Chapter 28

1.1K 75 0
                                    

Justin bersandar di sisi mobilnya sementara dia menunggu gadisnya keluar dari gedung apartemen itu. Ada sebuah kelegaan yang aneh yang menyergapnya sekarang, sekaligus perasaan hangat yang mengaliri dadanya. Awalnya dia pikir gadis itu akan marah. Gadis itu akan meninggalkannya begitu saja, namun Justin terkejut ketika gadis itu justru memaafkannya dan mengkhawatirkan kalau apa yang diberikan oleh Summer jauh lebih baik ketimbang saat-saat menyenangkan yang diberikan Spring selama berada di sisinya. Tidak. Tidak ada satu orangpun di dunia ini yang bisa dibandingkan dengan Spring selain ibunya. Gadis itu membuatnya merasakan sebuah kebahagiaan yang telah lama tidak dia rasakan. Dan sekarang, setelah yakin bahwa dia telah menemukan malaikat keberuntungannya, Justin bersumpah bahwa dia tidak akan pernah melepaskan Spring Rutherford. Sampai kapanpun.

Justin masih terdiam sambil merapatkan mantelnya karena angin yang berhembus ketika ponselnya berdering, dan dia mendapati nomor ponsel Zayn tercetak dengan jelas di layarnya. Hm, jika Zayn menelpon, dia berharap dia akan mendapat kabar baik. Akan tetapi jika Justin mendapatkan kabar tentang Zayn yang membuatnya tidak senang, dia tahu apa yang harus dia lakukan. Dia akan membuat Mandy Hart membusuk di penjara. Dengan sekali sentuhan pada layar ponselnya, Justin menjawab telepon itu dan langsung mendengar suara Zayn yang terdengar begitu kesakitan, namun Zayn tetaplah Zayn. Tampaknya laki-laki itu mencoba memaksaan diri menyapa Justin dengan suara riang seakan segalanya baik-baik saja. Zayn memang sahabat terbaik Justin di dunia ini. Laki-laki itu melewati detensi sekolah bersama Zayn, mempermainkan para gadis bersama Zayn dan mendapatkan nasib yang sama seperti Zayn. Meskipun brengsek, mereka berdua saling menyayangi satu sama lain. Dan ketika mereka berdua menyukai gadis yang sama, salah satunya akan mengalah dengan suka rela. Seperti ketika Justin dan Zayn menyukai Lola Clima saat mereka masih duduk di bangku JHS. Justin mengalah untuk Zayn. Dan sekarang, ketika mereka berdua sama-sama menyukai Spring Rutherford. Zayn mengalah untuk Justin.

"Aye, Man." ujar Zayn yang membuat Justin memutar bola matanya.
"Tell me the truth. Bagaimana bisa Mandy Hart menangkap pemuda yang kuat seperti kau? Dan apa yang mereka lakukan padamu?"
"Mereka menghajarku—well, sedikit membuatku terluka. Tapi yeah, teman Mandy yang bernama Avan itu berhasil membuat sepasang rusukku retak dan wajah tampanku berubah mengerikan. Sialan." Zayn memaki. "Tapi aku baik-baik saja. Aku Zayn Malik, ingat? Entah apa yang kau katakan pada mereka, tapi Avan dengan murah hati melemparkanku ke halaman rumah sakit sebelum akhirnya mengemudikan mobilnya pergi."
"Bodoh." Sembur Justin tanpa perasaan. "Lain jangan begitu mudah terpedaya oleh perempuan. Apalagi Mandy Hart. Cih! Benar-benar gadis yang mengerikan. Aku sudah menyelamatkanmu, kau tahu?"
"Yeah, terimakasih, Bieber." Zayn tertawa, namun sedetik kemudian laki-laki itu mengaduh kesakitan. "Kau tahu, mereka mengincar paket foto itu. Keadaan bisa berbalik dengan cepat dan Avan bisa dengan mudah membunuhmu jika paket foto itu jatuh ke tangannya. Kau harus mengamankannya, Justin." ujar Zayn dengan nada serius dan penuh penekanan.

Justin menghela napas. "Aku tahu," ujar Justin sembari mengarahkan matanya ke sembarang arah, namun diam-diam laki-laki itu tersenyum lebar begitu melihat Spring keluar dari pintu depan gedung pencakar langit yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Gadis itu mengenakan sweater tebal dan scarf warna merah hati yang membuat penampilannya tampak semakin manis. Justin tersenyum pada Spring sebelum akhirnya mengucapkan sebaris kalimat pada Zayn, "Aku akan menghubungimu lagi nanti. Aku harus pergi sekarang."
"Dengan Spring?" ujar Zayn menggoda. "Oh selamat bersenang-senang."
"Kuharap kau lekas sembuh." ujar Justin yang membuat Zayn terdiam.
"Thanks, Justin." Justin hanya menjawab ucapan Zayn dengan sahutan singkat sebelum akhirnya benar-benar memutus hubungan telepon.

"Kau sangat cantik." Bisik Justin setelah Spring mendekatinya. Lelaki itu menarik tubuh Spring agar lebih dekat dengannya lantas menunduk dan memperbaiki lilitan scarf nya yang tampak tak terlalu rapi. Spring tersenyum.
"Kau akan mengajakku kemana?"
"Ke sebuah tempat yang indah." balas Justin, lantas laki-laki itu membukakan pintu mobil untuk gadis yang berdiri di sampingnya.


***

Spring tak bisa menahan senyuman lebarnya begitu Justin membawanya ke tepian sebuah pantai. Dan disana, bukan hanya ada dirinya dan Justin, melainkan juga Mom Pattie, Dad Jeremy, Paman dan Bibinya, Citrus, Christian, Caitlin, Lime, Taylor, Michael Mallette, Pasangan Beadles, Mom Jared, Bianca, Amanda, Mia dan... Niall. Spring sempat menatap Niall selama beberapa saat, namun laki-laki itu justru seakan menghindari tatapan Spring dan lebih memilih memandangi api unggun besar yang ada di hadapannya. Mata biru laki-laki itu tampak mencolok begitu wajahnya terkena gradasi warna oranye dari api unggun. Spring mendadak merasa sedih lagi karena hubungannya dan Niall yang memburuk, tapi senyuman orang-orang yang ada disana berhasil membuat Spring melupakan Niall untuk sejenak. Gadis itu melepaskan tangan Justin yang masih menggenggam erat jemarinya untuk menghampiri Citrus yang duduk berdekatan dengan Niall—sementara Christian dan Lime tampak terlibat pertengkaran seru soal apa yang sebaiknya mereka panggang terlebih dahulu, apakah marshmallow atau irisan daging sapi yang siap dipanggang.

"Hei." Citrus menyapa. "Kau kelihatan begitu dekat dengan Justin." Citrus menuding Justin yang tengah menyiapkan peralatan barbeque bersama para pria yang ada disana, kecuali Niall tentu saja. Diam-diam Spring mendesah dalam hati. Membicarakan Justin di hadapan Niall adalah sesuatu yang seharusnya dia hindari. Tapi kemarahan Niall sama sekali tidak bisa Spring mengerti dan Niall sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Justin.

"Ya. Dia sangat baik. Dan dia mencintaiku. Aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya." balas Spring sambil tersenyum pada Citrus. "Bagaimana denganmu? Apakah kau berpikir untuk punya pacar, Citrus?"
"Mungkin sebentar lagi Citrus akan punya pacar." terdengar suara seseorang menyela, lantas orang itu duduk di sebelah Spring. Spring menoleh dan mendapati mata hijau Christian yang memandangnya. "Hei Spring. Aku tidak menyangka bahwa kau bisa membuat Justin berubah—well, dia jadi seperti Justin yang dulu kami kenal."
"Dia memang baik. Keadaan yang membuatnya jadi seperti itu. Sebenarnya apa yang kita lakukan disini?"

"Menghabiskan waktu untuk sesuatu yang menyenangkan?" Christian tersenyum lebar, sementara tepat disaat yang bersamaan sebuah marshmallow jatuh di rambutnya, yang membuat Christian sontak langsung mendongak dan matanya melotot begitu melihat mata hijau keabuan Lime yang memandangnya dengan sikap angkuh. "Dia itu nenek sihir." bisik Christian pada Spring dan Citrus yang sontak langsung tertawa. Spring mencuri pandang pada Niall, namun lelaki itu tetap menatap api unggun dengan pandangan kaku. Spring membuang napas dengan perlahan dan mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Baiklah, sepertinya duduk disini bukan sesuatu yang bagus. Mungkin dia bisa membantu yang lainnya untuk menyiapkan entah acara apa yang telah Justin rencanakan. Spring tersenyum pada Christian dan Citrus sebelum akhirnya bangkit dari sana dan melangkah menuju Caitlin Beadles yang kini telah menyiapkan bahan-bahan apa saja yang akan mereka panggang untuk menjadi makan malam mereka, sementara Pattie tengah mengeluarkan seperangkat sound system mahal dari van besar yang berada tidak jauh dari tempat mereka berkumpul.

"Hai." Spring menyapa, sembari membantu Caitlin, sementara gadis bermata biru cerah itu menoleh dan wajahnya terlihat terkejut setengah mati begitu melihat Spring.
"Hai." Caitlin baru menjawab ucapan Spring setelah satu menit yang panjang berlalu. Spring balas tersenyum dan mereka diam dalam suasana yang canggung selama beberapa saat.
"Bagaimana dengan Justin?" Akhirnya Caitlin membuka mulut setelah mereka saling diam. Spring mengerjap dan menatap mata biru cemerlang Caitlin. Dia jadi teringat mata sembab Caitlin ketika melewatinya di kampus setelah Casey melabraknya. Apakah Caitlin sungguh-sungguh menangis ketika itu?
"Dia baik. Dia laki-laki paling baik yang pernah kukenal. Dia memperlakukanku seperti seorang puteri."
"Oh." Caitlin berkomentar dan menarik senyuman hampa di bibirnya. Spring mengernyit dan masih menatap Caitlin sampai akhirnya gadis cantik berambut cokelat tembaga itu kembali mengalihkan pandangan pada Spring. "Kau tahu, Justin juga pernah bersikap seperti itu padaku. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Aku kagum kau bisa merubahnya menjadi Justin yang dulu pernah kukenal."

"Dia sama sekali tidak berubah." Spring tersenyum pada Caitlin, "Keadaan yang membuatnya seperti itu. Dia tidak pernah berlaku buruk kepadaku, dan dia bahkan sangat menghormatiku. Terlalu menghormatiku, kukira." Spring menatap kotak Styrofoam berisi bahan makanan yang ada di tangannya dan gadis itu tertawa. Caitlin mengernyit begitu dia melihat tawa Spring. Tawa bahagia. Tawa yang pernah dia rasakan ketika dia bersama Justin yang dulu. Caitlin ingin menangis sekarang. Apakah dia egois jika dia mengharapkan Justin kembali? Dia mencintai Justin. Dia mencintai Justin yang dulu, dan sama sekali tidak mengira bahwa Justin akan bisa berubah menjadi Justin yang dulu dia kenal. Tapi mungkinkah itu semua? Mungkinkah dia kembali pada Justin? Jawabannya jelas saja tidak. Justin telah memiliki gadis ini disampingnya, dan Caitlin tahu bahwa Spring pantas mendapatkannya karena gadis ini memang baik.

Karena gadis baik selalu mendapatkan pria yang baik.

Caitlin menghela napas dalam-dalam. Tentu saja dia tidak bisa mengharapkan Justin kembali padanya. Ibu dan Ayahnya tidak pernah mengajari dia menjadi gadis yang egois. Caitlin mencoba menahan gejolak perasaannya dan baru saja akan menjawab perkataan Spring ketika Justin berlari mendekat ke arah mereka dan meraih lengan Spring.
"Hei. Semuanya sudah nyaris selesai. Yang kau perlukan adalah mempersiapkan diri untuk berdansa lagi denganku." kata Justin pada Spring, lantas laki-laki itu berpaling pada Caitlin. "Well, terimakasih sudah datang, Caity."

Caitlin merasakan lidahnya membatu seketika. Tidak. Jangan ingatkan dia pada kata itu lagi. Caity. Itu adalah panggilan lama yang digunakan Justin untuk memanggil dirinya saat mereka berdua masih duduk di bangku JHS. Panggilan yang telah lama hilang dan sekarang, setelah hubungan diantara mereka jauh lebih buruk daripada yang bisa Caitlin bayangkan, Justin memanggilnya dengan nama itu lagi. Caity. Tapi Caitlin harus bicara. Dia harus mencoba menerima semuanya. Jadi Caitlin berusaha tersenyum selebar mungkin. "Aku senang kau sudah menjadi Justin yang pernah kukenal."

"Itu semua karena dia." ujar Justin sembari menatap Spring dengan pandangan penuh kelembutan. "Karena puteri cantik yang ada di sampingku."
"Oh Justin." Spring mengerang. "Puteri cantiknya adalah Caitlin, ingat? Bukankah kau bilang aku adalah si gadis desa?"
"Oh maaf." Justin mengedipkan mata pada Spring dan disaat yang bersamaan Pattie menghidupkan perangkat sound system itu. Dalam sekejap suasana yang riuh berubah semakin semarak ketika alunan lagu Crazier yang dinyanyikan oleh Taylor mengalun di sekitar mereka. Taylor tersipu ketika Pattie dan Sandy memuji betapa indah lagunya dan mengobrol dengan para wanita paruh baya itu sementara Justin menarik Spring menjauh dari Caitlin dan mulai mengajak Spring menari di tengah-tengah mereka. Spring tertawa lebar ketika Justin mengangkat sebelah tangannya dan memintanya berputar sementara sorakan riuh terdengar di sekitar mereka. Pipi Spring memerah ketika Justin membungkuk dan membisikkan kata 'I love you' padanya diiringi desahan tertahan dari nyaris semua yang ada disana. Kecuali Niall dan Caitlin, tentu saja.

Tampaknya kedekatan Spring dan Justin mempengaruhi pasangan lainnya, karena Christian dengan berani mulai mengajak Citrus bergabung bersama Justin dan Spring, sementara Justin dan Spring saling menari, berdansa, tertawa dan mengucapkan kata-kata cinta. Dalam sekejap, suasana penuh cinta yang mengambang diantara Spring dan Justin mempengaruhi Sandy dan Will, Pattie dan Jeremy, juga pasangan Swift. Mereka saling menggenggam tangan pasangan mereka masing-masing, mengayunnya mengikuti alunan lagu yang terdengar dan saling mengucapkan kata 'I Love you' dengan sepenuh hati. Spring tersenyum lebar ketika melihat pasangan-pasangan paruh baya itu saling menggenggam tangan mereka sementara Pattie duduk di dekat Jeremy yang telah kehilangan kemampuannya untuk berdiri. Wanita paruh baya bermata indah itu menggenggam tangan Jeremy dan mengucapkan kata cinta dengan mata berkaca-kaca yang dibalas Jeremy dengan mencium punggung tangan istrinya.

Suasana berubah menjadi penuh cinta dan mengharukan. Dan itu karena Spring dan Justin.

"Kupikir kau akan siap dengan sesi pribadi kita." bisik Justin ketika dia berpura-pura mencium sisi kepala Spring. Spring tersenyum lebar dan berhenti menari, lantas mengikuti langkah Justin yang membawanya menjauh dari keramaian tanpa sadar kalau mata biru cemerlang milik Niall dan Caitlin tertuju pada mereka berdua. Justin dan Spring terus melangkah diatas pasir pantai yang lembut sambil tertawa lebar. Ternyata Justin membawanya ke sebuah dermaga panjang yang berada di tepian pantai. Dari sini mereka bisa melihat permukaan laut yang seakan disepuh warna keperakan dari cahaya bulan. Langit gelap, namun bertabur bintang dengan sempurna. Spring menatapi keadaan alam di sekelilingnya, lalu tersenyum pada Justin yang masih menatapnya. Justin selalu menatapnya, seakan-akan Spring adalah mataharinya. Seakan-akan gadis itu adalah pusat dunia yang membuat dunianya terus berputar.

"Spring, terimakasih kau sudah mempercayaiku. Terimakasih kau sudah berada di sampingku. Terimakasih kau sudah memaafkanku." bisik Justin pada Spring yang dibalas Spring dengan senyuman lebar.
"Aku akan selalu mempercayaimu. Aku mencintaimu, dan ketika aku mengatakan aku mencintaimu, itu artinya aku mempercayaimu lebih dari siapapun di dunia ini. Percayalah." Justin tertawa kecil begitu dia mendengar kata-kata Spring, lantas dia merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan seuntai kalung perak dengan liontin batu safir berwarna biru yang indah. Perak itu tampak berpendar dalam kegelapan dan membuat Spring mengangkat sebelah alisnya.

"Kalung?"
"Bukan kalung biasa." balas Justin, "Ini adalah kalung pertama yang diberikan Ayahku pada Ibuku ketika mereka masih pacaran dulu. Well, sebenarnya aku ingin memberikan cincin, tapi kau tahu, ibuku berpikir bahwa aku masih terlalu muda untuk... bertunangan? Jadi anggap ini adalah janjiku. Karena suatu hari nanti, aku akan menukar kalung ini dengan cincin, entah dengan cincin pertunangan...... atau cincin pernikahan?" Justin tersenyum jahil yang sontak berhasil membuat Spring tersipu-sipu.

"Biar aku pasangkan kalung ini di lehermu." Ujar Justin sambil membalikkan tubuh Spring. Lantas laki-laki itu memasangkan seuntai kalung tersebut di leher Spring dan tersenyum puas ketika dia melihat batu safir itu tampak indah diatas kulit Spring yang pucat. "Kau cantik."
"Kau sudah mengatakannya jutaan kali hari ini."
"Well, itu karena kau memang cantik."
"Kau selalu memberi hadiah padaku." ujar Spring, "Kupikir aku harus memberikan hadiah juga padamu."

"Tidak perlu." Justin menyela. "Hanya dengan melihatmu bahagia, bisa tersenyum lebar dan mengatakan bahwa kau mencintaiku, itu sudah cukup untukku."
"Baiklah, bagiku, hanya dengan melihatmu tersenyum lebar, menjadi pemuda yang baik dan mengatakan bahwa kau tidak ingin kehilanganku, itu sudah lebih dari cukup buatku."
"Oh Spring." Justin menyahut lembut. "Kau memang pantas mendapatkannya. Kau memang pantas mendapatkan semua hadiah itu. Juga cintaku. Karena kau tahu apa? Kupikir kau adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untukku."

"Dan kau adalah—hm, yang jelas kau adalah pangeran yang ditakdirkan Tuhan untuk melindungiku."
"Kau memang selalu tidak mau kalah." Ujar Justin sembari terkekeh. "Baiklah, kalau kau memaksa, kau bisa memberiku satu hadiah."
"Apa?"

"Peluk aku." jawab Justin yang membuat Spring tertawa sebelum akhirnya memeluk tubuh tegap laki-laki yang berdiri di hadapannya.
"Berjanjilah untuk mempercayaiku. Berjanjilah untuk tetap ada disini, di sampingku." bisik Spring sambil menghirup aroma tubuh Justin dalam-dalam. Justin balas melingkarkan tangannya di sekeliling tubuh Spring dan membelai rambutnya.
"Aku berjanji." bisik laki-laki itu, lantas dia menunduk dan membenamkan wajahnya dalam helaian rambut hitam kecokelatan milik Spring. Mereka masih berpelukan, tanpa sadar ada dua pasang mata biru yang memperhatikan mereka berdua. Dengan hati yang terluka.

The Dust (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang