali terdengar. Peluk berhambur menghangatkan tubuh besar Jonathan yang masih berbaring lemah. Shon pun melangkah mundur dan berpamitan pada Danu untuk meninggalkan ruangan meski tak lama Danu pun memilih membiarkan kedua ayah-anak tersebut untuk berbicara. "Patha kenapa? Kata dokter apa? Patha sakit apa Patha?" pertanyaan demi pertanyaan disela isakan tangis terus Haikal lontarkan. Tapi tak seperti kekhawatiran yang dirasakan Haikal, Jonathan jutsru tersenyum lemah dan mengusap kepala putranya tersebut, "Patha kecapean aja Dek, makanya Patha kemarin ambil waktu istirahat di rumah kan? Maaf ya sudah buat kamu khawatir.." Tak ada lagi percakapan setelahnya. Haikal hanya ingin menangis. Memeluk sang ayah begitu erat bagai tak ada hari esok untuk keduanya.

Semenjak hari yang menegangkan itu, Haikal tidak bisa berhenti mengkhawatirkan Jonathan. Meski sudah berhari-hari dan Jonathan kini kembali pada kegiatan biasanya, Haikal-lah yang justru tak lagi bersikap biasa. Setiap hari sang putra mendatangi kantor Tychi untuk membawakan makan bekal sehat dan memastikan jika ayahnya makan dengan benar juga di waktu yang tepat. Tak perduli di tengah meeting, atau di waktu perjanjian dengan klien, Haikal akan ada di sana menemani Jonathan untuk makan siang berdama. Sampai di siang hari yang cukup terik, Haikal dan Jonathan tengah menyantap bekal bersama di dalam ruang meeting besar selepas pertemuan rapat evaluasi tengah bulan perusahaan. Keduanya bercengkrama santai sembari menikmati makanan hasil tangan pintar putra sematawayang keluarga Pambudi. Karena melihat sosok sang ayah yang pandai memasak, menjadikan Haikal pun seorang anak laki-laki yang tak segan datang ke dapur.

"Kayanya ini deh alesan Adek belum tau mau ngapain? Ternyata biar Adek bisa fokus jagain Patha dulu ya" pergerakan tangan Jonathan terhenti di udara. "Bicara apa kamu" nadanya begitu dingin, sampai Haikal pun menghentikan kunyahannya untuk menatap Jonathan heran, "yang harus kamu fokuskan itu diri kamu sendiri, Haikal. Bukan orang lain" lanjut Jonathan. Ketegangan antara keduanya membuat nafsu makan pun tak lagi ada. Semua alat makan telah tersimpan di atas meja. "Patha itu orangtua Adek. Bukan orang lain" ujar Haikal tak kalah tegas. Buah tak pernah jatuh jauh dari pohonnya bukan? Kedua manusia tersebut begitu keras kepala. Membatu tak mau mengalah.

Jonathan mendengus sebelum dia menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa, "Patha itu hanya diabetes saja. Dan ini juga sudah membaik berkat makanan yang selalu Adek buatkan untuk Patha. Apa lagi yang perlu kamu khawatirkan? Yang kamu lakukan untuk Patha itu sudah lebih dari cukup. Jangan sampai kamu lupa hal penting di hidup kamu, Dek" Jonathan berusaha menjelaskan dengan lembut agar Haikal bisa mudah memahami maksudnya. Namun ternyata tak semudah itu, "Patha kan hal paling penting di hidup Adek" Lagi-lagi Haikal menjawabnya dengan singkat dan keras kepala.

"Adek bukan anak kecil lagi. Diabetes macem apaan yang sampe bikin pingsan? Kalo Patha mau Adek tenang, ayo ke rumah sakit. Kita periksa" satu suapan kembali Haikal ambil. Dia terlihat tenang. Tak seperti seseorang yang seketika mematung bagai tersambar petir. "Nahkan gak mau" acuh Haikal menjawab bahwa dia mengenal betul bagaimana kepribadian sang ayah.

Makanan yang sebenarnya sulit Haikal telan itu dia paksa agar tetap terlihat tenang. Setelahnya Haikal memilih bersandar pula pada punggung sofa namun bersamaan dengan kepalanya yang dia hadapkan menuju langit-langit tinggi ruangan tersebut.

"Adek cuman gak mau nyesel di kemudian hari"

•••

That Sun, is My Son 2 [johnny & haechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang