11/11

216 43 4
                                    


Februari 2034

Film seperti Sexy Killer, Dirty Votes dan yang lainnya sudah keluar. Kali ini Reality Sucks judulnya.

Film ini membahas keburukan setiap paslon. Namun yang paling dirugikan adalah pihak Sandi dan Stevan. Karena selain dituduh memiliki aliansi dengan Amerika Serikat, kini anak-anak mereka juga diserang.

Jeffrey dan Sera dikulik kehidupan pribadinya. Mereka yang sejak kecil dekat dan memang pernah berpacaran mulai diisukan telah melakukan hal yang tidak bermoral. Melakukan aborsi saat masih berkuliah di luar. Disertai dengan data-data sebagai buktinya.

Dari foto-foto saat mereka masih bersama. Hingga rekam jejak kesehatan Sera yang didapat entah dari mana. Membuat Rusli murka dan hampir memukul si keponakan.

BRAK...

Rusli baru saja menggebrak meja. dia menatap Sera tajam. Membuat wanita itu ketakutan. sebab sejak tadi dia terus ditatap semua orang di ruangan.

"Semua ini benar, Sera? Tidak, kan? Kamu tidak pernah aborsi, kan?"

"Ini hanya fitnah. Aku percaya Sera tidak akan melakukan ini semua. Iya, kan?"

Stevan berusaha menenangkan. Dia mulai merangkul anaknya. Di depan semua orang. Meski sejak tadi hatinya was-was. Karena sedikit percaya dengan data yang disajikan.

"Jeffrey———"

Sandi bersuara, dia berniat mengkonfirmasi berita ini dari anaknya. Karena bagaimanapun juga anaknya yang paling bersalah jika hal ini benar terjadi pada Sera.

"Aku pamit!"

Sela Jeffrey sembari bangkit dari kursi. Setelah mengantongi ponsel dari laci. Karena selama berhari-hari dia tidur di ruangan ini dan sengaja menyimpan ponsel agar tidak mendapat intervensi saat membantu tim IT.

Jeffrey tampak panik sekarang . Dia jelas takut juga. Bukan takut dihujat apalagi menurunnya elektabilitas Sandi dan Stevan. Namun takut jika Joanna percaya akan apa yang sudah diberitakan.

Di tempat lain, Joanna sedang di mobil Mega. Menunggu pria itu membeli sesuatu di minimarket sebentar. Karena dia baru saja pulang kerja dan tengah mengantar Joanna ke halte untuk menunggu bus jemputan. Sebab wanita ini akan pulang dalam rangka pemilihan.

"Kamu beli apa?"

Tanya Joanna saat mega kembali. Dia membawa satu kresek minuman dan roti. Padahal Joanna hanya akan di bus setengah hari. Atau bahkan hanya sepuluh jam lebih sedikit.

"Bawa! Di jalan pasti lapar. Kamu kan gampang lapar. Kenapa baru bilang, sih? Tahu begitu aku antar naik pesawat, supaya cepat. Kalau sekarang mana sempat. Tiket habis semua!"

Joanna terkekeh pelan. Lalu memeriksa isi kresek yang baru saja Mega berikan. Kemudian memasukkan beberapa roti dan minuman ke dalam tasnya. Karena dia enggan membawa banyak barang.

Mengingat dia harus memakai kruk juga, ketambahan tas jinjing pula. Akan semakin susah jika Joanna membawa satu kresek pemberian Mega juga.

"Kebanyakan. Aku bawa beberapa saja. Thank you, ya?"

"Dih? Tidak menghargai aku kamu, ya?"

Joanna terkekeh pelan. Sedangkan Mega mulai melajukan mobil menuju halte yang Joanna tunjukkan. Sebab dia sedang buru-buru sekarang. Karena sudah ada janji bertemu kolega.

"Jeffrey masih belum menghubungimu?"

"Belum. Mungkin sibuk?"

"Sibuk tai kucing! Tidak ada orang sibuk, kamu hanya buka prioritas orang itu!"

"Aku tahu. Tapi dengan seperti ini, aku merasa kalau kita belum benar-benar putus. Karena dia belum memberi respons apapun."

Mega diam. Dia tidak bisa mengatakan apapun sekarang. Sebab apa yang wanita itu katakan ada benarnya juga. Meski hanya sedikit saja.

"Aku akan putus dengannya jika alasannya menghilang tidak masuk akal. Sibuk dengan kegiatan kampanye ayahnya, pasti masuk dalam kategori ini, kan? Karena tidak mungkin dia mengurus kampanye 24 jam. Tidak mungkin dia meninggalkan ponsel berhari-hari juga. "

"Benar. Kalaupun dia memang sesibuk itu, dia tidak mungkin melupakanmu. Dia pasti ingin tahu kabarmu. Dia———itu haltenya?"

"Iya, di sana."

Ucapan Mega terjeda saat mereka tiba di tujuan. Lalu membantu Joanna keluar bersama barang-barangnya. Membuat wanita itu agak kesal karena diperlakukan agak berlebihan. Sebab dia dipapah padahal masih bisa berjalan sendiri menggunakan kruk di salah satu tangan.

"Aku bisa jalan sendiri! Sudah kubilang aku tidak suka dikasihani!"

Seru Joanna pada Mega. Pria itu hanya mendengus saja. Lalu menatap dua mahasiswa yang baru saja datang. Mereka tampak salah tingkah karena ikut mendengar omelan Joanna. Sehingga mereka memutuskan untuk diam saja. Mencoba mengabaikan perdebatan dua orang dewasa di depannya.

"Tidak ada yang kasihan padamu. Orang-orang juga tahu kalau kamu bisa jalan tanpa bantuan siapapun. Kalau begitu aku pergi, kalau ada apa-apa kabari!"

Mega sempat mengusap kepala Joanna sebelum pergi. Membuat wanita itu mendecih lirih. Namun tidak lupa mengucap terima kasih. Meski agak samar terdengar karena teredam masker yang dipakai sebelum keluar mobil.

Orang-orang di halte yang awalnya menatap Joanna iba mulai fokus pada kegiatan masing-masing. Mereka tidak lagi menatap Joanna seperti tadi. Apalagi setelah mendengar apa yang wanita itu katakan jika dia tidak suka dikasihani.

Bahkan saat masuk bus tidak ada yang membantu wanita ini. Kondektur dan supir juga tidak ada yang mengasihani. Karena beberapa orang yang sudah terlebih dahulu naik meminta mereka untuk tidak membantu Joanna saat naik.

Joanna yang merasa agak pengap mulai melepas masker putih dan kacamata hitam yang sejak tadi dikenakan. Dia juga mulai meminum air kemasan yang ada di dalam tas. Disusul dengan memakai headphone guna memutar musik kesukaan.

You think it's easy
You think I don't wanna run to you, yeah
But there are mountains (But there are mountains)
And there are doors that we can't walk through
I know you're wondering why
Because we're able to be just you and me within these walls
But when we go outside
You're gonna wake up and see that it was hopeless after all

No one can rewrite the stars
How can you say you'll be mine?
Everything keeps us apart
And I'm not the one you were meant to find
It's not up to you, it's not up to me, yeah
When everyone tells us what we can be
And how can we rewrite the stars?
Say that the world can be ours, tonight

Joanna mulai memejamkan mata. Menikmati musik yang memanjakan telinga. Berharap bisa tertidur dengan tenang sampai tujuan.

Namun saat hampir terlelap, Joanna merasakan bus berhenti mendadak. Hingga menyebabkan dia dan penumpang lain hampir terjungkal. Kalau saja di depan tidak ada penghalang.

"PELAN-PELAN PAK SUPIR!"

"Ada apa, sih!?"

"Nabrak sesuatu, ya?"

Joanna mulai melepas headphone. Lalu berdiri dari duduknya sembari berpegangan pada kursi depan. Seperti para penumpang lain juga. Sebab penasaran akan apa yang terjadi di depan.

"Permisi-permisi..."

Joanna mematung saat melihat siapa yang baru saja memasuki bus. Dia jelas terpaku. Akan apa yang dilihat saat itu. Termasuk penumpang lain yang hanya bisa diam dan tidak mampu mengatakan apapun. Karena tersihir akan paras tampan Jeffrey Iskandar yang baru saja dilihat secara langsung.

"Barang-barangmu di mana? Hanya ini saja?"

Lamunan Joanna tersadar saat tas ransel yang sejak tadi barada di kursi sebelah diangkat Jeffrey. Pria itu juga memakainya saat ini. Kemudian meraih tas jinjing hitam yang ada di bawah kursi. Disusul dengan genggaman tangan yang membawa si wanita pergi dari bus ini.

Tbc...

ELECTABILITY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang