Chapter 22

1.5K 82 0
                                    

"I never felt this way before"

___

Spring Wind Rutherford Point Of View

Saat aku terbangun, aku merasakan udara dingin yang perlahan berhembus meniup-niup permukaan kulit pipiku. Aku mengerang sembari mengerjap-ngerjapkan mata, dan sedetik setelah mataku berhasil terbuka dengan sempurna, aku menemukan seraut wajah dengan mata biru yang tertuju padaku. Itu mata Niall. Tentu saja, tanpa aku harus berpikir dua kali aku sudah tahu bahwa itu mata Niall. Hm, apakah semalaman dia ada di rumah sakit ini menungguiku? Kupikir iya. Niall sudah seperti kakak bagiku dan aku tahu dia menyayangiku seperti aku menyayanginya. Awalnya aku berharap aku akan mendapatkan senyuman hangat Niall dan mata biru cemerlang nya yang menatap senang padaku, namun kini Niall hanya memandangku dengan tatapan dingin yang biasanya hanya kudapatkan dari seorang Justin Bieber. Aku mengerutkan kening sembari berusaha menukar posisi berbaringku dengan posisi duduk namun Niall menghentikan usahaku itu dengan mengangkat satu tangannya. Ya ampun, dia bahkan tidak bilang apa-apa padaku. Aku bertanya-tanya apakah Niall tertular sikap dingin Justin hingga dia tampak aneh pagi ini.

"Niall, kenapa kau tidak bicara?" sebuah pertanyaan konyol itu terlontar keluar dari mulutku setelah lima menit berlalu dalam ruangan ini—dan sejujurnya itu sangat menyiksa. Niall mendengus kemudian mata birunya yang mendadak tampak sekeras gunung es sekarang tertuju padaku. Apa Niall marah padaku? Tapi kenapa—Niall tidak pernah marah padaku sebelumnya. Dia tidak pernah bersikap defensif padaku atau over protektif kepadaku sampai akhirnya mendadak Justin Bieber datang dan entah kenapa sosoknya selalu muncul dalam setiap kegiatan yang kujalani. Apakah Niall marah karena aku masih saja berdekatan dengan Justin?

"Aku sudah bilang padamu, Spring Wind Rutherford." kata Niall dengan rahang yang kelihatan mengeras. Aku paham apa maksud bahasa tubuhnya itu. Dia pasti marah. Dan aku mengerti kenapa dia marah. "Kau tidak seharusnya terus menerus berdekatan dengan Justin Bieber. Tidak sama sekali. Sekarang kau sudah punya keluargamu sendiri. Kau punya Georgia. Kau punya Taylor yang bisa kau ajak bercerita bersama. Haruskah kau terus menerus pergi bersama Justin Bieber? Dia adalah bahaya bagimu, Spring. Lihat apa yang terjadi sekarang! Kau kecelakaan—padahal selama kau tinggal bersamaku dan Mom Jared, kau tidak pernah sekalipun mengalami kecelakaan separah ini." Niall mengarahkan pandangannya pada memar-memar berwarna biru keunguan yang banyak membekas di punggung tangan hingga lenganku. Aku membuang napas dan dengan gerakan perlahan menutupi lenganku dengan selimut ketika mendadak aku merasakan sesuatu yang keras di genggaman tanganku. Aku mengerutkan kening sambil merabanya dengan jariku dan menyadari bahwa itu adalah seuntai kalung. Tapi kalung apa? Kurasa aku tidak menggenggam satupun kalung semalam.

"Spring, kuharap kau mendengarku." ucapan Niall membuatku memutuskan melupakan sejenak soal kalung aneh yang berada di tanganku sekarang dan mengarahkan mataku pada wajah Niall yang kini masih memandangku lekat-lekat. "Kau harus menjauhinya, Spring. Kau tahu, kurasa dia mulai merubahmu. Aku pun terkejut ketika semalam kau meminta untuk bertemu dengannya, bukannya bertemu denganku ataupun Mom Jared. Ataupun Taylor yang notabene adalah kakak sepupumu. Ada banyak orang yang sungguh-sungguh menyayangimu disini, namun kau hanya ingin bertemu dia. Kau lebih mementingkannya kan sekarang, Spring?" Aku mengerjap karena kata-kata Niall yang diucapkan dengan nada menohok itu seakan menghantam perasaanku. Apa katanya? Aku lebih mementingkan Justin? Aku berusaha meneguk ludahku dan entah mengapa begitu melihat tatapan penuh penghakiman dari mata Niall membuatku ingin menangis.

"Kau tidak pernah mau mendengarkan apa kataku. Kau hanya mendengarkan dia. Kau masih saja bergaul bersama dia, dan teman-teman berandalannya walaupun dia sudah sering sekali menyakitimu. Sebenarnya apa yang kau mau Spring? Jangan katakan padaku kalau kau telah jatuh cinta pada lelaki brengsek itu."

The Dust (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang