4/4

296 41 1
                                    

Februari 2033

Jeffrey mendatangi unit Joanna di siang hari. Dia membawa makanan dan beberapa buah untuk camilan mereka marathon nanti. Karena akan ada 16 episode yang menanti.

"Aku baru tahu kalau ada orang sejahat itu."

Komentar Jeffrey saat kedua matanya fokus menatap televisi. Sembari sesekali melirik Joanna yang duduk di samping kiri. Sembari menyadarkan kepala di punggung sofa yang sedang mereka duduki.

"Aku juga. Aku jadi ingin menjambak."

Jeffrey terkekeh pelan. Tangannya juga mulai terulur guna menjauhkan rambut Joanna yang menutupi wajah. Karena dia ingin menatap wajah wanita itu lebih jelas sekarang.

"Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa. Rambut ini menghalangi aku untuk melihat wajahmu."

Pipi Joanna bersemu. Dia berusaha menahan senyum. Lalu meraih gelas isi es teh leci dengan gugup. Sebab mereka memang tidak pernah sedekat ini sebelum itu.

Wajar jika Joanna agak salah tingkah sekarang. Dia juga sudah membayangkan hal yang tidak-tidak sebelumnya. Sebab selama ini gaya pacaran mereka cukup sehat.

Mereka tidak pernah melakukan sentuhan secara berlebihan. Apalagi yang mengarah ke arah seksual. Seperti ciuman dan yang lainnya.

Paling jauh pelukan yang mereka lakukan. Itu saja hanya beberapa kali selama tiga tahun bersama. Karena Jeffrey memang agak kaku dan sangat patuh pada batasan. Dia juga sangat sopan. Bahkan saat ingin bergandengan saja harus mendapat izin terlebih dahulu dari Joanna.

"Panas, ya? Sepertinya mau hujan."

Komentar Joanna sembari memakan es batu. Guna menutupi ekspresi gugup. Sebab dia tidak ingin terlihat canggung.

"Iya, sedikit."

Ucap Jeffrey sembari menahan senyum. Dia ikut minum dan juga memakan es batu. Kemudian menatap televisi dan sesekali melirik Joanna yang pipinya mulai mengembung.

Beberapa menit kemudian es batu Joanna habis. Dia mulai meraih gelas dan mencari keberadaan es batu lagi. Namun ternyata sudah tidak ada lagi.

Saat melirik gelas Jeffrey, di sana juga tidak ada es batu lagi. Membuat Joanna langsung menatap Jeffrey. Sebab pria itu juga sedang menatapnya saat ini.

"Iwni mawsih!"

Jeffrey menunjuk wajah. Dia juga menjulurkan es batu yang masih utuh di mulutnya. Karena sedang ingin bercanda.

Namun Joanna yang sudah sejak lama mendamba, tentu saja tdiak akan menyia-nyiakan kesempatan. Dia mulai mendekatkan badan. Menumpukan kedua tangan di punggung sofa. Kemudian menggigit dan menarik ujung es batu yang baru saja dijulurkan. Membuat Jeffrey sedikit terperanjat. Karena bibir mereka sempat bersentuhan. Meski hanya sebentar.

Mereka saling tatap. Hingga Joanna melepeh es batu begitu saja. Hingga jatuh di bawah sofa. Setelah melewati perut dan paha Jeffrey tentu saja.

"Apa boleh aku———"

Joanna tidak melanjutkan ucapannya. Karena Jeffrey mulai memeluk pinggangnya. Membawanya duduk ke dalam pengakuan. Hingga bibir mereka kembali bersentuhan.

Jeffrey yang memulai lumatan. Dia tampak tergesa dan agak memaksa. Membuat Joanna sedikit kewalahan. Padahal dia sempat berpikir jika Jeffrey tidak berpengalaman. Tapi ternyata dia salah.

Beberapa jam kemudian.

Ini sudah jam dua belas malam. Namun Jeffrey tidak kunjung pulang. Bahkan dia juga melewatkan makan malam. Karena tidak merasa lapar. Apalagi Joanna tidak mengeluh lapar juga.

Saat ini Joanna sedang bersandar di dada Jeffrey. Mereka saling memeluk saat ini. Sembari menatap televisi. Sebab mereka sudah sampai pada episode-episode akhir.

"Kamu tidak lapar?"

Tanya Jeffrey sembari mengusap perut Joanna. Membuat wanita itu menggeleng pelan. Lalu mendongak guna menatap si pria kecintaan.

"Tidak. Kamu lapar?"

"Tidak juga."

Jeffrey tersenyum tipis. Lalu mengecup dahi dan bibir Joanna singkat sekali. Membuat wanita itu tersenyum geli. Sebab masih belum terbiasa dengan kebiasaan baru Jeffrey.

"Kamu mau menginap?"

Tanya Joanna tiba-tiba. Membuat telinga Jeffrey memerah. Disusul dengan seluruh wajahnya juga. Sebab merasa sedang mendapat undangan untuk melakukan hal yang lebih dari sekarang.

Jeffrey dibesarkan oleh keluarga baik-baik. Kedua orang tuanya akademisi. Mereka pernah menjadi dosen di salah satu universitas negeri terbaik di Jawa Tengah. Di sana juga mereka bisa berjumpa dan akhirnya menikah. Hingga lahirnya Jeffrey satu tahun kemudian.

Jeffrey mengikuti jejak mereka juga pada awalnya. Setelah lulus S1 dia langsung melanjutkan S2. Agar bisa langsung mengajar.

Meski sebenarnya Jeffrey sudah pernah mengajar juga sebelumnya. Karena dia pernah menjadi asisten dosen dan kerap menggantikan mengajar adik tingkat. Saat belum menjadi sarjana.

Jeffrey lulus S2 di usia 23. Dia juga langsung menjadi dosen di universitas tempat dirinya belajar. Sekaligus di tempat orang tuanya dulu bertemu dan akhirnya jatuh cinta.

Namun sekarang, Jeffrey sudah tidak lagi menjadi dosen di sana. Karena sepuluh tahun lalu ayahnya membangun universitas swasta di Jawa Barat. Universitas yang bisa dijangkau oleh orang-orang kurang mampu di sana. Sebab tidak ada uang pangkal dan UKTnya hanya 600 ribu saja atau hanya 100 ribu per bulan.

Tidak ada program beasiswa di sana. Namun seluruh mahasiswa berhak mendapat konseling setiap bulan. Mereka akan dibantu mengatasi setiap masalah yang dihadapi selama perkuliahan. Jika ada yang benar-benar tidak mampu membayar, mereka akan diberi pekerjaan sehingga UKT dapat terbayarkan secepatnya.

Program ini sebenarnya Jeffrey yang usulkan. Sejak ayahnya menjabat sebagai gubernur di Jawa Barat. Sehingga dia begitu disukai masyarakat dan kemudian dicalonkan oleh partai untuk menjadi capres tahun depan.

Kembali pada Jeffrey dan Joanna. Saat ini mereka sedang saling tatap. Joanna sedang menunggu jawaban, sedangkan Jeffrey tampak panik dan gelisah. Sebab gaya pacarannya tidak sejauh itu sebelumnya.

Belum juga Jeffrey menjawab, tiba-tiba saja ponsel pria itu bergetar. Pertanda ada panggilan penting datang. Karena sebelumnya dia sudah mematikan wifi dn paket data. Agar kegiatan kencannya tidak diusik orang.

"Papa telepon pakai nomor biasa. Aku angkat dulu, ya?"

Joanna mengangguk singkat. Membuat Jeffrey lekas bangkit dari sofa. Setelah Joanna bangkit dari tubuhnya.

"Halo, Pa? Ada apa?"

Kamu pulang kapan? Ada yang perlu Papa bicarakan.

"Aku pulang sekarang. Ada perlu apa memang?"

Kamu pulang dulu saja.

"Oke. Kalau begitu aku matikan."

Jeffrey langsung mematikan panggilan. Lalu mendekati Joanna yang kini duduk. Bersila di atas sofa sembari menatap dirinya yang mulai berjalan mendekat.

"Ada apa?"

"Aku disuruh pulang. Ada hal penting katanya. Tidak apa-apa, kan?"

"Tidak apa-apa, lah! Mau aku antar ke lobby?"

"Tidak perlu. Kamu istirahat saja. Besok pulang kerja aku jemput seperti biasa."

Joanna mengangguk singkat. Lalu mengantar Jeffrey sampai pintu unitnya. Kemudian melambaikan tangan guna melepas kepergian si pria.

Tbc...

ELECTABILITY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang