Chapter 38

1K 73 0
                                    

---

General Hospital.

Dan pada akhirnya Niall Horan memang melakukannya. Dia berusaha menghibur Citrus Kensbrook. Berusaha mengatakan pada gadis itu bahwa dia memang harus melakukan hal ini, namun Citrus sama sekali tidak bisa mengerti. Atau sesungguhnya gadis itu tidak mau mengerti? Niall memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi ruang tunggu sambil berusaha tidak mendengarkan suara tangisan Citrus. Gadis itu... Well, dia dan Citrus memang pernah punya kisah romantis di masa lalu, namun Niall tidak pernah menyangka bahwa Citrus masih menyimpan perasaan itu hingga sekarang. Hingga bertahun-tahun berlalu. Niall menghembuskan napas berat. Dia sama sekali tidak ingin membuat Citrus menangis. Tapi dia harus melakukannya untuk Spring. Demi gadis yang dia cintai. Dia akan mengorbankan apa saja.

Jangan tanyakan pada Niall apakah dia tidak takut mati. Bagi Niall kematian bukanlah sesuatu yang mengerikan. Kematian hanyalah sebuah lubang yang semakin hari akan semakin besar. Tinggal menunggu waktu bagi kita untuk tergelincir ke dalamnya. Kematian adalah takdir untuk segala sesuatu yang bernyawa, dan jika kematiannya bisa berguna bagi orang lain terlebih bagi perempuan yang dia cintai, mengapa Niall harus takut pada hal itu? Niall mendesah lagi. Dia sudah menemui dokter yang menangani Spring tadi. Tanpa sepengetahuan Spring ataupun Justin. Awalnya dokter itu menolak karena mereka bilang mereka tidak bisa mengambil donor dari orang yang masih hidup. Namun sungguh, satu-satunya hal terakhir yang ingin Niall lakukan dalam hidupnya adalah hal ini. Menyelamatkan Spring. Hanya itu. Dia hanya ingin melihat Spring bisa kembali tersenyum. Dan bahagia. Sesungguhnya Niall tahu bahwa Justin tidak akan tinggal diam ketika melihat penderitaan gadis itu, namun Niall tahu bila Justin tewas dan gadis itu hidup, Spring tidak akan pernah menjadi Spring yang dia kenal. Gadis itu hanya akan bisa diam saja. Dan keberadaan Niall tidak akan berarti di sisi gadis itu. Berbeda jika dia yang tewas dan Justin yang hidup. Spring mungkin akan kacau selama beberapa saat, namun dia akan pulih kembali. Membayangkan hal itu membuat dada Niall disesaki rasa nyeri. Dia merasa sakit. Dan dia mengerti kenapa rasa sakit itu timbul.

Karena gadis itu bukanlah tercipta untuknya.

"Jadi, kau akan melakukannya?" tanya Zayn yang mengusik lamunan Niall. Niall membuka kedua matanya, kemudian mengarahkan lensa mata birunya pada laki-laki berambut hitam itu sementara Caitlin masih berusaha menenangkan Citrus.

"Ya." jawab Niall lemah. "Aku akan melakukannya, dan hasil tes kesehatanku akan keluar malam ini. Jika keadaan tubuhku baik-baik saja dan kondisi Spring relatif stabil, mereka akan melakukan operasinya besok. Sebelum kondisinya memburuk."

"Kau tahu, kau sungguh—" Zayn menghela napas. "Apakah kau siap untuk mati?"

"Kematian hanyalah masalah waktu." Niall tersenyum samar, dan bersamaan dengan itu kenop pintu kamar perawatan Spring terbuka. Justin muncul dari dalam sana dan matanya memandang Zayn dan Niall dengan sedih. "Dan jika aku memang harus mati untuknya, kupikir itu lebih baik ketimbang aku hidup namun hanya bisa melihat nisan kuburannya." Niall menyambung perkataannya yang membuat sebelah alis Justin terangkat. Namun sebelum Justin sempat bertanya, Niall sudah bangkit dari duduknya.

"Aku boleh menemuinya kan?" tanya Niall yang langsung dibalas anggukan oleh Justin. Niall tersenyum samar—nyaris tak bisa dilihat—lantas berjalan menuju pintu kamar perawatan tersebut dan menutup pintunya begitu dia berhasil masuk ke dalam ruangan putih itu. Ada aroma antiseptik yang kuat yang langsung menerpa indra penciuman Niall dan membuatnya ingin bersin seketika.

"Niall?" Niall mendengar suara gadis itu, "Itu kau?"

"Ya." balas Niall sambil berjalan mendekat. "Ini aku."

The Dust (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang