10/10

221 42 3
                                    

Februari 2034

Pemilu akan berlangsung sebentar lagi. Ketiga paslon mulai memamerkan gagasan masing-masing. Namun tentu akan ada semakin banyak kontroversi. Karena mereka jelas saling menyerang saat kegiatan debat terjadi.

Jeffrey tengah menatap bangga ayahnya sendiri. Karena Sandi yang memang lulusan S3 luar negeri sangat pintar merangkai kata selama perdebatan ini. Bahkan jauh lebih baik dari paslon yang lain.

"Mama sangat bangga pada Papa."

Bisik Jessica pada Jeffrey. Mereka saling lirik, lalu tersenyum kecil. Sembari menatap Sandi yang masih berbicara di podium ruangan ini.

"Aku juga, Ma."

Jeffrey benar-benar menghormati ayahnya. Serta menjadikan dia sebagai panutan juga. Tidak heran jika dia mau melakukan apa saja agar bisa menyenangkan si ayah. Termasuk menjauhi Joanna selama kampanye dilangsungkan.

Iya. Jeffrey dan Joanna masih berpacaran. Mereka belum putus pasca pertengkaran terakhir mereka. Namun hubungan keduanya mulai renggang. Sebab Jeffrey semakin sibuk dan tidak bisa mendatangi dia.

Selama satu bulan ini mereka tidak saling jumpa. Hanya sesekali bertukar kabar lewat pesan. Sebab Jeffrey benar-benar tidak ada waktu untuk sekedar menelepon sebentar saja.

"Aku yakin Papa akan memenangkan pemilihan."

Bisik Jeffrey pada ibunya. Dia juga mulai berdiri dan bertepuk tangan. Saat acara debat diakhiri oleh pembawa acara. Disusul dengan sorakan riuh pada pendukung setiap paslon yang datang. Karena ini adalah acara debat terakhir sebelum pemilihan minggu depan.

Di tempat lain, Joanna sedang menatap siaran langsung debat capres di ponsel. Senyumnya mulai tersungging saat wajah Jeffrey tersorot kamera. Membuat rasa rindunya sedikit berkurang. Karena selama sebulan ini hubungan mereka sedikit renggang. Pasca perdebatan soal Mega.

Namun senyum Joanna mendadak pudar saat kamera menyorot wajah Sera. Ada sedikit rasa cemburu di hatinya. Atau mungkin iri padanya. Karena bisa berdekatan dengan pacarnya.

Iya. Joanna tahu jika Jeffrey sengaja menjauhinya pasti karena perintah ayahnya. Agar kehadirannya tidak disorot media. Tidak menjadi bahan gunjingan atau paling parah menjadi batu sandungan mereka.

"Mau sampai kapan kamu seperti ini?"

Tanya Joanna pada dirinya sendiri. Dia yang awalnya tidur miring mulai duduk bersila setalah ponselnya mati. Karena baterai habis.

"Merasa kurang hanya karena Jeffrey tidak mengakuimu. Joanna, kamu berharga! Kamu anak kesayangan orang tuamu juga! Kalau memang Jeffrey malu padamu, itu berarti dia tidak baik untukmu! Dia mungkin bukan jodohmu!"

Nasehat Joanna pada dirinya sendiri. Dia juga mulai menepuk dada kiri berkali-kali. Karena ingin menghilangkan rasa sakit hati.

7. 30 AM

Besoknya Joanna kerja seperti biasa. Dia tentu langsung menyapa teman-temannya. Seolah lupa akan masalah percintaan yang mengambang. Sebab sejak semalam Joanna tidak tidur karena menunggu pesan dari pacarnya. Namun sampai sekarang tidak ada. Bahkan pesan yang kemarin siang dikirim belum dibaca.

"Pagi semuanya!"

"Pagi!!! Eh, Jo! Jadinya kamu mau pulkam atau tidak? Pengurusan pindah TPS terakhir hari ini, loh! Bareng aku kalau iya. Kebetulan aku mau izin nanti siang."

"Aku mau pulkam saja. Aku sudah izin wfh selama tiga hari di sana."

"Oke, deh!"

Joanna tersenyum kecil. Lalu menduduki kursi. Kemudian menghidupkan komputer sembari bersenandung kecil. Mengikuti alunan musik yang anak-anak kantor putar setiap pagi.

ELECTABILITY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang