6/6

251 38 3
                                    

3. 30 AM

Joanna tidak bisa tidur. Dia kepikiran tentang berita yang baru saja muncul. Tentang Sandi yang akan mencalonkan diri sebagai presiden tahun depan. Bersama Stevan yang saat ini menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta.

Joanna juga tahu jika anak Stevan akan dijodohkan dengan Jeffrey. Namun pria itu menolak karena sudah punya pacar saat ini. Sehingga orang tuanya memaklumi. Tidak heran jika mereka berani mengatakan ini pada Joanna saat pertemuan pertama pada beberapa bulan kemarin.

Apa jangan-jangan, Jeffrey memang tidak terlalu menganggapku? Apa dia pikir aku tidak akan terusik dengan berita itu?

Bisa juga aku hanya dijadikan kekasih bayangan. Atau justru selingkuhan setelah dia menikah dengan Sera.

Siapa tahu wacana perjodohan itu tidak jadi dibatalkan dan selama ini Jeffrey hanya kasihan padaku saja. Ah, menyedihkan.

Joanna mulai meraih ponsel di atas nakas. Dia berniat menelepon Jeffrey sekarang. Ingin mengkonfrontasi dia. Namun lekas diurungkan karena tidak ingin mengganggu pria itu beristirahat.

Besoknya, Joanna kerja seperti biasa. Hingga jam makan siang tiba, dia mendapat pesan dari Jeffrey Iskandar. Pria itu mengatakan jika hari ini tidak bisa menjemput dan makan malam bersama karena ada keperluan.

Jeffrey

Siang, Sayanggg
Sudah lunch?
Pakai apa?
Hari ini aku tidak bisa jemput dan dinner seperti biasa, ya? Ada keperluan mendesak soalnya
Tidak apa-apa, kan?

It's, okay
Good luck!

Joanna hanya membalas pesan Jeffrey singkat. Padahal biasanya, dia akan membalas lebih panjang. Meski tahu jika akan dibalas lama. Sebab Jeffrey memang selalu makan siang bersama rekan kerja. Sehingga dia jarang memegang ponsel juga guna menghormati lawan bicara.

Di tempat lain, Jeffrey tampak panik, sebab merasa jika Joanna marah saat ini. Karena sudah tahu berita yang baru saja keluar kemarin. Membuatnya lekas merubah rencana yang baru saja disusun tadi.

"Pak Stevan, maaf. Sepertinya nanti malam saya tidak bisa ikut makan malam di rumah. Ada keperluan mendesak soalnya."

"Oh, ya sudah. Kalau begitu kapan-kapan saja. Sera juga di sini masih lama."

Jeffrey mengangguk dan tersenyum kaku. Lalu memulai makan siang bersama teman baik ayahnya yang sedang berkunjung. Sehingga dia harus menjamu.

Jeffrey sangat menghormati Stevan. Bukan karena dia seorang gubernur sekarang. Namun karena dia sudah baik pada keluarganya. Apalagi saat ayahnya sakit parah dan kehilangan banyak uang.

Jeffrey ingat sekali, saat itu dia hampir putus kuliah. Karena UKTnya tidak bisa turun maksimal. Padahal orang tuanya sudah tidak punya uang. Mengingat rumah dan kendaraan juga sudah dijual untuk pengobatan.

Beruntung ada Stevan yang membantu mereka. Karena selain membiayai kuliah, dia juga membantu pengobatan Sandi hingga sembuh total. Lalu didorong untuk bangkit dan menjadi seperti sekarang.

Malamnya, Joanna langsung memesan taksi online. Dia tidak lapar dan berniat langsung istirahat malam ini. Karena masih bimbang akan apa yang dilakukan pada Jeffrey.

Namun saat tiba di lobby, dia bertemu Jeffrey. Pria itu baru saja turun dari mobil. Tentu saja dengan mobil lain yang mengikuti.

"Katanya ada urusan penting?"

Tanya Joanna saat Jeffrey mendekat. Membuat pria itu hanya tersenyum saja. Lalu meraih tangannya guna digenggam erat menuju lift yang baru saja naik ke lantai lima.

Joanna diam saja saat menunggu lift datang. Dia hanya menatap depan. Tanpa melirik Jeffrey yang sejak tadi menggenggam tangan kanannya.

"Kamu sudah makan? Kalau belum, mau makan apa? Supaya bisa aku pesankan sekarang."

Jeffrey mulai meraih ponsel dari saku celana. Menggunakan tangan yang satunya. Karena dia enggan melepas genggaman tangan.

"Terserah kamu saja."

Jeffrey mulai memesan makanan yang Joanna suka. Soto ayam dan es kelapa muda. Tidak lupa dengan beberapa gorengan juga.

Ting...

Lift datang dan terbuka. Membuat Jeffrey dan Joanna lekas masuk sekarang. Lalu membalikkan badan tanpa melepas genggaman tangan.

"Kamu marah, ya?"

Joanna langsung menatap Jeffrey sekarang. Wajah pria itu tampak memelas. Karena takut si wanita marah.

"Marah kenapa? Kamu ada salah apa?"

Jeffrey ingin menjawab. Namun lift yang awalnya sudah tertutup kembali terbuka. Karena ada dua orang masuk sekarang.

Jeffrey diam saja. Namun dia masih menggenggam tangan Joanna. Hingga lift terbuka dan mereka tiba di depan unit si wanita.

Jeffrey melepas genggaman saat Joanna akan membuka pintu. Karena tidak mungkin mereka akan bergandengan terus menerus. Apalagi Joanna tampak masih marah pada pria itu. Meski tidak dikatakan secara langsung.

"Aku minta maaf karena tidak mengatakan lebih cepat. Kamu pasti kesal karena tahu berita ini dari media. Maaf, ya?"

Ucap Jeffrey saat memasuki unit. Dia menatap Joanna yang kini sudah meletakkan tas di atas kursi. Lalu menatapnya lama sekali.

"Kalau boleh tahu, apa alasanmu menyembunyikan ini? Kamu tidak jadi membatalkan perjodohan dengan Sera, ya? Sehingga informasi sepenting ini tidak kamu bagikan. Singkatnya, kamu tidak menganggapku penting sekarang. Karena sudah ada penggantinya. Iya, kan?"

"Bukan, Sayang. Bukan begitu. Aku takut kamu kepikiran masalah itu. Aku takut kamu merasa terbebani jika aku beri tahu terlebih dahulu."

Jeffrey mendekati Joanna. Menggenggam kedua tangannya. Lalu menatap dalam matanya.

"Banyak hal yang harus disiapkan. Aku hanya tidak ingin kamu ikut kepikiran. Karena aku yakin pasti akan ada banyak drama di depan. Sebenarnya aku ingin memberi tahu kamu sebelum berita ini keluar di media. Tapi tiba-tiba saja partai pendukung Papa mengumumkan berita ini semalam."

"Lalu kenapa tidak langsung memberi tahu saat berita itu keluar? Kamu sengaja ingin membuatku---"

"Bukan, Sayang. Aku tidak ada maksud untuk membuatmu khawatir, merasa tersisih ataupun yang lain! Aku kira kamu tidak update berita ini, karena pekerjaanmu sudah banyak menyita energi. Jadi---"

"Ini berita nasional Jeffrey! Tidak mungkin aku melewatkan ini!"

"Maaf, aku minta maaf. Aku salah. Aku janji akan lebih terbuka padamu ke depannya. Supaya kamu tdiak khawatir dan berpikiran yang tidak-tidak seperti sekarang."

Jeffrey memeluk Joanna. Hal itu jelas membuat amarah si wanita langsung meredam. Padahal dia masih kesal.

Di tempat lain, Sera sedang duduk di ruang makan bersama orang tuanya. Dengan perasaan senang, karena dia baru saja pulang dari Amerika setelah mendapat gelar PhD di sana.

Iya. Sera sudah lulus S3. Dia benar-benar potret wanita sempurna di telenovela. Cantik, berasal dari keluarga baik-baik, pintar dan tentu saja baik hati. Tidak heran jika temannya banyak sekali.

"Om! Tante! Terima kasih sudah datang. Jeffrey mana?"

Sera bangkit dari duduknya. Dia langsung memeluk Sandi dan Jessica bergantian. Lalu mempersilakan mereka duduk di kursi yang sudah disiapkan.

"Dia ada keperluan mendesak, jadi agak terlambat."

"Bukannya dia tidak bisa datang?"

Stevan mencoba menyangga ucapan Sandi. Sebab seingatnya, Jeffrey tidak bisa datang malam ini. Karena ada keperluan lain.

"Bisa. Dia sudah di jalan."

Kali ini Jessica yang bersuara. Setelah menunjukan pesan dari Jeffrey yang baru saja dibaca. Dia mengatakan sedang berada di jalan dan mungkin setengah jam lagi tiba.

Tbc...

ELECTABILITY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang