1/1

887 67 4
                                    

Februari 2034

Joanna sedang duduk di halte bus. Karena berniat pulang kampung. Sebab pemilu akan berlangsung dan dia malas mengurus surat pindah TPS yang kata orang-orang susahnya minta ampun.

"Kamu pilih siapa jadinya? Satu, dua, atau tiga?"

"Empat."

"Golput kamu?"

"Sepertinya. Tiga-tiganya setan. Kosong satu punya aliansi dengan AS, kosong dua nepo baby dan kosong tiga masuk partai yang memiliki anggota terbukti korupsi paling tinggi. Mau pilih yang lesser evil juga sepertinya rugi. Karena pasti suaraku tidak akan berdampak banyak di sini."

"Iya, sih. Tapi satu suara juga berarti. Bisa saja suaramu dipakai oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk memenangkan paslon lain. Enak sekali!"

"Aduh pusing! Rencanaku pulang kali ini agar bisa rebahan dan makan makanan enak setiap hari. Bukan pusing mikir paslon yang akan kupilih!"

Joanna tersenyum tipis saat mendengar perbincangan dua mahasiswa di samping. Dia tahu mereka mahasiswa karena masih memakai almamater warna kuning. Tidak lupa dengan tas ransel yang besar sekali. Pertanda jika mereka akan pulang ke rumah masing-masing.

"Masih ada dua hari. Kamu bisa cari informasi lebih banyak lagi tentang tiga paslon ini. Siapa tahu ada yang membuatmu tergerak ingin memilih."

"Duh! Pusing! Eh tapi, aku sempat baca berita di eks. Katanya, anak paslon satu pacaran dengan mantan Miss Asia, ya?"

"Ah, iya! Aku juga tahu berita itu! Ramai sekali di eks. Tapi kata orang A1, berita itu hoax. Mereka hanya berteman. Mereka terlihat dekat karena orang tua mereka bersahabat. Bahkan sejak lama. Sejak mereka belum ada."

"Oh, jadi mereka teman kecil, begitu?"

"Yup! Seperti itu. Pak Sandi dan Pak Stevan dekat sekali. Bahkan saat Pak Sandi sakit dan belum jadi menteri, Pak Stevan yang membiayai sekolah Mas Jeffrey."

"Oh, namanya Jeffrey. Dia anak tunggal?"

"Iya. Anak tunggal. Sayang sekali, ya? Padahal bisa saja Pak Sandi dan istrinya menghasilkan banyak yang seperti itu. Ganteng banget gila!"

"Ini, kan?"

"IYA!!! OH MY GOD! KAMU SIMPAN FOTONYA!?"

"Iya, nemu di eks. Ganteng sih. Makanya aku simpan. Oh iya, berarti Mas Jeffrey ini tidak punya pacar? Eh tunggu-tunggu, kamu tadi ada nyebut orang A1, kan? Orang A1mu ini siapa?"

"Ada deh! Pokoknya ada!"

"Dih! Hoax, ya? Mas Jeffrey pasti pacaran dengan siapa itu Miss Asia tahun kemarin?Xavi Xavi———"

"Sera! Namanya Xaviera, tapi biasa dipanggil Sera. S diambil dari nama depannya. Stevania Xaviera. Supaya memudahkan penyebutan, dia dipanggil Sera."

"Ohhh, begitu. Pantas saja aku agak bingung saat orang-orang mention Sera di postingan tentang Xaviera."

"Ya begitu, lah! Mereka banyak yang mendukung juga. Tapi menurutmu, mereka cocok, kan?"

"Iya, cocok banget! Bukan hanya dari segi visual. Tapi background keluarga dan pendidikan juga. Mas Jeffrey keturunan keraton, sedangkan Miss Sera keturunan cindo. Mixed banget nggak, tuh?"

"Miss Sera bukan cindo, anjir!"

"Hah? Serius?"

"Dia keturunan Jawa Jerman. Ibunya orang Jerman. Sedangkan Pak Stevan orang Jawa, tapi nenek dan kakeknya keturunan Cina Indonesia."

"Ohhh begitu, pantas agak sipit. Sumpah cantik sekali! Aku suka matanya yang sayu-sayu sipit! Aku setuju sekali, sih, kalau dia end up nikah dengan Mas Jeffrey."

"Aku juga. Pasti anaknya lucu sekali. Eh, bus kita sudah datang! Ayo naik!"

Joanna menarik nafas panjang. Lalu bangkit dari duduknya. Menyusul dua mahasiswa ini memasuki bus yang baru saja datang. Kemudian duduk di kursi kosong yang ada di depan mereka.

"Eh, ada berita seru lagi! Di sini tertulis kalau Mas Jeffrey ini ada pacar. Tapi sejak Pak Sandi kampanye tidak pernah diajak. Karena dia bukan anak dari orang berpengaruh sepertinya. Takut jika backgroundnya tidak memuaskan dan mempengaruhi elektabilitas ayahnya."

"Iya. Tapi sepertinya ini benar. Agak kasihan juga, sih dengan pacarnya. Soalnya, dengar-dengar, mereka sudah pacaran sejak lama. Sejak 2030an. Ada beberapa foto yang pernah leaked juga. Tapi sudah hilang semua karena tim IT Pak Sandi tidak kaleng-kaleng ternyata."

"Wah, agak serem juga, ya? Eh tapi, tidak mungkin kalau tidak ada yang masih menyimpan, kan? Kamu ada?"

"Dulu pernah ada, tapi tidak tahu kenapa filenya tiba-tiba crack dan tidak bisa dibuka. Jadi, ya, sampai sekarang, berita itu tidak terlalu dipercaya. Karena memang tidak ada buktinya. Hanya beberapa orang yang pernah melihat saja yang mungkin percaya."

"Kamu? Kamu pernah lihat? Cantikan mana dengan Miss Sera?"

"Bagaimana, ya? Cantik, sih, cantik. Tapi biasa saja, tidak cantik-cantik amat. Kalau dibandingkan dengan Miss Sera, jelas dia kalah!"

Joanna yang merasa agak pengap mulai melepas masker putih dan kacamata hitam yang sejak tadi dikenakan. Dia juga mulai meminum air kemasan yang ada di dalam tas. Disusul dengan memakai headphone guna memutar musik kesukaan.

You think it's easy
You think I don't wanna run to you, yeah
But there are mountains (But there are mountains)
And there are doors that we can't walk through
I know you're wondering why
Because we're able to be just you and me within these walls
But when we go outside
You're gonna wake up and see that it was hopeless after all

No one can rewrite the stars
How can you say you'll be mine?
Everything keeps us apart
And I'm not the one you were meant to find
It's not up to you, it's not up to me, yeah
When everyone tells us what we can be
And how can we rewrite the stars?
Say that the world can be ours, tonight

Joanna mulai memejamkan mata. Menikmati musik yang memanjakan telinga. Berharap bisa tertidur dengan tenang sampai tujuan.

Namun saat hampir terlelap, Joanna merasakan bus berhenti mendadak. Hingga menyebabkan dia dan penumpang lain hampir terjungkal. Kalau saja di depan tidak ada penghalang.

"PELAN-PELAN PAK SUPIR!"

"Ada apa, sih!?"

"Nabrak sesuatu, ya?"

Joanna mulai melepas headphone. Lalu berdiri dari duduknya. Seperti para penumpang lain juga. Sebab penasaran akan apa yang terjadi di depan.

"Permisi-permisi..."

Joanna mematung saat melihat siapa yang baru saja memasuki bus. Dia jelas terpaku. Akan apa yang dilihat saat itu. Termasuk penumpang lain yang hanya bisa diam dan tidak mampu mengatakan apapun. Karena tersihir akan paras tampan Jeffrey Iskandar yang baru saja dilihat secara langsung.

"Barang-barangmu di mana? Hanya ini saja?"

Lamunan Joanna tersadar saat tas ransel yang sejak tadi barada di kursi sebelah diangkat Jeffrey. Pria itu juga memakainya saat ini. Kemudian meraih tas jinjing hitam yang ada di bawah kursi. Disusul dengan genggaman tangan yang membawa Joanna pergi dari bus ini.

Tbc...

Cerita ini hanya fiksi yang terinspirasi dari kegiatan pemilu tahun ini. If you like it, jangan lupa tambahkan ke library and——— I hope u enjoy the story.

ELECTABILITY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang