Chapter 39

2.7K 103 6
                                    

----

Ruangan itu sunyi. Yang tersisa di ruang tunggu tersebut hanyalah bau antiseptik khas rumah sakit yang terasa menggelitik syaraf penciuman hingga membuat kepala Justin terasa pusing. Justin menggigit bibirnya kemudian menghela napas dalam-dalam, berusaha meredakan segala perasaan yang berkecamuk dalam benaknya. Ini adalah jam keenam dia menunggu di ruang tunggu operasi rumah sakit bersama keluarga Spring, keluarga Melbourne, dan tentu saja keluarganya sendiri. Ini sudah jam yang keenam dimana dia memohon kepada satu kekuatan di langit agar gadis itu berhasil menjalani semua hal rumit ini. Agar gadis itu bisa kembali membuka matanya dan menatap Justin dengan pandangan lembut dari lensa cokelat gelapnya yang cantik.

Meskipun itu berarti mereka harus melepas Niall pergi.

Ya, pada akhirnya Niall memang melakukannya. Dia memang melakukannya demi gadis itu. Demi gadis yang dia cintai. Justin tahu bahwa perasaan Niall pada Spring adalah perasaan yang tulus, dan bahkan hingga detik terakhir kehidupannya, lelaki itu sama sekali tidak menuntut balasan perasaan yang sama dari Spring. Dan hal itu mendadak membuat lidah Justin seakan dialiri cairan timah. Dia bingung harus berkata apa, termasuk ketika Spring memeluk lehernya dua jam sebelum operasi dimulai. Ya, tentu saja Justin masih mengingatnya.

"Kuharap kau menungguku." hal itu yang dikatakan Spring padanya yang mendadak membuat Justin ingin menangis. Yang mendadak membuat Justin berpikir bahwa gadis itu mungkin saja akan pergi meninggalkannya. Justin menggeleng. Tidak. Spring adalah gadis yang kuat. Dia tidak akan meninggalkan Justin dalam keadaan seperti ini.

Justin menghela napas untuk yang kesekian kalinya seiring detik waktu yang terus berganti.

Mungkin dia akan mati. Bukankah segala sesuatu yang hidup pada akhirnya akan menemui kematian? Mungkin gadis itu memang akan mati, tapi Justin diam-diam memohon pada Tuhan bahwa gadis itu tidak bisa mati sekarang. Spring memang akan mati, tapi dia akan mati ketika apa yang tersisa dari Justin hanyalah sebuah pusara. Ketika gadis itu telah tua dan memang pada saat yang tepat untuk mati. Bukan sekarang. Bukan sekarang dan dalam ruangan operasi. Tentu saja. Dia pasti akan selamat—dan Justin percaya bahwa segala pengorbanan Niall tidak akan sia-sia. Spring pasti akan hidup dan bisa kembali tersenyum padanya. Justin percaya itu.

Namun kenapa sekarang segala keyakinannya akan keselamatan Spring seolah lenyap entah kenapa? Mengapa sekarang Justin mendadak takut Spring akan mati?

Justin memejamkan matanya. Berusaha membawa dirinya kembali ke beberapa jam yang lalu, ketika Spring menyunggingkan senyum padanya. Senyum pucat yang nyaris beku. Justin mencoba kembali merasakan sentuhan lembut itu di lehernya, dan tatapan mata Spring ketika gadis itu bicara padanya.

"Apapun yang terjadi, aku akan selalu menunggumu. Kau tidak akan mati. Aku berjanji." bisik Justin ketika itu. Pria itu berusaha tersenyum pada gadis di hadapannya.

"Kuharap iya." Spring masih menatap Justin dengan lensa mata cokelatnya, lantas gadis itu menukar posisi berbaringnya dengan posisi setengah duduk dan kemudian menengadahkan kepalanya untuk mencium pipi Justin. "See you later."

Justin tercekat, dan entah kenapa untuk beberapa jenak dia seakan-akan kehilangan kata-kata yang bisa dia ucapkan. "Ok." balas Justin sembari merunduk sedikit dan balas mencium kening Spring. Spring tersenyum lebar sebelum akhirnya meraba lehernya. Justin masih mengernyit ketika Spring mencari kaitan kalung yang masih tergantung di lehernya, lantas begitu kaitan kalung itu terbuka, Spring meletakkan kalung dengan tiga liontin itu diatas permukaan telapak tangan Justin yang terbuka.

"Simpan itu sampai aku kembali." bisik Spring yang membuat Justin menghela napas berat.

"Pastikan kau akan datang lagi untuk mengambilnya."

The Dust (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang