3/3

343 51 2
                                    

Februari 2033

Jeffrey menjemput Joanna di jam enam tepat. Bahkan dia sudah sampai di lobby apartemen sejak jam lima. Membuat Joanna yang baru saja selesai belanja agak panik karena belum tuntas bersiap.

"Apa tidak masalah kalau aku pakai ini?"

Tanya Joanna pada Jeffrey. Sebab pria itu naik ke unit wanita ini. Guna menjemput si kekasih. Padahal Joanna bisa saja turun sendiri.

"Tidak masalah. Tapi akan lebih baik jika tidak pakai heels. Jarak parkiran ke bangunan utama restoran cukup jauh soalnya. Aku takut kamu kesakitan lebih lama. Apalagi kondisi jalannya tidak rata."

Joanna yang sudah menyiapkan heels putih di samping rak mulai mendekat. Dia membuka lemari sepatu yang ada di dekat pintu unitnya. Lalu meraih sepatu flat warna putih tulang. Senada dengan dress putih yang saat ini dikenakan.

"Ini?"

"Iya, pakai ini saja. Lebih aman."

"Apa tidak terlihat terlalu timpang? Orang tuamu pasti akan melihat kita dari kejauhan saat kita datang. Aku agak insecure dengan tinggi badan."

Jeffrey terkekeh pelan. Lalu memasukkan heels putih Joanna ke dalam lemari sekarang. Kemudian ditutup setelahnya.

"Daripada kamu kesakitan dan tidak nyaman saat makan? Orang tuaku tidak akan seperti itu. Tinggi badan tidak akan mempengaruhi penilaian mereka terhadapmu. Dan juga, orang tuaku sedang ingin bertemu calon menantu. Bukan pramugari pesawat kelas satu."

Joanna terkekeh malu. Sama seperti Jeffrey yang sejak tadi tidak berhenti tersenyum. Hingga membuat lubang pipinya terus menyembul.

Satu jam kemudian Joanna dan Jeffrey tiba di tempat. Di restoran Jepang yang jauh dari kota. Namun cukup ramai ternyata. Karena banyak mobil yang terparkir di sana.

"Aku baru tahu kalau ada tempat seperti ini di Jakarta."

"Kalau kamu suka, kapan-kapan kita ke sini lagi. Berdua saja tapi."

Joanna mengangguk kecil. Sembari tersenyum tipis. Karena saat ini mereka sedang keluar mobil. Lalu berjalan bersama menuju ruangan tertutup yang sudah diisi orang tua Jeffrey. Karena mereka ingin bertemu Joanna untuk yang pertama kali di ruangan privasi.

Joanna sebenarnya takut. Namun Jeffrey selalu menenangkan wanita itu. Dia mengatakan jika orang tuanya tidak seseram itu. Mereka sangat baik dan tidak mungkin menentang hubungan mereka hanya karena orang tua Joanna bukan orang penting di negara itu.

"Orang tuaku juga seperti aku. Mereka tidak akan jahat padamu. Mereka bukan tipe orang tua diktator yang suka memaksakan kehendak padaku."

Joanna mengangguk singkat . Saat ini dia tengah menggenggam tangan Jeffrey erat-erat. Sebelum sama-sama memasuki ruangan privat di sana.

Srettt...

Pintu terbuka. Tubuh Joanna terasa dingin sekarang. Karena untuk yang pertama kalinya, dia melihat secara langsung Sandi Iskandar yang kerap muncul di media. Sebab dia sedang menjabat sebagai menteri keuangan. Setelah sekitar 10 tahun menjadi gubernur Jawa Barat.

"Malam, Ma, Pa."

Sapa Jeffrey pada orang tuanya. Dia juga mulai menyalami mereka. Disusul dengan Joanna setelahnya.

Sandi dan istrinya tampak tersenyum sekarang. Mata mereka terus menatap Joanna yang baru kali ini dilihat. Sebab selama ini Jeffrey tidak pernah cerita jika sudah punya pacar. Karena setiap hari libur tidak pernah keluar rumah. Kecuali dijemput teman-temannya.

Baru kemarin mereka tahu tentang Joanna. Saat mereka mengatakan ingin menjodohkan Jeffrey dengan Sera. Anak teman baik mereka.

Namun Jeffrey jelas menolak karena sudah punya pacar. Bahkan hubungan mereka sudah memasuki tahun ketiga. Di mana itu sangat lama bagi mereka. Sehingga orang tua Jeffrey memaksa untuk bertemu sekarang.

Mengingat Sandi akan mencalonkan diri sebagai presiden tahun depan. Sehingga dia berniat meminta dukungan dari beberapa orang. Termasuk pada Stevan yang merupakan teman baiknya. Dengan cara menjodohkan Jeffrey dengan Sera.

Namun jika Jeffrey menolak, Sandi dan Jessica tidak akan memaksa. Karena kebahagiaan anak tunggal mereka yang utama. Itu sebabnya mereka ingin segera bertemu Joanna. Sebab ingin tahu wanita yang dicintai anaknya. Hingga rela membatalkan beberapa jadwal dengan beberapa petinggi negara.

Tiga jam berlalu.

Jeffrey sedang mengantar Joanna pulang. Dengan keadaan senang. Sebab acara makan malam tadi berlangsung menyenangkan. Karena Joanna tidak merasa dipojokkan.

"Bagaimana? Not that bad, kan?"

"Aku lega sekali. Ternyata bertemu orang tuamu tidak seseram yang aku pikir."

Joanna tampak senang. Dia terus saja menyunggingkan senyuman. Hingga pipinya terasa pegal.

"Aku bilang juga apa! Jadi bagaimana? Kapan aku dikenalkan dengan Pak Rendy dan Ibu Liana?"

Goda Jeffrey pada Joanna. Membuat wanita itu agak salah tingkah. Karena itu berarti, Jeffrey sedang mempertanyakan keseriusan hubungan mereka.

Ya. Meskipun sebenarnya ini wajar. Karena usia mereka sudah sama-sama matang. Bahkan, teman-teman mereka banyak yang sudah memiliki anak di sekolah dasar. Tidak heran jika pernikahan adalah tujuan akhir hubungan mereka sekarang.

"Nanti aku coba atur jadwal. Kamu bisa kapan?"

"Aku bisa kapan saja. Aku bisa cuti kalau kamu mau di luar hari kerja."

Joanna menatap Jeffrey dengan senyum yang tertahan. Dia benar-benar merasa beruntung karena memiliki Jeffrey di sampingnya. Sebab pria itu benar-benar matang secara mental dan emosional. Sehingga hampir tidak pernah membuat dia kesal. Apalagi marah.

"Kalau kamu tidak keberatan, besok aku mau bertemu lagi. Tidak perlu keluar. Aku tahu kamu butuh istirahat. Jadi besok aku ke tempatmu saja. Menemani kamu marathon drama. Jika kamu mengizinkan."

"Sebenarnya kamu tidak perlu meminta izin. Aku sudah memberi tahu kata sandi unitku tahun lalu. Aku juga sudah memberi tahu kamu boleh langsung masuk. Tapi kamu selalu menunggu di lobby, seperti sedang ingin bertemu orang asing."

Jeffrey menoleh ke arah Joanna yang mulai melipat tangan di depan dada. Dia tampak kesal. Membuat Jeffrey agak panik sekarang.

"Maaf, aku kira kamu hanya basa-basi. Aku pikir kamu tidak akan nyaman jika aku langsung masuk unitmu nanti. Dan juga, aku takut jika tiba-tiba masuk ada orang lain. Kamu sendiri yang mengatakan jika adikmu sering datang tidak diundang untuk menumpang wifi."

"Iya juga, sih. Tapi kamu tenang saja. Sekarang dia sudah pindah di Surabaya. Dia tidak akan seperti itu lagi sekarang. Jadi Jeffrey, besok langsung masuk saja. Sebenarnya aku agak khawatir kamu menunggu aku membuka pintu terlalu lama. Jadi setiap kamu mau datang, aku selalu membawa ponsel ke mana-mana. Bahkan saat mandi juga."

Jeffrey yang mendengar itu langsung tertawa. Dia jelas merasa senang. Sebab merasa jika Joanna sangat percaya padanya.

Tbc...

ELECTABILITY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang