POV Kirana
"Silahkan ambil uangnya untuk bayar keperluan kuliah kamu."
Aku mengambil amplop coklat diatas meja yang terasa sedikit berat dan tebal. Ku intip lewat ujung amplop yang terbuka dan demikian aku terkesiap melihat isi di dalamnya.
"Itu baru 40 juta, sisanya nanti saya hubungin lagi kamu lain hari. Untuk saat ini cuman segitu yang bisa kami bantu buat tanggulangi UKT kamu yang nombok."
Aku sungguh tidak percaya dengan apa yang terjadi sekarang. Tanganku sedikit bergetar ketika menghitung jumlah bendelan kertas berwarna merah itu yang benar-benar berjumlah 40 lembar.
Reflek aku meletakkannya kembali di atas meja seolah itu barang yang haram ku sentuh.
Selama hidupku, aku tak pernah rasakan memegang uang sebanyak itu. Apalagi diberikan cuma-cuma oleh seseorang yang baru saja ku kenal.
Mataku kembali melirik gadis berambut pendek di depanku, ia tengah sibuk mengaduk-aduk kopi sachet yang sebelumnya ia seduh di hadapanku. Ia kembali bersandar ke sofa sembari menarik ujung-ujung kemeja flanelnya hingga menutupi jari.
"Gimana? Kamu gaperlu kasih apa-apa karena kami pure mau bantu mahasiswa korban kapitalis kampus seperti kamu. Dan... Memang caranya agak aneh, karena kami mencoba menyesuaikan demi bisa bantu semaksimal mungkin."
Lagi, aku menarik nafas dalam-dalam. Aku berusaha untuk mencerna apa yang terjadi sekarang dan bagaimana ini bisa terjadi.
Pada mulanya aku bertekad menjual diri melalui platform media sosial. Alasannya karena aku terlilit UKT dan hutang piutang yang harus ku bayar tahun ini dengan cepat.
Pasal UKT, sebab aku sudah duduk di semester 4 —aku sudah harus lunasi hutang-hutang UKT semester lamaku. Dari semenjak hari pertama kuliah, hingga saat ini, UKT yang ku bayarkan masih tergolong sekian persen saja dari total UKT yang harus dibayar.
Jumlahnya 40 juta Rupiah. Jumlah yang tak mungkin aku dapatkan hanya dengan bekerja paruh waktu sebagai barista di cafe milik orang tua salah safu temanku.
Meski gajinya lumayan, tapi aku tak menampik kalau uangnya lekas habis dipakai kebutuhan sehari-hari, belum lagi perlu ku kirim sebagian ke sanak keluarga di kampung.
Advokasi di jurusan ternyata informasinya hanya diperuntukkan bagi anggota Himpunan. Kejadian seperti ini memang sudah terjadi akibat kultur politik jurusan yang kepalang buruk. Mahasiswa non Himpunan sulit dapatkan informasi tentang lomba ataupun kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan prestasi mereka, termasuk informasi penangguhan UKT yang seharusnya disampaikan pada seluruh warga jurusan.
Dan aku salah satu yang tidak mendapat informasi tersebut. Dengan amat terpaksa menerima kondisi keterlambatan mengajukan banding UKT hingga nombok jutaan rupiah, mendorongku untuk terjun ke dunia kelam yang benar-benar bukan yang aku inginkan.
Tapi, ketika aku mencoba untuk berusaha bertahan diketerpurukan, orang ini...
"Ambil uangnya, setelah ini kamu boleh pulang. Atau mau saya anter?"
Aku masih ragu menerima uang ini. Aku terlalu takut menggunakannya karena aku tak tahu uang ini hasil dari mana.
Mana tau itu uang haram, jika ku pakai bisa saja pendidikanku jadi tidak berkah, atau uang hasil rampok, atau sebagainya...
Aku masih belum mencerna apa yang terjadi. Bahkan sampai detik ini, aku tidak berani menanyakan siapa gadis didepanku dan mengapa ia membantuku.
Sekilas perempuan itu nampak biasa. Tak ada yang mencurigakan dari pakaian dan gerak-geriknya. Ia kelihatan sangat santai meski lawan bicaranya memperhatikan dengan penuh curiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTER: Winrina Fanfiction
FanfictionSepenggal kisah balada mahasiswa Abad 21. Alter, mengupas isu masalah sosial yang terjadi pada masa kini. Dibalut dengan romansa cinta antara dua mahasiswi yang hadapi diskriminasi sebagai pasangan lesbian, Wilona Friska dan Kirana Dewi, bersama-sam...