VOTE KOMENNYA JANGAN LUPA
Pramudita dengan cepat berjalan menjauh dari acara yang membuat hatinya semakin sakit.
Sedangkan Alifah, dia berdiri dari sofa dan sedikit berlari untuk mengejar Pramudita. 5 pemuda lainnya mengikuti Alifah dengan berjalan secara cepat.
"Pram!" Alifah sedikit berteriak memanggil Pramudita yang terus saja menjauh dari acara itu.
"Pram!" Teriak Alifah sedikit lebih keras daripada sebelumnya, sementara kaki tanpa alas itu terus saja mengejar Pramudita yang terus menjauh. Pemandangan itu tak luput dari ratusan pasang mata para tamu undangan.
"Pramudita." Alifah akhirnya berhasil meraih salah satu pergelangan tangan Pramudita.
"Aku mohon berhenti Pram." Pinta Alifah dengan nafas yang sedikit terengah. Pramudita membalikkan badannya, menghadap Alifah.
Terlihat mata Pram yang merah dengan lelehan deras air mata di kedua pipinya. Nafas Pram memburu, dadanya kembang kempis antara emosi dan juga kesedihan yang teramat mendalam.
"Aku minta maaf Pram." Ujar Alifah dengan mata mereka berdua yang saling menatap. Pramudita menepis tangan Alifah dengan cepat.
Dia berjalan ke tempat dimana asal dari suara yang begitu menyakitkan baginya kini, meraih sebuah microphone, lalu mematikan musik yang mengiringi.
"Lo tau Fah gimana perasaan gua saat ini? Bisa lo bayangin gimana perasaan gua saat ini?" Perkataan Pramudita terhenti kala dia mengusap kasar air mata yang ada di pipinya.
"Gua terbang dari luar pulau, gua kumpulin duit buat bisa kesini. Selama setahun gua nabung supaya bisa ketemu sama lo." Pramudita dengan lirih mengucapkan setiap kata. Semua pasang mata kini tertuju padanya.
"Gua ninggalin Ibu gua yang nangis supaya gua gak pergi. Sekalinya dalam hidup gua, gua bikin Ibu gua nangis karena ulah gua sendiri. Dan itu karena apa? Demi gua bisa ketemu sama lo Fah." Pramudita berhenti kembali, berusaha untuk menguatkan hatinya dalam setiap kata.
"Di dalam pesawat gua tersenyum membayangkan bagaimana pertemuan kita. Gua membayangkan senyuman lo yang menyambut kedatangan gua di kota ini, gua membayangkan pelukan yang erat waktu kita ketemu." Pramudita kembali menggantung ucapannya.
"Tapi apa? Sesampainya gua di bandara lo gak ada." Pramudita mengatakan itu dengan penuh penekanan sembari menunjuk ke arah Alifah yang kini tengah menangis sambil menatap ke arahnya.
"Gua kayak anak terlantar tanpa orang tua. Di kota sebesar ini gua sendiri, gua gak tau harus kemana. Gua tidur di pinggir jalan berharap lo tiba-tiba datang dan menyapa gua. Gua nyariin lo kesana-kemari, bertanya sama setiap orang yang gua liat, berharap salah satu dari mereka ada yang kenal sama lo. Tapi apa? Nihil Fah, nihil. Yang ada gua tersesat sendiri, gua gak tau gua harus kemana, gua gak tau gua ada dimana. Karena apa?" Pramudita menengadahkan kepalanya berharap air matanya akan berhenti.
"Apa artinya selama dua tahun ini Fah? Mana janji lo yang katanya bakal nungguin gua buat datang ke kota ini, mana? Satu bulan lebih, satu bulan lebih gua nyariin lo, sampe akhirnya gua hampir putus asa. Dan waktu gua udah putus asa buat nyari lo. Ya, sekarang kita ketemu."
"Tapi pertemuan ini bukannya buat gua bahagia. Lo bikin gua trauma buat percaya lagi sama cewek. Terima kasih. Terima kasih karena lo udah bikin hati gua seakan hancur berkeping-keping. Terima kasih karena lo udah pernah menunjukkan rasa cinta ke gua, dan terima kasih buat dua tahun ini. Dan juga, terima kasih, karena berkat lo ngelakuin ini, gua jadi tau apa arti cinta yang sebenarnya. Ya, cinta bukan hanya tentang dua hati yang harus saling memiliki. Tapi cinta yang sebenarnya buat gua itu adalah ketika gua ikhlas ngelepas lo buat kebahagiaan lain selain gua." Pramudita kembali memberi jeda pada kalimat yang akan dia ucapkan selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM
Teen FictionKetika aku ditanya, apa impianku. 7 Februari 2024 - 12 Februari 2024.