[ októ ] - əˈdəlt

359 62 5
                                    

•••

Gelapnya salah satu ruangan di kediaman Pambudi benar-benar menghalau seluruh sinar mentari pagi yang sedang berjuang masuk membangunkan seseorang di sana. Bahkan celah lentera pun tak ada yang berhasil menembus rapatnya kamar bertuliskan "Haikal's space" itu hingga seseorang bertubuh tinggi, juga kedua lengan yang kekar, berhasil membuka pintu dengan mudahnya. Lampu pun secara tiba-tiba menyala. Mengakibatkan kedua mata yang terpejam seketika merenyit terganggu. Meski tak berselang lama, bayangan bagai raksasa sudah menutupi tajamnya cahaya yang sempat menusuk mata itu. Kembali kerutan pada kening Haikal pun menghilang. Lelap pun memeluknya lagi sampai suara dingin juga berat berhasil menghentikan detak jantung sang muda barang sedetik. "Tayrone" bukan main keterkejutan Haikal bahkan sampai dia segera membuka kedua matanya hingga terbelalak.

"Mau sampai kapan kamu tertidur seperti orang mati begitu?"

Tanpa disuruh dua kali, Haikal melompat bangkit dan bersimpuh di atas kasur menghadap Jonathan, "Patha harus bagimana sih Dek agar kamu tuh bisa bangun pagi sendiri?" ujar Jonathan dingin sembari melangkah menuju ambang pintu, "bagaimana pula Patha bisa merasa tenang kalau kamu masih seperti ini?" dan pintu pun kembali tertutup rapat. Meninggalkan Haikal yang terdiam bingung. Apa yang baru saja terjadi? Mengapa situasinya begitu asing bagi sang muda? Tak pernah sebelumnya dia menerima sikap dingin seperti ini dari sang Ayahanda. Sampai Haikal pun segera melompat turun dari kasur dan menyusul Jonathan menuju lantai utama.

Punggung tegap meski pemiliknya sudah tak muda lagi kini tengah sibuk menyiapkan sarapan. Memunggungi Haikal yang sudah duduk manis menyantap sup krim jagung dan beberapa potong roti bawang. Gelas kopi panas di hadapan Haikal bak tidak tersentuh sama sekali yang semakin membuat pemuda itu kebingungan. "Patha marah ya sama aku?" tanya Haikal dan Jonathan pun menggelengkan kepalanya, masih dengan posisi yang sama, enggan menatap sang putra. Haikal tau jika ayahnya sedang tidak melakukan apa-apa. Hanya sesekali menyimpan piring-piring ke dalam rak atau kembali mencucinya meski sudah bersih sekalipun. Sampai detik jam di pergelangan tangan Jonathan menyadarkannya. Dia segera memutarkan tubuh dan mengambil jas di punggung kursi dengan asal, melangkah menuju pintu sembari mengusak puncak kepala Haikal, "Patha berangkat kerja dulu, habiskan sarapannya". Tanpa kecupan yang sedari kecil Haikal terima, Jonathan sudah tak lagi berada di sana.

Apa yang baru saja terjadi hingga keheningan yang menyesakkan datang menyelimuti diri Haikal. Tapi bukan rasa bersalah atau pun tanda tanya yang tertinggal di sana bersamanya. Melainkan belenggu perasaan marah tiba-tiba memenuhi dada sang muda, "kenapa sih kalo bangun siang dikit?!" keluhnya kesal sembari melempar roti yang sudah dia makan sebagian. Emosi tersebut menjadikannya enggan kembali menyantap sarapan yang telah dibuat oleh Jonathan sejak dini hari. Dengan kasar, Haikal ambil makanan-makanan tersebut dan dibuangnya ke tempat sampah begitu acuh, "mau bangun siang juga pasti bakal tetep makan ko! Argh! Kesel anjir!" Dan langkahnya pun kembali ke kamar, meninggalkan piring kotor yang dibiarkan berantakan.

Pandangan Haikal mengawang ke arah langit-langit ruangan. Rasa kesal masih berkecamuk di relung dadanya. Meski sudah sedikit mereda akibat suasa tenang juga sunyi, mulailah berkali-kali dia coba kembali terlelap. Menggulingkan tubuhnya ke kanan juga ke kiri, terus mencari posisi nyaman, meski tak jua dia temukan hingga kembali menendang gulingnya sampai terjatuh dari kasur. "Gue kenapa sih?!" kesalnya pada diri sendiri sembari menenggelamkan wajah tampan tersebut di atas bantal. Sudah beberapa hari ini hati Haikal terasa tak menentu. Dia menjadi mudah marah, tidur pun tak pernah merasa tenang hingga pagi terasa begitu melelahkan. Beberapa hujaman dari kepalan tangan Haikal berhasil diterima oleh kasur empuk yang tak bersalah itu. Sampai sang empunya tidak lagi memiliki tenaga dan kembali terlelap meski hanya sesaat, karena tak lama, dering ponsel Haikal bersua nyaring yang menjadikan dia terpaksa membuka mata kembali. "Apa jing?" ucap Haikal dingin.

"Santai? Kenapa dah lo?" suara seseorang di ujung sana menyaut tak nyaman dengan sikap Haikal. Seakan lupa dengan tujuan awal, Jevansatya justru memilih fokus pada kondisi sahabatnya terlebih dahulu. Dengan gusar Haikal kembali membaringkan tubuhnya menjadi telentang menghadap langit-langit, dia usak kepala begitu kasar tanpa menjauhkan ponsel dari telinga kanannya, "kaga, ada apaan Sat?" Begitulah Haikal, lagi-lagi dia bersembunyi.

Jevansatya menatap layar ponselnya bingung dan kembali menaruhnya di telinga, "Minggu gue final nih buat nentuin berangkat ke London atau engga, lo nonton ya? Berdua sama si Abang ntar, please?" Berawal dari komunitas pembalap berujung menjadi seorang ahli bukanlah hal yang pernah terbayang bahkan oleh Jevansatya sendiri. Meski masih belum mendapat restu seutuhnya dari Jeffrey sang ayah juga Marahendra sang kakak, tapi Jevansatya berhasil menemukan mimpinya hingga dia tidak ragu untuk terus berjalan. "Oke" singkat Haikal di ujung sana. Sunyi pun menyelimuti sambungan telepon antara mereka berdua. Karena sadar dia bukanlah sosok yang mampu memeluk Haikal dari jarak jauh, maka Jevansatya memilih untuk mengakhiri percakapan mereka dan segera menghubungi bala bantuan.

Tidak berselang lama setelah nama Jevansatya sudah tak ada lagi di layar ponsel Haikal, kini muncul nama lainnya dan yang tak lain adalah Marahendra. "Pada gabut kaya gue apa ya orang-orang?—" tombol hijau pun ditekan "—oi Bang?"

"Udah makan Cil?" panggilan yang selalu Haikal terima dari Marahendra akhir-akhir ini, "Bocil". Mungkin jika kita tarik lagi ke belakang, Haikal masih akan sering mengamuk dan tidak terima jika dipanggil seperti itu. Namun karena Marahendra selalu bersikukuh, Haikal pun semakin terbiasa dan tidak peduli akannya. Mata kiri Haikal dia usak perlahan meski rasanya tidak begitu gatal, "udah, digorok leher gue sama Patha kalo jam segini belum sarapan" jelas pemuda berkulit madu itu dengan santai. Meski terdengar acuh, tapi Marahendra tau jika Haikal sedang merasa kesal, "dimarahin lagi ya?" Mendengar pertanyaan tersebut sontak emosi Haikal kembali terpancing. Perasaan tidak terima akan sikap Jonathan tadi pagi benar-benar merasukinya, "ya lagian perkara sarapan doang kenapa sih Patha ribet bener?! Gue juga bakalan makan anjir kalo gue laper. Terus kan yang kerja Patha, bukan gue, kenapa gue harus ikutan bangun pagi cuman buat sarapan doang?! Kesel banget argh!" Tumpah ruah sudah kekesalan Haikal pada Marahendra yang mendengarkan tanpa menyela. "Emangnya gue bakal mati kalo gak sarapan?! Kan eng—"

"—Language Haikal."

Haikal bagaikan tersadar jika dia sudah melewati batas. Aura Marahendra yang tak menyenangkan seperti berhasil menembus jarak antar mereka. Tapi lagi-lagi ego sang muda tak bisa dia kendalikan, "lo sama aja kaya Patha anjir" dan sambungan telefon pun diputuskan sepihak. Setelah dilemparnya ponsel hitam tersebut ke sembarang arah, Haikal mengusap wajahnya dengan kasar dan kembali menelungkupkan tubuh dewasa itu di atas kasur. Kenapa semua orang begitu mengganggu? Kenapa pula kepalanya terasa sangat penuh? Helaan nafas pun lolos dari mulut bulat tersebut hingga suara lirih terdengar dari balik wajah yang teredam. "Gue gak suka jadi orang dewasa".

Di sisi lain ibu kota, Jonathan tengah menyibukan diri dengan banyaknya laporan yang perlu dia periksa. Beberapa pertemuan juga rapat penting pun akan segera dia hadiri untuk mempertahankan Tychi Corp agar terus menyandang gelar sebagai salah satu perusahaan teknologi ternama di Asia. Sampai suara ketukan pada mejanya menyadarkan Jonathan yang sepertinya terlalu larut hingga tidak tau Jika Danu sang sekretaris sudah berdiri di sana sedaritadi. "Sudah waktunya Pak" ucap Danu mengingatkan. Terdengar suara tarikan nafas dari diri Jonathan yang sumbernya pun tidak menyadari itu, "Haikal ya Nat?" tanya Danu tepat mengenai sasaran. Dia sangat mengenal atasannya juga temannya itu. Apalagi yang berhasil mengganggu fokus lelaki tersebut hanyalah putra sematawayang Jonathan, yaitu Haikal. Untuk sesaat Jonathan termenung tapi tak lama dia memilih mengacuhkan pertanyaan Danu dan melangkah menuju pintu ruangan. Entah mengapa kali ini Jonathan tak ingin pikirannya terganggu lebih jauh terlebih jika berkaitan dengan putranya yang sudah semakin dewasa itu. Mau sampai kapan dia mengabaikan kenyataan bahwa Haikal, putra sematawayangnya, bukanlah lagi sang jagoan kecil. Melainkan laki-laki dewasa yang siap terjun menghadapi dunia nyata.

•••

That Sun, is My Son 2 [johnny & haechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang